Oleh A.
Zakky Zulhazmi*
Saya
punya tetangga kos baru. Seorang lelaki yang ketika datang pertama kali membawa
banyak buku. Saya menghitung ada sekitar tiga koper buku yang ia bawa. Anehnya,
saya tidak melihat ia membawa baju-bajunya. Belakangan saya malah melihat ia
membeli tiga rak buku baru, tempat bagi buku-bukunya. Saya melempar senyum saat
ia sedang menata buku dan saya melintas di depan kamarnya yang kebetulan pintunya
terbuka. Dibalaslah senyum saya dengan senyuman pula. Namun hanya senyuman
seadanya.
Saya
belum sempat berkenalan dengan lelaki itu. Pasalnya, setiap saya berangkat ke kantor,
kamar lelaki itu masih tertutup. Tampaknya belum bangun tidur. Nah, ketika saya
pulang kerja, barulah saya bisa melihat lelaki itu sibuk dengan laptopnya.
Seperti menulis sesuatu. Setiap melintas depan kamarnya saya menengok sesaat
dan bertukar senyum. Melihat banyaknya buku lelaki itu, saya mengira mungkin
dia wartawan atau penulis. Namun yang pasti ia adalah seorang kutu buku.
Pulang
kerja saya sudah sangat lelah dan tak sempat berbincang dengan tetangga kos
saya itu. Saya harus buru-buru tidur jika keesokan paginya saya tak mau
terlambat bangun. Begitulah, saya menikmati rutinitas harian yang tak pernah
bertemu matahari. Berangkat saat masih gelap dan pulang saat hari sudah gelap.
Melihat
rutinitas saya banyak orang merasa kasihan. Saya bisa maklum. Tapi, bagi saya,
hidup bukan hanya perkara menjalani apa yang disuka dan dimau, namun juga soal
ketabahan mengikuti garis Tuhan. Sejujurnya saya tidak terlalu suka dengan
pekerjaan saya dengan segala rutinitasnya yang membosankan. Tapi mungkin itu
garis Tuhan, yang musti saya jalani, dengan tabah.
**
Suatu malam lelaki itu mengetuk kamar saya. Saya baru saja selesai mandi
kala itu. Sambil membasuh rambut dengan handuk,
saya membuka pintu.
“Maaf, ini saya mau kasih oleh-oleh buat, Mbak,” katanya tanpa
basa-basi.
“Eh…iya, terima kasih,” saya agak gugup dan terkejut.
“Tak perlu kaget begitu. Hehe. Oya, kita belum kenalan, nama saya
Maldini, nama Mbak?”
“Aku Kiki. Maldini... Hmmm…seperti nama pemain AC Milan.”
“Ya, ayah saya penggemar berat AC Milan, tak aneh nama saya Maldini, bek
terbaik yang pernah dimiliki AC Milan.”
“Oh, menarik juga. Ngomong-ngomong terima kasih ya oleh-olehnya,”
tukas saya.
Maldini mengangguk dan berlalu, menuju kamarnya. Saya buru-buru memanggilnya
demi melihat oleh-oleh yang diberikan kepada saya: jenang Teguh Raharjo.
“Maldini, ini oleh-oleh dari kampungmu?”
Maldini menoleh lalu menjawab. “Iya.”
“Kamu dari Ponorogo?”
“Iya.”
“Sama!”
“Ah,
yang bener?”
“Seriuuuus.
Kowe Ponorogone ngendi?”
“Haha.
Dunia itu sempit. Di sini ketemunya orang Ponorogo juga. Aku Mangkujayan. Mbak
mana?”
“Aku
Kertosari.”
Malam
itu, saya ngobrol banyak dengan Maldini. Sambil menikmati jenang Teguh Raharjo.
Kami membincang pelbagai hal tentang Ponorogo. Mendadak saya
jadi kangen sekali kampung halaman saya yang tenang dan teduh
itu. Saya pulang kampung cuma setahun sekali, hanya ketika jelang lebaran.
Itupun tidak lama. Paling seminggu saja di rumah. Kantor saya tidak banyak
memberikan liburan untuk karyawannya.
Dengan
Maldini saya banyak bernostalgia tentang kota kecil tempat kami lahir itu.
Maldini juga jarang pulang. Tempo hari ia pulang lantaran kakaknya menikah.
