Oleh AyodiaKelana
Dunia ini
panggung sandiwara
Cerita yang mudah
berubah
Kisah Mahabarata
atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat
satu peranan
Yang harus kita
mainkan
Ada peran wajar
ada peran berpura pura
...........
Pada eranya lagu
yang diciptakan Achmad Akbar begitu populer. Karena itu pula, rambut kribo
menjadi gaya baru anak muda. Sebagaimana halnya Achmad Akbar, hampir setiap
orang memerlukan panggung tinggal bagaimana dan di mana orang itu manggung?
Hasilnya, sebuah
dunia yang disesaki berbagai macam pangung sandiwara, ada panggung pertunjukan,
politik, dan lain-lain. Tiap-tiap darinya tinggal memainkan peranannya, ada
yang mendorongnya murni dari dirinya sendiri atau dari luar.
Misalnya saja
film (pertunjukan), para pemainya akan bergerak sesuai dengan arahan sutradara
atau bisa dikatakan para pemain ini tak ubahnya sebuah TV yang dikontrol remot
kontrol.
Penonton
Bagaimana
hubungan dengan penonton? Enggak perlu dijawab lagi, keduanya diibaratkan
sepasang kekasih yang begitu romantis, mungkin saja dapat mengalahkan pasangan
Rama terhadap Sinta.
Lihat saja,
bagaimana tidak romantisnya pemain ini saat berharap meminta dukungan para
penonton. Karena itu, para aktor ini rela rela menangis, marah, atau gila
bahkan meminta untuk di SMS. Jika itu benar-benar terwujud maka tak menutup
kemungkinan akan bermunculan ratusan SMS mengalir, kelompok penggemar.
Berharap saja
para mereka bukan sedang bersandiwara dengan memainkan perasaan penonton. Kata
penggemar ini bisa menjadi begitu marah atau sangat baik sampai-sampai
merelakan segala macam yang dipunya termasuk nyawa jika perlu.
Sudah banyak
terjadi, sebagai contohnya saat anggota DPRD DKI mencoba mengusik
kepemerintahan Gubernur DKI Jokowi. Lalu apa yang terjadi, saat itu juga
masyarakat melontarkan kekesalannya terhadap anggota DPRD.
Masyarakat akan
semakin geram saat ada politikus menyebut Jokowi hanya jago pencitraan semata.
Lantas benarkah
yang dilakukan Jokowi penuh dengan pencitraan, layaknya para artis yang tampil
penuh dengan topeng. Agar bisa menjawabnya, apakah benar-benar atau dibuat
benar bukan hal yang mudah.
Hal ini bahkan
membuat filosof Slovenia, Slavoj Zizek mengerutkan kening untuk membedakannya.
Ia bahkan sampai-sampai mengulasnya dalam sebuah buku The Violence,
Untuk bisa
mengetahui tentang benar-benar dengan yang dibuat benar. Perlu ditemukan perbedaan
Lacanian antara kenyataan (reality) dan yang Nyata (the Real): ‘kenyataan’
(‘reality’) yang dimaksud disini adalah kenyataan sosial bagaimana orang-orang
yang terlibat langsung melihat Jokowi dalam membangun Jakarta.
Sedangkan yang
Nyata (the Real) masih merupakan sesuatu yang ‘abstrak’, logika menyebutkan apa
yang dilakukan Jokowi yang akan menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan
sosial.
Namun, yang dapat
terbaca oleh kita hanya sebuah laporan dari berbagai pengamat tentang bagaimana
Jokowi membangun sebuah Jakarta. Pada laporan-laporan ini yang pada akhirnya
membentuk sebuah opini dalam melihat kenyataan apa yang dilakukan Jokowi.
Kembali kepada
kata pencitraan, apakah yang dilakukan Jokowi hanya sebatas pencitraan? Untuk
mendapatkan jawaban seseorang tak bisa hanya bisa membaca dari laporan, apa
lagi dari politiknya.
Wiro Sableng
Untuk menyimak
kenapa Jokowi dicintai? Sama halnya kenapa tokoh ‘gila’ yang dimiliki Wiro
Sableng dalama cerita cerita silat karangan Sebastian Tito malah begitu
memikat. Mungkinkah kendati ‘Sableng’ tokoh utama dalam cerita itu maka menjadi
banyak penikmatnya.
Bisa jadi, bukan
sekadar itu saja. Coba banyangkan jika Wiro Sableng secara perlahan-lahan pergi
ke rumah sakit jiwa lalu mengubah namanya menjadi Wiro Waras, maka? Bastian
Tito kemungkinan akan didemo, dicaci atau segala macam yang tidak mengenakan.
Tapi, karena
sadar identitas murni merupakan hal yang pokok. Untuk itu, pendekar identik
dengan 212 tetap menyapa musuh-musuhnya dengan tertawa, membuat pembaca
terbahak-bahak.
Hiburan yang
langka dari hiburan-hiburan pendekar lainnya. Penggemar menjadi merasa terhibur
dengan kesablengan Wiro. Murid Sinto Gendeng, menjadi cerita menjadi obrolan
pangjang lempar dari ngalor-ngidul bahas jurus ‘kunyuk melempar buah.’
Maka kepupoleran
Wiro Sableng tak luput dari keahlian Bastian Tito memoles dan menghadirkan
sesuatu yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Bastian Tito cukup menghadirkan
sesuatu yang baru dan melawan arus.
Dengan tokoh
‘gila’ ia membalikan wajah cerita silat yang dikuasai yang selama didominasi para
pendekar dengan wajah begitu tampan.
Untuk yang baru, sebenarnya bukan sesuatu yang
mudah untuk bisa memikat. Sebab, yang lama masih begitu menggoda untuk tidak
mengelak darinya, atau bisa jadi yang lama sudah mulai terlihat bagaimana wajah
yang bersumbunyi dibalik topeng. Maka tak heran jika para penggemar
mengalihkan perhatiannya kepada aktor baru.
Aktor yang tak
penuh topeng, aktor melakukan karena memang itu gayanya, bukan hanya untuk
mencari populeritas, tanpa disadari muka penuh bopeng akan nampak jelas dengan mata
biasa.
Jokowi akan
menjadi kisah selanjutnya, bagaimana dia memimpin dirinya godaan orang-orang
yang mengaku waras. Jika selama ini ia dianggap orang berani melawan arus, saat
a para petinggi selalu memposisikan dirinya sebagai orang tinggi, berharap
dihormati.
Jika sudah
demikan, maka sepertinya pepatah yang
menyebutkan ‘Emas tetaplah emas meski terkubur dalam lumpur berjuta tahun.’
Lalu perjalanan waktu akan menunjukkan apakah Jokowi benar-benar emas?