Adakah yang lebih terkenang dari Sondang Hutagalung, selain
peristiwa Rabu (7/12/2011) sore tepat di depan Istana? Karena aksi nekatnya, Sondang sempat ramai
diperbincangkan, hal itu dapat dilihat dari komentar-komentar yang mencapai puluhan
bahkan ratusan disetiap pemberitaan media oline. Tak jarang para komentar yang menghardiknya
dengan menyebutnya sebagai tindakan bodoh.
Melihat aksi Sondang, sebenarnya sempat populer di Eropa
sekitar tahun 1976, di mana sejumlah pemuda
yang menyebutkan dirinya sebagai Ulrike Meinhof : “Bunuh diri adalah tindakan
pemberontakan terakhir.”
Meinhof sendiri kerap mengutip sebuah Drama Bertolt Brecht,
Die Massnahme: “Membunuh adalah hal yang mengerikan. Tapi kami tak hanya akan
membunuh orang lain. Kami juga akan membunuh diri sendiri bila perlu. Agar
dunia dapat diubah dengan kekuatannya sendiri, seperti diketahui setiap orang yang masih hidup.”
Menhof sendiri memilih mengakhiri hidupnya dengan cara
gantung diri dalam sel. Aksi tersebut diikuti beberpa penghuni lainnya. Di sel
716, saat itu sang sipir tersentak menyaksikan tubuh Jan Carl Raspe yang bersandar di dinding dengan darah mengucur.
Begitu juga pada saat sipir menyaksikan Andreas Baader
membujur kaku dengan bersimbah darah dalam Sel 719. Tak kalah mengejutkan, terjadi di Sel 720,
tubuh Gudrun Ensslin menggantung. Irmgard Moller meregang nyawa di Sel 725.
Demikian ditulis Dian Basuki dalam majalah Tempo edisi 25 April-1 Mei 2011
Meraka memilih berjuang dengan cara mengakhiri hidupnya
untuk sebuah harapan bagi yang hidup. Begitu juga Sondang, seorang mahasiswa Universitas
Bung Karno (UBK) memilih bakar diri. Aksi Sondang sebenarnya terbilang baru
dalam ranah sejarah Demonstrasi Indonesia.
Sanyangnya, sosok Sondang tak seheroik Soe Hok Gie. Gie yang
sempat menjadi simbol aktivis kaum muda melawan kekuasaan, Gie menjadi begitu
populer hingga rasanya belum lengkap jika belum menyaksikan filmnya, begitu
juga dengan kisah-kisahnya yang menghiasi toko-toko buku.
Mungkin saja, Sondang
tak melengkapi kehidupannya dengan sebuah catatan sehingga tak ada produser
film yang menayangkan “catatan seorang demonstran.” Lalu tinggal diperankan
aktor keren Nicholas Saputra.
Kendati demikian, Sondang merupakan salah satu dari sekumpulan
pemuda berkumpul di Seven Eleven yang
membasahi tenggorokannya dengan Bintang,
Angker, Mix-max, atau Guins. Bisa juga lebih keren mengunjungi tempat-tempat
untuk mendengarkan dentuman musik dengan
putaran lampu kelap-kelipnya (dugem).
Sementara, sejumlah pemuda memenuhi warung kopi, wajah-wajah
kebingungan mengiringi tegukan kopi hitam, serta rokok yang tak putus-putus
diisap lalu melongo mencari sisa rokok
ditumpukan asbak.
Mungkin saja salah satu dari mereka berpikir untuk mengikuti
jejak Sondang dengan cara yang sedikit agak berbeda agar terlihat lebih ekstrim.
Ditunggu saja, setidaknya akan membantu para jurnalis dalam mencari berita.
Begitu juga dengan para pembaca yang mulai dijenuhkan dengan
cerita-cerita anggota Dewan pindah haluan, atau dugaan korupsi daging sapi oleh
para petinggi PKS, atau Presiden SBY yang merasa lebih bertanggungjawab
terhadap Demokrat dari pada rakyat Indonesia.
Lalu media baik cetak maupun elektronik menulis di halaman
muka dengan judul panjang-panjang dan juga dibuat sedramatisir, “Aksi Sondang
kedua, Kecewa atas busuknya Pemerintah”, atau “Pemuda ini Nekat Gantung Diri di
Depan Istana Lantaran Kesal dengan Petinggi yang Korup”, atau yang lainnya.
(Ayodya Kelana)