Pasir-pasir yang diangkut dari sungai Cisadane, mereka yang menaikan pasir dari sungai atau biasa disebut sebagai penambang pasir terbagi menjadi dua, ada yang masih tradisional yang hanya menggunakan perahu sampan. Sedangkan mereka para perusahan besar, mereka menggunakan mesin untuk menyedot pasir.
Para penambang tradisional akan membentuk sebuah tim, dan setiap dari mereka akan mendapatkan uang sebasar Rp 5o.ooo,- untuk setiap pasir yang ada di sampan mereka, lalu tinggal dihitung beberapa kali mereka berhasil memindahkan pasir ke darat, namun kisaran yang mereka dapatkan harus dipotong untuk nyewa Sampan sebesar Rp 20.000,- kepada Uwa Kato.
Uwa Kato, sebutan mereka pada pemilik sampan, orang dengan perawakan kecil dan gigi yang tinggal satu. Uwa, yang ikut menyekop pasir ke atas Truk berplat nomor B 2718 QE, lalu berhenti matanya melirik-lirik, melangkahkan pada tempat luang, sambil mengatur nafasnya yang terenyah-enyah, ia elap keringat yang membasuh raut wajah dengan telapak tangan.
Cuaca cukup terik, matahari bersinar tepat di atas ubun-ubun, sambil mengamati para pekerja, ia mencoba memberikan komando pada setiap orang yang penyekop, baik dari atas Sampan ke tanah, atau mereka yang manaikkan ke atas Truk.
Umurnya yang cukup tua untuk pekerjaan menyekop, untuk umurnya sendiri, kini telah mencapai kisaran 60 tahunan, bahkan ia sedikit menceritakan bagaimana Belanda dan Jepang berperang. Enggak, saya enggak ikut berperang, saat itu, masih anak-anak, Ujarnya.
Uwa yang sudah 10 tahun menjadi penambang pasir, sebelumnya ia sempat berjualan kacang di Jakarta dan waktu itu, Jakarta masih belum ada gedung-gedung. Tambahnya, ia menambahkan, "kalau masalah susahnya tergantung pada hujan, kalau banjir maka akan banyak pasir yang akan ikut hanyut, sedangkan kalau kemarau satu jam pun belum tentu mendapatkan satu Sampan."
Pasir yang terbawa arus air, berasal "Dari Bogor, jadi kalau banjir pasirnya akan hanyut," ungkapnya untuk lebih menjelaskan. Sesaat para penambang akan berjalan ke sejauh 5 Meter, akan di jumpai sebuah Kedai.
Pada kedai itu, telah terdapat seorang bernama Kamal Jamaluddin yang sedang asik menikmati secangkir kopi hitam dan rokok mild. Kamal merupakan pemilik dari Truk, dan secara kebetulan sang supir sedang libur, maka ia sendiri untuk mengangkut pasir, pasir ini akan dibawa tergantung pada pesanan, bisa jadi ke Jakarta.
Untuk tarifnya sendiri, "Tergantung pada jauhnya pesanan, pulang bersih dengan uang kisaran Rp 150.000,- sudah cukup lumayan, namanya juga reziki, sudah ada jalannya masing-masing," Kamil menambahkan, mungkin kalau pakai mesin akan mudah mendapatkan pasir, tapi resikonya juga cukup besar. "Pernah dulu, di sana ada korban yang tewas, akibat mesin," sambil menunjuk pada sebuah gundukan tanah yang berada samping Sungai.
Kalau dibilang ilegal, iya ilegal, mau gimana lagi. ini juga, ilegal sambil, atau para petani itu juga ilegal, Sebab pemilik lahan seluas 250 Hektar sudah dibeli Sinar Emas. Jadi orang-orang penduduk desa Kragan, Tanggerang Selatan hanya menumpang.
"Mari, mas. Saya, mau narik dulu." Sebuah tanda, bahwa para pekerja telah selesai. (Dede, Foto Jose)