Kami membincangkan makanan-makanan Ponorogo yang tentu saja sukar didapat di
ibu kota ini. Kami sama-sama merindukan sarapan sego pecel di pagi hari.
Kami kangen makan serabi Ponorogo yang beda dengan serabi
Solo, apalagi serabi Bandung. Kami juga tiba-tiba pengen makan sate ayam Pak
Tukri atau Pak Keceng. Ah, Ponorogo memang ngangeni.
Maldini
bahkan bercerita jika ia pernah tinggal satu bulan di sebuah hotel di tepi Telaga
Ngebel untuk mengerjakan sebuah buku. Ia bilang, ia sangat menikmati saat-saat
rehat dari ‘semedi’ menulis buku dan makan nila bakar di tepi telaga. Juga saat
mengitari telaga dengan perahu saat senja tiba. Dan saya tiba-tiba sangat ingin
pulang kampung.
Malam kian larut. Saya mengakhiri obrolan. Kebetulan
Maldini juga ingin melanjutkan menulis. Saya juga tak mau besok bangun
kesiangan. Obrolan malam itu sedikit mengobati rindu saya akan kampung halaman.
Saya pun bisa tidur nyenyak. Entah akan mimpi apa saya malam ini. Semoga mimpi
tentang Ponorogo.
**
Sejujurnya saya masih penasaran dengan Maldini. Apa
pekerjaannya? Apa yang sedang ditulisnya? Saya juga masih ingin ngobrol-ngobrol
soal Ponorogo dengannya. Sayang, beberapa hari ini saya jarang menemui Maldini.
Pintu kosnya selalu tertutup setiap saya lewat depan kamarnya. Tidak pagi,
tidak malam. Kerap saya mencuri waktu untuk bisa pulang kantor lebih awal agar
saya punya sedikit waktu luang untuk berbincang dengan Maldini. Tapi pintu
kamarnya selalu tertutup. Sandalnya juga tidak ada di depan kamar. Apakah
Maldini pindah kos? Waktu saya tanya ibu kos, status Maldini masih ngekos di
sini. Lalu di mana ia?
**
Saya kesal sekali sore ini. Sudah lebih dari tiga jam
saya berada di bis kota. Macet total. Perjalanan pulang kantor yang biasanya
saya tempuh dalam dua jam, kini tak jelas harus sampai berapa jam. Saya
kemudian mendengar kabar bahwa jalan yang biasa saya lalui tergenang air hingga
sedada orang dewasa. Astaga!
Sejak pagi memang hujan turun dengan intensitas tak
menentu. Antara sedang dan tinggi. Konon, ada tanggul yang jebol. Oleh sopir
bis kota seluruh penumpang diminta turun, sebab bis kota ini akan putar balik.
Kata sopir, penumpang bisa naik perahu
karet untuk melintasi banjir. Atau lewat jalan tikus dan mencari angkutan lain
untuk sampai di tempat tujuan. Semua penumpang menggurutu. Tapi apa mau dikata?
Bencana tidak bisa ditolak. Dan yang kena imbas bukan cuma saya saja. Saya
boleh bersyukur. Setidaknya saya hanya kesulitan pulang ke kos lantaran
tertahan banjir, bukan sebagai orang yang rumahnya direndam banjir.
Sedikit menghilangkan jenuh saya mampir di sebuah warung
kopi. Saya memesan bubur kacang hijau. Di kejauhan saya lihat relawan
berdatangan. Mereka bergerak sigap ke daerah yang tidak terlalu jauh dari
genangan air. Membangun posko. Kardus-kardus yang mungkin berisi mie instan
mulai ditata di posko itu. Warga korban banjir satu persatu berdatangan.
Lama saya memandangi kegiatan para relawan. Rasanya saya
mengenal salah satu di antara mereka. Bukankah itu Maldini?! Usai membayar
bubur kacang hijau saya melangkah pelan menuju posko relawan itu. Saat sudah
dekat saya meneriakkan namanya.
“Maldini!”
Benar itu Maldini. Ia menoleh ke arah saya.
“Eh, Mbak Kiki, kok ada di sini, Mbak?”
“Iya, saya baru pulang kerja. Tapi bisku tidak bisa lewat
karena banjir.”
“Oh, di sini termasuk yang cukup parah, Mbak. Ada tanggul
jebol. Airnya ke sini semua.”
