Saat membaca tulisan Ayip Tayana ada sesuatu yang membuat saya mencoba untuk berintropeksi, sambil bertanya-tanya. Setumpuk pertanyaan pun hinggap, lalu terasa begitu semrawut, sehingga terasa sukar untuk menguraikanya, dan mungkin pemahaman saya yang masih sedikit membuat saya kesukaran untuk memahami ungkapan Ayip di celoteh angkringanwarta. Mungkin yang menjadi penyebabnya sebagaimana dikatakan Ayip benar adanya, tetang ruang wadah berupa organisasi.
Tapi sebisa mungkin saya akan mencoba untuk mengukapakan apa yang menjadi renungan saya, diawali dari paling sederhana, saya mencoba melihat dari judulnya “Kritik Buat Mahasiswa.” Ungkapan pada judul tersebut, terdapat kesan bahwa Ayip hendak mengajukan sebuah kritikan terhadap mahasiswa. Atas dasar tersebut, pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan mengenai apa yang dikritik, dan dari mana landasan kritikannya?
Dan untuk selanjutnya, Ayip mengawali tulisanya dengan menyantumkan dua kutipan, yang pertama dari Iwan fals “ o..o.o…o..o..o..o..o..o..o….krisis pemuda melanda negeri tercinta,“ dari kutipan tersebut akan tergambar, bahwa pemuda di negeri tercinta sedang mengalami krisis, untuk krisisnya sendiri, bisa bermacam-macam jenisnya, bisa jadi krisis percaya diri, krisis batin, krisis intelektual, atau bisa jadi krisis uang.
Dan untuk selanjutnya, penulis langsung mengutip apa yang diungkapan oleh Ade Faisal Alam, “ Mahasiswa perlu wadah untuk menumbuhkan sikap kritisnya, dan wadah yang paling tepat adalah dengan berorganisasi.“
Dari keduanya jika ditarik benang merahnya dan jika saya tak keliru memahaminya maka akan didapati bahwa apa yang dialami oleh pemuda adalah mengalami krisis kritis, maka untuk menyembuhkan krisisnya pemuda yang diwakili oleh mahasiswa perlu wadah, dan wadah yang tepat adalah berorganisasi, jadi dengan kata lain oraganisasi adalah solusi untuk menubuhkan sikap kritis mahasiswa, sehingga tidak mengalami “krisis”.
Kedua kata itu, secara pribadi sudah cukup bagi saya untuk menyimaknya. Tapi, untuk melanjutkan ucapan saya yang secara tidak sengaja ingin lebih menanyakan terhadapnya apa yang dikritiknya terhadap masiswa terutama, atas dasar apa penulis mengukapkan pandangan sehingga memunculkan kata-kata tentang mengkritik mahasiswa?
Melanjutkan pada tulisan Ayip, dalam tulisan tersebut, menguraikan pandangan sehingga menciptakan kata-kata “Kritik Buat Mahasiswa,” ia mengawali dengan memperlihatkan bagaimana mahasiswa mendapatkan kata-kata agen perubahan, hal ini tak terlepas dari peranan mahasiswa dalam menyikapi persolan yang dihadapi oleh rakyat, dan hal tersebut bisa dilihat pada sejarah yang hadir.
Memang peranan pemuda yang diwakili oleh mahasiswa terhadap masyarakat sendiri telah didukung oleh Universitas dengan Tri Darma Perguruan Tinggi, dan salah satunya diwujudkan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata, meskipun untuk hal tersebut masih ada orang yang memperdebatkanya.
Terlepas dari KKN, kembali apa yang diungkapan oleh Ayip, dalam tulisanya, penulis melihat keadaan sekarang lalu mencoba membandingkan padan zaman dahulu, lalu menyimpulkan apa yang terjadi di zaman sekarang dengan sebuah gambaran, bahwa apa yang terjadi pada zaman mahasiswa telah mengalimi krisis dan telahnya sikap kritis. Hal tersebut, nampak dalam ungkapannya “Dan hal tersebut, nampak terlihat dengan apa yang dilakukan oleh mahasiswa kurang minat ketika membaca keadaan sosial, cuek terhadap penindasan yang ada di sekitarnya, takut bicara lantang tentang kebenaran, bahkan banyak dari mahasiswa yang bersikap pragmatis dan oppurtunis.”
