Oleh: Achmad Choirudin*
Hadirin dari kalangan perempuan sedang duduk lesehan mengikuti perayaan panen raya cabai merah di pesisir Kulon Progo. |
Sekira 500 meter selatan masjid adalah lautan lepas Samudra Hindia. Di sepanjang pesisir ini mayoritas warga Desa Garongan dan sekitarnya menggantungkan hidup. Telah lama mereka memanfaatkan lahan pesisir berpasir itu untuk bertani dengan tanaman utama cabai merah. Suburnya lahan dan kerja keras petani di sana pun memberi berkah kesejahteraan. Sayangnya, kesejahteraan warga dari pertanian itu akhir-akhir ini diusik oleh kebijakan negara yang tidak bijaksana.
Terhitung sejak 2006 lalu, lahan pesisir Kulon Progo yang telah bertahun-tahun dijadikan laku hidup bertani warga itu direncanakan akan ditambang. Kandungan besi dan beberapa logam lain di dalam pasir lahan pesisir begitu menggoda korporasi asing yang bekerja sama dengan pemerintah untuk menggusur pertanian warga, bahkan juga pemukiman, dengan klaim kepemilikan tanah Pakualaman Ground.
Sejak tahun itu pula, melalui kelompok tani, warga pesisir Kulon Progo menggelar hajatan perayaan panen raya cabai merah sebagai peringatan penolakan penambangan pasir besi.
Rabu malam itu, sementara puluhan warga menjalankan mujahadah di masjid, beberapa warga lainnya sibuk menyiapkan venue seremonial perayaan panen raya untuk esok hari. Venue berada di lahan dekat pantai, sekira 300 meter selatan masjid. Mereka dibantu oleh beberapa aktivis pribumi dan manca negara. Dengan suguhan melon, persiapan venue malam itu terasa manis semanis melon hasil petani setempat. Gemuruh ombak Samudra Hindia dari beberapa meter selatan venue menambah hangatnya suasana.
Panggung berukuran 4 x 3 meter yang menghadap ke timur telah siap. Di depan dan kanan-kirinya telah terpasang terop. Rangkaian huruf yang menyusun kalimat “Panen Raya Cabe Merah, Menaman Budaya Kita, Bertani atau Mati, Tolak Tambang Besi,” telah terpasang rapi dibackdrop panggung. Serampungnya persiapan, para aktivis solidaritas dan beberapa pemuda setempat beristirahat di salah satu rumah kosong milik warga Garongan yang diberi nama Gerbong Revolusi.
Menghadap Jalan Deandels, Gerbong Revoulsi adalah tempat bertemu dan berkumpulnya para aktivis solidaritas dari berbagai kalangan yang telah disediakan oleh warga. Di dalamnya juga ada perpustakaan dan studio radio. Malam itu, di atas gelaran tikar, kami melepas lelah di ruang utama Gerbong.
Kamis esok harinya, kami menikmati sarapan di rumah Koordinator Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo Widodo. Di sini, para aktivis solidaritas sudah seperti keluarga sendiri, terutama dengan Mas Wid sekeluarga. Setiap ada kegiatan atau sekedar bersilaturrahim ke rumah Mas Wid, istri tercinta Mas Wid dan tetangga selalu menyediakan makan. Ah, kemurahan dan kerukunan yang tampaknya tak bakal bisa dicecap dari logika industrial.
Setelah menyantap hidangan sarapan di rumah Mas Wid, kami menyempatkan bertolak ke Kota Wates, ibu kota Kabupaten Kulon Progo. Tujuan kami Rumah Tahanan (Rutan) Wates. Di sana, Pak Tukijo, petani dari Dusun Karangsewu, Desa Gupit, Kecamatan Galur, Kulon Progo menjalani kurungan.
