Suatu hari Jokowi pernah mengajak awak media makan siang
bersama. Tempat favoritnya adalah Restoran Bumbu Desa Cikini, Jakarta Pusat.
Seperti biasa, ia memakai kemeja putih lengan panjang dan digulung hingga
lengan. Serta celana panjang bahan berwarna hitam. “Ayo, silahkan makan, saya
duluan makan yah,” ujarnya kepada seluruh wartawan.
Di sampingnya, duduk seorang ajudan bernama Pradista, 23
tahun. Lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini berpakaian
layaknya PNS DKI namun berlabel ‘penjaga’. Tampak malu-malu dan segan ketika ia
makan di samping Jokowi. Berbeda pula gaya makan para wartawan yang dengan
lahapnya menyantap hidangan di atas meja.
Saat itu, di piringnya Jokowi terdapat nasi putih ala
kadarnya, bakwan jagung satu buah, tempe goreng, dan sayuran. Ketika ditanya
wartawan apa makanan kesukannya, ia menjawab, “Apa saja yang dimasak istri saya
makan kok, ndak repot-repot.” Kami pun tertawa.
Ketika perbincangan sambil makan siang itu, ia berjanji akan
segera ambil keputusan mengenai proyek Mass Rapid Transit (MRT). “Segera, lusa
kami undang mereka (PT. MRT Jakarta, red) untuk paparan di Balaikota. Nanti
akan terbuka dan transparan. Abis itu diputuskan langsung, ndak usah
lama-lama,” katanya.
Namun, proyek senilai Rp 15 trilliun tersebut tetaplah
mangkrak. Jokowi tak segera memutuskannya lantaran ada tiga hal yang jadi
pertanyaan. Pertama, mengenai pengembalian investasi atau return of investment.
DKI diberikan persentase proyek yakni 58 persen dan pusat 42 persen. Jokowi
inginkan pusat lebih tinggi nilainya.
Kedua, target penumpang serta harga tiketnya. Di kajian, tiket
MRT dihargai Rp 38 ribu per perjalanan. Tapi, perusahaan ingin memberi tarif
antara Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Artinya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
harus memberikan subsidi tiket dua sampai tiga kali lipat.
Permasalahan ketiga yakni loan atau pinjaman proyek. Saat
ini, Pemprov mendapatkan pinjaman bersyarat ketat atau tight loan. Ia
mempertanyakan, mengapa tak memakai untight loan. Hal itu pun belum terjawab.
Jokowi mengakui ingin bertemu dengan Pemerintah Pusat.
Awalnya ia sudah bertemu dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Hasilnya
tetap sama seperti 2008, persentase pusat lebih besar belum bisa diputuskan.
Kini, ia masih menunggu penjadwalan dengan Menteri Koordinator Perekonomian
Hatta Rajasa. Serta pihak lainnya seperti Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Pemenang tender MRT pun tak bisa diumumkan. Seharusnya bisa
diputuskan pemenangnya pada akhir Oktober tahun lalu. Anehnya, Jokowi malah
optimis menjalankan proyek monorel yang sudah mangkrak lima tahun.
Peletakan batu pertama proyek monorel ini dilakukan era
Presiden Megawati Soekarno Putri. Kala itu, gubernurnya adalah Sutiyoso atau
kerap dipanggil Bang Yos. Tiang pancang penyanggah monorel pun sudah dibangun
di sepanjang Kuningan, Jakarta Pusat. Pemilik konsorsium utamanya adalah PT.
Jakarta Monorail yang di dalamnya juga terdapat saham dari PT. Adhi Karya,
salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pemimpin Jakarta berganti, proyek pun terhenti. Fauzi Bowo,
waktu itu menemukan kejanggalan keuangan dalam proyek ini. Ia menghentikan
kucuran dana bagi monorel dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
DKI. Tanpa penyokong dana, perusahannya bangkrut. Adhi Karya hengkang.
Kini, Jokowi yang didukung penuh oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga merupakan partai Megawati, langsung
mengiyakan akan menjalankan monorel. Ibaratnya, proyek monorel ini dirasakannya
dengan optimis, MRT dengan beribu pertanyaan terganjal, dan sekarang malah ada
kajian lama yang dimunculkan kembali, yakni deep tunnel atau disebut Jokowi
sebagai terowongan multiguna.
(Agnes)
(Agnes)