Lalu ia kembali menuliskan tentang bagaimana mahasiswa yang bersikap hedon dengan menggunakan pandangan Bertrand Russell, yang mengukapan hedonis dengan kesengan, dan hal itu, ia benturkan pada pengatamatanya lalu menyimpulkan atas apa yang dilihatnya dengan mengukapkan, bahwa selama ini mahasiswa dimanja dan disuguhi fasilitas yang seolah-olah sudah mapan, cukup, mungkin lebih.
Atas dasar itu, mahasiswa kehilangan rasa kritisnya dengan mengatakan “Saat ini kita terkesan hanya diam dan seolah-olah tidak mau tahu atau mungkin berfikir sama-sama tahu, termasuk dengan pendidikan kita di kampus, tentang apa yang kita dapatkan di kampus? Tentang apa yang harusnya dilakukan kampus? Atau memang kita telah masuk pada lingkaran pragmatis? Yang penting lulus dan bekerja di bank, perusahaan asing, menjadi pengusaha sukses, pulang ke rumah jadi orang kaya, kemudian menikah, punya anak, tua, dan masuk surga.”
Maka pada kasus ini, Ayip menjadikan hal tersebut sebagai landasan untuk mengkritik mahasiswa, sebagaimana yang tertera pada judul “Kritik Buat Mahasiswa.” Dan Ayip seperti hanya menggunakan metode panca indra (epistemologi).
Tapi, setidaknya terselip sesuatu yang mengganjal, yakni benarkah yang demikian? itu sebuah pertanyaan yang hendak ditanyakan pada penulis tersebut? jika benar kejadian seperti apa yang diungkapan oleh Ayip, lalu bagaimana solusinya agar mahasiswa dapat bersikap kritis?
Pada hal ini, memang Ayip telah memberikan sebuah perenungan, tapi masih terasa ada yang kurang. Sebab, jika hanya berdasarkan sebuah perenungan masih penuh dengan tanda tanya?
Dan selanjutnya, entah apa yang membuat saya lebih tertarik kepada ungkapan Ade yang menjadi kutipan Ayip pada pembukaanya. Pada kutipan tersebut, terlihat dengan jelas bagaimana Ade mengatakan bahwa untuk menumbuhkan sikap kritis maka mahasiswa perlu wadah, dan wadahnya adalah oraganisasi.
Sayang, kutipan tersebut entah kenapa hilang dari pembahasannya. Padahal disana digambarkan bahwa organisasi merupakan sebuah jawaban dari mahasiswa yang krisis.
Namun, benarkah organisasi merupakan wadah untuk membangun kritis? Maka sudah seharusnya terlahir orang-orang yang kritis dari organisasi tersebut. Dari sikap kritisnya akan membawa pada perubahan, tapi hal tersebut tak terjadi? Pada tahap ini, sepertinya organisasi yang patut dipertanyakan kembali?
Setidaknya mempertanyakan bagaimana peranan organisasi itu sendiri, jangan-jangan organisasi yang ada hanya kumpulan orang-orang autis, mereka sibuk dengan organisasinya sendiri dengan melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan pribadi atau hanya sebatas rutinitas. Apa yang mereka lakukan tanpa ada tujuan yang jelas untuk apa mereka melakukan aktivitas tersebut.
Jika Ayip menggunakan landasan dengan menggunakan metode epistemoliginya untuk menyimpulkan mahasiswa, maka alangkah bijak jika ia juga melihat organisasi itu sendiri, bahwa besar kemungkinan sikap pragmatis apa yang dipaparkan olehnya justru terlahir dari organisasi sendiri.
Maka dengan sendirinya organisasi menjadi tokoh utama untuk membuat orang-orang berpikir pragmatis, mereka ikut organisasi hanya bertujuan untuk mencari relasi, dan mereka berpikir untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Maka tak mengherankan jika budaya kritis telah hilang, bahkan secara tidak langsung organisasi menjadi penyebab dari matinya budaya kritis. hal ini disebabkan organisasi sendiri sudah mati, maka bagaimana mungkin organisasi dapat menjadi tempat untuk menciptakan wadah membangun kritis buat mahasiswa?