Oleh @AyodiaKelana
Adakah yang lebih besar dari peristiwa sadap-menyadap? Rasanya hal ini terkesan dibesar-besarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyo perlu luangkan waktu sejenak hanya untuk berkicau di twitter, para politisi di senayan mulai berkoar-koar, aksi demonstrasi menuntut permintaan maaf, jika menolak maka negeri kangguru itu harus angkat kaki dari Indonesia.
Sah-sah saja dan memang tak ada yang melarangnya, apa lagi SBY selaku kepala negara. Mungkin dengan begitu dapat menaikkan martabat bangsa dimata dunia.
Sanggupkah? Ini bukan kisah bersejarah tentang arek-arek Surabaya yang marah keras lantaran berkibarnya bendera belanda tanpa persetujuan pemerintah RI, semangat tempur diacungi dunia dengan keberhasilan menghangus Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur).
Tentunya renggang waktu antara bambu runcing dengan teknologi bukan hanya perjalanan sehari, dua hari atau berminggu, berbula. Seharusnya, dunia lebih menaroh hormat pada bendera Indonesia. Nyatanya, dengan begitu santainya Pemerintah Australia menjawab soal penyadapan. Baginya, persoalan penyadapan merupakan sesuatu yang lumrah.
Dan seandainya mau menilik ke beberapa tahun, bukankah persoalan melecehkan terhadap Indonesia bukan hanya datang dari Australia. Sudah tak terhitung banyaknya bagaimana prilaku negera tetangga Malaysia.
Lantas apa yang membuat Australia masih punya kesan enggan untuk meminta maaf? Bisa jadi jawaban ada di sapi dan juga susu. Kedua hal itu begitu mengcengkram Indonesia sampai-sampai sejumlah politisi terjerat sapi.
Jika sudah demikian, beranikah Indonesia menolak kiriman sapi dan susu. Sebab hanya dengan hal itu saja sudah cukup bagi Australia membuat carut-marut perekonomian Indonesia. Apa lagi harus berbicara soal ketahanan negara. Kasus penyadapan sendiri telah membuka mata begitu lemahnya Indonesia.
Isu penyadapan dikatakan sendiri Juru Bicara Presiden Julian Aldrian Pasha bukan yang pertama kali. "Sebenarnya isu penyadapan bukan kali pertama didengar dan diberitakan. Beberapa waktu lalu saat ada aksi penyadapan oleh negara tertentu terhadap Indonesia diangkat atau diberitakan. Presiden segera menginstruksikan jajaran terkait khususnya Menlu dan Kepala BIN untuk melakukan telaahan dan meminta klarifikasi terhadap pihak termaksud," jelasnya (baca merdeka.com).
Bila bukan yang pertama kali, lantas apa yang selama ini dikerjakan Badan Intelijen Negara atau BIN dan juga Lembaga Sandi Negera (Lemsaneg) sehingga penyadapan begitu heboh? Jika mereka berhasil mengatasinya tentu tak akan ada sejumlah orang yang berdemonstrasi di depan Kedubes Australia atau tak menutup kemungkinan Indonesia menyadap Australia (Jika Indonesia kuat).
Mengutip perkataan Didik Supriyanto pada kolom Merdeka.coma, Selasa, 19 November. Menurutnya dua lembaga itu nampak begitu hebat jika berurusan dengan masalah dalam negeri atau berhadapan dengan rakyatnya sendiri, kedua lembaga itu selalu tampak hebat.
BIN selalu melaporkan kemampuannya mendeteksi potensi konflik, rusuh dan teror. Demikian juga, Lemsaneg selalu membanggakan keberhasilannya dalam mengamankan data e-KTP, sehingga penuh percaya diri untuk ikut mengamankan rekapitulasi elektronik yang akan dilakukan KPU dalam Pemilu 2014.
Sementara kedua lembaga itu belum bisa menjelaskan apa yang telah dilakukan atas aksi penyadapan terhadap pejabat negara, para hacker Indonesia sudah melampiaskan amarahnya kepada situs-situs agen rahasia Australia. Kalau demikian jadinya mana yang lebih jago, lebih sungguh-sungguh membela negara?