Oleh Ayip Tayana
“ o..o.o…o..o..o..o..o..o..o….krisis pemuda melanda negeri tercinta“ (Iwan Fals)
“ Mahasiswa perlu wadah untuk menumbuhkan sikap kritisnya, dan wadah yang paling tepat adalah dengan berorganisasi“ (Ade Faizal Alam)
Sejarah Bangsa Indonesia bahkan dunia telah membuktikan bahwa mahasiswa sebagai kaum terpelajar telah berhasil meluruskan hal-hal yang menyimpang, menyadarkan hal-hal yang keliru, berbicara keadilan di mata hukum, bahkan menumbangkan rezim yang tidak berpihak pada rakyatnya.
Maka, mahasiswa pun mendapat julukan sebagai agen perubahan, kaum intelektual, kaum terpelajar, dan kaum yang dianggap masyarakat sebagai kaum elit intelek. Oleh karena itu, masyarakat menganggap mahasiswa memiliki kemampuan berfikir lebih, memiliki pengetahuan yang luas, mampu menganalisa dan menyelesaikan masalah.
Dan ternyata lain dulu, lain sekarang, untuk saat ini mahasiswa lebih banyak tidak menyadari akan peranannya yang begitu penting dalam masyarakat. Mahasiswa perlu menyadari bahwa estafet kepemimpinan bangsa saat ini menjadi tanggung jawab kita selaku generasi penerus kelak. Belakangan ini, mahasiswa lebih senang dan bangga menyibukkan diri dengan aktivitas kuliah, tanpa menyadari apa tujuan kuliah? Apa gunanya Kuliah? Dan tanggung jawab apa yang diemban selama berstatus sebagai mahasiswa?
Dan hal tersebut, nampak terlihat dengan apa yang dilakukan oleh mahasiswa kurang minat ketika membaca keadaan sosial, cuek terhadap penindasan yang ada di sekitarnya, takut bicara lantang tentang kebenaran, bahkan banyak dari mahasiswa yang bersikap pragmatis dan oppurtunis.
Dengan sikap-sikap seperti itu membuat harapan rakyat pupus, kepercayaan rakyat pada mahasiswa pun semakin memudar, dan diperparah dengan kurangnya wacana atau bahkan tidak mempunyai wacana.
Hal tersebut ditunjukan dengan hilangnya sikap kritis mahasiwa maka berdampak pada semakin memudarnya harapan masyarakat perihal kesejahteraan, semakin buasnya penguasa menindas rakyatnya. Siapa yang salah?
Kritis tidak berarti harus mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, tumbuhnya sikap kritis berawal dari hal-hal yang kecil dahulu, peristiwa-peristiwa yang aneh yang berada di sekitar kita, seperti mengkritisi kebijakan kampus yang tidak lagi mementingkan kepentingan mahasiswa, kampus yang sudah mulai berbicara keuntungan, hilangnya hak mahasiswa mendapatkan parkir yang memadai, hilangnya hak mahasiswa untuk diskusi dibawah pohon rindang (DPR).
Maka dari itulah kita akan membiasakan budaya kritis, disamping itu kita juga perlu adanya budaya instrospeksi agar antara kritis dan realita kita tidak bertentangan. Dengan budaya inilah kita bisa merubah hal-hal yang sekiranya belum sesuai menjadi hal-hal yang sesuai. Mari kita lihat di lingkungan kita saat ini, banyak dari kita tidak tahu menahu tentang kebijakan kampus, tentang latar belakang para pemimpin-pemimpin kita yang berada ditataran dosen dan rektorat. apabila mengetahui latar belakang para pemimpinnya, mahasiswa dapat meluruskan hal-hal yang kiranya kurang sesuai.
Selama ini mahasiswa dimanja dan disuguhi fasilitas yang seolah-olah sudah mapan, cukup, mungkin lebih. Padahal jika dibandingkan dengan jumlah yang dibayarkan dan bantuan dari pemerintah, itu belum apa-apa. Selama ini memang sudah terbukti jika kita sebagai mahasiswa tidak peduli dengan kebijakan rektorat dan birokrat kampus.
Saat ini kita terkesan hanya diam dan seolah-olah tidak mau tahu atau mungkin berfikir sama-sama tahu, termasuk dengan pendidikan kita di kampus, tentang apa yang kita dapatkan di kampus? Tentang apa yang harusnya dilakukan kampus? Atau memang kita telah masuk pada lingkaran pragmatis? Yang penting lulus dan bekerja di bank, perusahaan asing, menjadi pengusaha sukses, pulang ke rumah jadi orang kaya, kemudian menikah, punya anak, tua, dan masuk surga.
Selesailah sudah kalau paradigma berfikir mahasiswa masih seperti itu, sudah saatnya mahasiswa membangun budaya kritis dengan memantapkan jiwa bahwa kuliah itu untuk mencari ilmu, bukan semata-mata agar dapat pekerjaan, menikah, punya anak, pulang jadi orang kaya, dan masuk surga.
Negara Indonesia lahir dari budaya kritis, kritisnya HOS Tjokroamonoto melalui Tulisan dan Serikat Dagangnya, lantangnya Soekarno terhadap siapa saja yang menganggu keutuhan NKRI, Matangnya Dialektika yang dikemukakan oleh Tan Malaka, pada tahun 1926 ulama NU melobi dunia Islam untuk kemerdekaan Indonesia. Tapi kepada siapa warisan sikap kritis itu diwariskan? Apakah mahasiswa sudah lupa? Ataukah agar tidak lupa mahasiswa memperingatinya dengan merayakan sumpah pemuda, mengadakan seminar? Percuma jika sikap kritis yang pahlawan miliki tidak pernah tertanam dalam jiwa para mahasiswa Indonesia?.
Kita sebagai mahasiswa harus mempunyai budaya kritis dan budaya instrospeksi. Kalau kita melihat pergerakan mahasiswa saat ini, pergerakan di kampus kita terkesan mati dan vakum dan sarat dengan berbagai masalah. Hal ini amat sangat disayangkan, padahal maju mundurnya mahasiswa dikampus itu biasanya dapat di ukur dari gerakan mahasiswanya, kondisi saat ini memang ironis, mahasiswa ketika melihat kawannya teriak-teriak di jalan bilang, “huuh panas-panas begini teriak-teriak, udah gitu ngalangin jalan gua lewat aja lagi“ atau mungkin bilang “ bagus kawan, bangsa ini berharap padamu“, begitulah kira-kira komentar sebagian kawan-kawan. Menumbuhkan sikap kritis memang tidak mudah, kadang kita takut kalau bilang bapak kita salah, kita malu meluruskan teman kita yang melenceng, kita takut dapet nilai (tidak lulus) TL ketika harus protes dengan dosen yang mengajar se enaknya.
Menanggapi hal itu Bertrand Russell mengatakan "untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Italia, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati”. Maka sangat relevan jika kita saat ini haruslah sadar akan pentingnya budaya kritis.
Kritis tidak berarti harus dengan berdemo, tapi juga bisa dengan menulis dan peduli dengan nasib bangsa, seperti kenapa banyak orang kelaparan, penggusuran, pengangguran, ketidak adilan, anak-anak putus sekolah, dan laian-lain. akan tetapi menulis juga harus disertai dengan pemahaman wacana yang mendalam, dan wacana mendalam itu bisa diperoleh dengan membaca, membaca realita sosial yang berada di sekeliling anda.
Dari hal-hal kecil inilah sikap kritis akan tumbuh, akan tetapi, apabila mahasiswa sudah tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitar, jangan pernah berharap mahasiswa tetap dijuluki Agent of Change.