“Jadi beberapa hari ini kamu tidak kelihatan di kos
karena ini?”
“Wah, nggak, Mbak. Kemarin aku juga bantu teman untuk
advokasi Luviana.”
“Luviana?”
“Dia wartawan salah satu televisi swasta yang didzolimi
bosnya. Hehe. Eh, Mbak Kiki mau saya anter pakai perahu karet? Di depan sana
air tidak terlalu tinggi, Mbak. Ada bis yang bisa lewat. Mbak bisa naik bis
itu. Tapi muter sih.”
“Boleh, Mal. Waduh, terima kasih banget lho ini. Muter
nggak masalah, yang penting sampai. Hehe.”
Di perahu karet Maldini banyak bercerita tentang suka
duka jadi relawan banjir. Saya lantas membicarakan kemungkinan menginisiasi
teman-teman di kantor untuk mengumpulkan bantuan, lalu disalurkan ke posko
Maldini. Dengan antusias Maldini menyambut rencana saya itu. Sebelum saya turun
dari perahu karet bersama beberapa orang lain, Maldini menukas.
“Mbak Kiki, kalau nanti banjir sudah surut, nanti saya
ajak makan sate ayam Pak Penyok di Bulungan. Dia itu anak Pak Keceng yang
merantau ke Jakarta. Rasa satenya sama persis dengan sate Pak Keceng yang di
Ponorogo. Kita makan sate sambil ngobrol soal Ponorogo. Bagaimana?”
Mata saya berbinar demi mendengar ajakan itu. “Setuju!”
kata saya setengah memekik.
Dalam perjalanan pulang ke kos saya jadi teringat masa
kecil saya dulu. Sehabis nonton pertunjukan Reyog di alun-alun, biasanya saya
mampir di sate ayam Pak Keceng bersama teman-teman. Satenya murah tapi enak.
Saya juga kemudian teringat banjir yang pernah terjadi di Ponorogo karena
Bengawan Solo meluap. Saya lupa tahun berapa. Pastinya itu ketika saya
awal-awal datang ke Jakarta. Rumah nenek saya terendam banjir, satu meter
tingginya. Ah, gara-gara ketemu Maldini saya jadi banyak mengenang Ponorogo!
**
Banjir telah sepenuhnya surut. Sekarang sudah jarang
hujan. Kalaupun hujan paling hanya gerimis. Tanggul jebol juga sudah
diperbaikai. Katanya, Pak Gubernur memandori langsung perbaikan tanggul.
Baguslah. Jika teringat banjir surut, saya teringat janji Maldini. Mengajak
saya makan sate Pak Penyok di Bulungan sambil ngobrol soal Ponorogo.
Namun, sampai kini Maldini belum juga kelihatan batang
hidungnya di kos.
Pulang kerja aku mendapati beberapa polisi sedang menemui
ibu kos. Setelah polisi-polisi itu pulang aku menanyai ibu kos.
“Ada apa, Bu?”
“Itu, Nak, polisi tadi nanya soal Maldini. Mereka mencari
Maldini. Ibu bilang ada, tapi kamar kosnya kosong beberapa hari ini. Ibu sudah
bukakan kamar kosnya. Polisi juga sudah memeriksa. Mengambil beberapa buku
catatan. Lalu pamit pergi.”
“Memang Maldini terlibat kasus apa, Bu?”
“Wah, apa ya? Ibu tadi kurang jelas mendengar penjelasan
polisi. Tapi kalau tidak salah, Maldini diduga mengumpulkan buruh untuk mogok
kerja dan membuat kekacauan di sebuah pabrik di Bekasi.”
Aku mendadak teringat kasus pemogokan buruh di Bekasi
tempo hari. Menurut berita, para buruh mengamuk dan membakar mobil pabrik
lantaran tiga bulan gaji mereka belum dibayarkan. Mereka juga sempat memblokir
jalan tol. Tapi bagaimana bisa Maldini terlibat? Gelap. Segelap ketidaktahuanku
kapan bisa makan sate ayam Pak Penyok di bulungan sambil ngobrol soal Ponorogo dengannya.
Cordova, Januari 20113
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta semester akhir. Kerap minum kopi di warkop Sangkan Hurip. Sesekali menonton
pertandingan Liga Inggris di warkop tersebut.