Pendidikan saat ini sudah melenceng jauh dari cita-cita
Ki Hajar Dewantoro. Hal itu dilihat dari proses belajar anak yang seharian
terkurung di dalam kelas. Mereka dididik hanya untuk mendapatkan teori, tanpa
melihat secara langsus proses yang terjadi di alam, belum lagi sang anak
dipaksa untuk menggarap soal ujian sebagai tolak ukur kecerdasan seseorang.
Makanya tak mengheran jika seorang anak kehilangan olah
rasanya sebagai manusia. Hal itu
terbukti dari kasus-kasus tawuran, narkoba hingga terjadinya bunuh diri.
Pasalnya, pendidikan saat ini anak tak mempunyai ruang
berintegrasi sosial, menanamkan nilai-nilai humanis, menumbuh-kembangkan
kreatifitas, dan membentuk kepribadian.
Jika hal itu dibiarkan, bisa dipastikan bahwa akan ada
tsunami yang lebih dahsyat yang disebabkan bukan karena gelombang air, tapi
disebabkan karena pengangguran dan kebodohan dimana-mana.
Untuk itu, melalui Sekolah Alam yang diberi nama Kandank
Jurank Doank, Dik Doank mencoba menawarkan model pendidikan yang berbasis alam
untuk menunjang kreatifitas anak. Menurutnya,
belajar itu bisa dimana saja. “Orang
bisa belajar di bawah pohon, bisa belajar dipersimpangan jalan juga dimana pun,”
imbuhnya.
Dengan pendidikan seperti itu, Ia berharap anak-anak untuk menciptakan sesuatu,
apapun penemuannya. “Karena selama
budaya penjiplak dan peniru masih merajalela, bangsa ini tidak bisa menjadi bangsa
penemu,” ujar pria bernama lengkap Raden Rizki Mulyawan Kartanegara Hayang
Denada Kusuma, beberapa waktu yang lalu
Dik Doank juga prihatin atas kondisi pendidikan di tanah
air yang tidak seimbang antara ilmu seni dan ilmu umum. “Belajar menggambar cuma
satu, itu pun gurunya tidak bisa menggambar, bentuknya dua gunung di atasnya
ada matahari dan di bawahnya ada sawah,” ujar Dik Doank
Sementara, imbuh Dik Doank, mata pelajaran matematika ada
enam sampai tujuh mata pelajaran. Akibatnya, anak yang lahir di sekolah umum
hanya berfikir umum-umum yakni anak-anak pandai hanya untuk menghitung.
“Sebenarnya kalau saya tidak pandai hitungan, saya bisa ambil kalkulator beres
kok,” tuturnya
Ia pun mencontohkan bagaimana Bali bisa hidup dengan seni
dan budayanya, hal itu menujukkan berbaurnya antara otak kiri dan otak kanan.
Karena itu, kata dia, pendidikan juga harus disesuaikan
dengan daerahnya masing-masing. Ia membaginya menjadi empat bagian yang sesuai
dengan daerahnya masing-masing.
Pertama, yang tempat tinggalnya di bahari, dibuatlah satu
tempat pendidikan dimana siswa pustakanya adalah samudera, mereka belajar
menanam terumbu karang, bagaimana menjadi nelayan dan bagaimana membuat kapal
yang baik.
Kedua, yang tempat tinggalnya di pegunungan, dibuatlah
sekolah dimana mereka bisa memanen tiga kali setahun. “Tidak usah menunggu
musim,” imbuhnya.
Ketiga, yang tempat tinggalnya di desa, pustakanya adalah
pesawat, yakni untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang begitu besar. Keempat,
yang tempat tinggalnya di kota, belajar tentang manajemen.
Selain itu, ia juga berharap pemerintah mendirikan
sekolah yang banyak. Sebuah sekolah mencontohkan model sekolah layaknya sebuah mall, ada toko buku, ada kantin, dan
dibiasakan untuk bertemu. Ketentuan harganya pemerintah yang memegang dan
mempunyai daulat untuk itu semua.
Lalu ada gedung bioskop yang benar-benar terorganisir
dengan baik. Ada film-film dalam negeri, bukan film hollywood yang membawa
budaya tersendiri, serta pertunjukan-pertunjukan besar dari anak bangsa.
“Pada akhirnya kita bisa menonton film kita sendiri di
mall pendidikan sendiri. Kalau model seperti itu bisa dilakukan, kenapa tidak?
Kalau tidak bisa cukup membuat sekolah yang banyak, supaya anak Indonesia bisa
mengenyam pendidikan,” ujarnya
@rizqi_jongjava