Tanpa Kata-Kata
gadis itu bicara dengan kita
sempurna tanpa kata-kata
ia bicara lewat diam serta
tatap mata yang terbata-bata
lantas kita mulai menerka-nerka
apa yang tersesat di tubuhnya
barangkali disimpannya trauma
atau mungkin ia sakit gila
ah, semoga bukan semuanya
serupa kemilau danau yang
kita pandangi di senja lengang
gadis itu memilih tak acuh
pada segala yang melintas
pada perahu bebek yang lalu lalang
pada pesona matahari tenggelam
bahkan pada semilir angin
paling romantis sekalipun
akhirnya, di pagi yang gaduh
kita tak bisa menahannya pulang
setelah semalam ia menakuti kita
dengan tatap mata yang nyalang terbaca
Ciputat, 2010
Teras Rumah Pagi Ini
siapa yang telah menambahkan sesendok puisi
dalam gelas kopiku pagi ini?
apakah dia penyair yang enggan singgah
demi mendengar burung-burung tilawah?
dingin mengeja:
senyap jalanan mengembunkan kata
mengintip purnama merah dari
balik kemuning dedaunan mangga
kesunyian menggigil di bibir gelas
menyapa tetangga dengan senyum seulas
Ponorogo, 2009
Setelah Pertempuran
dedaunan kuning luruh kering bersama gulma
di sekolah tua yang plakatnya tak lagi terbaca
pertempuran ini telah kau tunggu sejak lama
sejak katakata kehilangan musim dan cuaca
inilah hujan di pekarangan yang selalu dikenang
sementara awan dan mendung enggan bicara
tanpa senjata dan tentara pun kau pemenang
sebab disini siapa pandai bicara dia jawara
oleh waktu yang beku hidupnya kian teraniaya
lantaran endapan gelegak di dada tak jua tumpah
masihkah kita nantikan pertempuran berikutnya
untuk pastikan kau menang dan dia telah kalah
Ponorogo, 2010
Ceritakan Padaku
hanya padaku, ceritakanlah
yang selama ini dibelenggu oleh waktu
diikat oleh suatu yang tak kupahami
silakan kau pilih
kapan dan di mana kau hendak bercerita
di saung yang menghadap danau
yang dibawahnya terdengar kecipak ikan
sembari kita tunggui matahari pertama
berkejaran dengan embun di pucuk daun
atau di atas perahu bebek
seraya menyaksikan srengenge angslup
ke dasar danau
kutahu kau mau di sana hanya ada kita berdua
sebab di keramaian
kau selalu kehilangan bahasa
raib warna pada mata
ingin kulihat sebentuk senyum
yang tak lagi misterius lahir dari bibirmu
Ciputat, 2010
A. ZAKKY ZULHAZMI lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Mahasiswa UIN Jakarta dan BSI Ciputat. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik. Menulis cerpen, puisi dan esai. Karyanya dimuat di Suara Tangsel, Republika, Jurnal Nasional, Solopos, Joglosemar Surabaya Post, Majalah Sastra Horison, Buletin Sastra Teh Hangat, Buletin Pawon dan sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpen pertamanya: Kabar dari Kesunyian.
Sajak-Sajak A. Zakky Zulhazmi
Written By angkringanwarta.com on Tuesday, May 08, 2012 | 01:06
Label:
Puisi