Aktivis PPLP ini divonis tiga tahun penjara—vonis lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya dua tahun—oleh Pengadilan Negeri Wates pada 22 Agustus tahun lalu. Pak Tukijo telah didakwa melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan merampas kemerdekaan orang. 1 Mei 2011, hari ketika Pak Tukijo ditangkap, menjadi Minggu yang tak akan dilupakan oleh petani pesisir Kulon Progo. (Kronologi penangkapan Pak Tukijo)
Di tengah perjalanan, kami membeli bingkisan untuk Pak Tukijo. Selain buah, tak lupa koran dan majalah. Sekira setengah jam perjalanan dari Garongan, kami sampai di Rutan Wates. Sebelum mendapat giliran kunjungan, kami bertemu dengan Bu Kelep, istri Pak Tukijo beserta keluarga, di depan pintu Rutan.
Sambil terkekeh menyambut kami Bu Kelep berujar, “Kami sengaja keluar lebih awal karena tahu kalian berkunjung, giliran, hehehe.” Kami ngobrol seadanya beberapa menit. Bu Kelep sekeluarga pamit pulang. “Nanti pada mampir ke rumah ya,” ujar Bu Kelep sembari meninggalkan Rutan.
Giliran kunjungan tiba. Kami memasuki rutan yang sekaligus dijadikan penjara bagi para narapidana ini. (Setelah saya tanyakan ke salah satu petugas rutan, beberapa narapadina Kulon Progo yang seharusnya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (lapas/LP) Yogyakarta tidak ditempatkan di lapas karena kadung nyaman di Rutan Wates. Benarkah? Terlepas dari kenyamanan para narapidana, yang jelas, banyak lapas di negeri ini yang kelebihan penghuni dan tidak muat lagi).
Dengan senyum sumringah dan pandangan mata sayu, Pak Tukijo menyambut kami dengan pelukan penuh rasa. Satu per satu. Perasaan saya tak karuan ketika dipeluknya. Haru, rindu, sedih, dan bahagia, campur aduk.
Rasanya memang kurang lengkap mengikuti perayaan panen raya tanpa bertemu Pak Tukijo. Bagi warga pesisir Kulon Progo yang menolak tambang besi, Pak Tukijo lebih dari sekadar keluarga. Beliau adalah pahlawan. Spanduk bertuliskan “Tukijo Pahlawan Kami” tertancap di pohon-pohon sekeliling jalanan desa setempat.
Di ruang kunjungan, di kursi panjang yang mengelilingi meja, kami ngobrol dengan pejuang Tukijo. Tak sampai sejengkal dari meja-kursi ini, petugas rutan duduk di kursinya. Sambil merokok, petugas berparas tegas tampak serius memperhatikan obrolan kami. Tanpa basa-basi, Pak Tukijo menyampaikan banyak hal kepada kami. Dari perkembangan proses peradilannya yang sudah sampai pada penolakan kasasi, sampai pesan-pesan moral yang mengena.
poster karya Nobodycorp |
BEBERAPA HARI setelah penangkapan Pak Tukijo, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sempat mengajukan gugutan atas penangkapannya karena penangkapan itu di luar prosedur. Di tengah proses peradilan, pendampingan hukum kepada Pak Tukijo nyatanya tak berjalan mulus.
Negara yang lebih berpihak kepada kepentingan investasi modal asing ketimbang kesejahteraan petani tentu saja bakal melancarkan segala strategi untuk tetap menggagalkan upaya gugatan hukum pejuang seperti Pak Tukijo. Penghukuman Pak Tukijo pun sah disebut laku kriminalisasi. Sebuah kelakuan khas rezim otoriter. Di sini, demokrasi tak ubahnya bungkus makanan kadulaursa. Tampak sehat dari luar tapi busuk di dalam.
Kriminalisasi Pak Tukijo ini bukan kali pertama baginya. Januari 2010 lalu, Pak Tukijo pernah didakwa pidana dengan tuduhan pencemarkan nama baik gara-gara mempertanyakan hasil taksiran lahan petani oleh camat setempat. Tak berhenti pada Pak Tukijo, kriminalisasi negara terhadap petani pesisir Kulon Progo berlanjut ke keluarganya. Senin, 9 Janurai lalu, putra Pak Tukijo Eko Fitriyanto dan Slamet adiknya, divonis tiga bulan penjara dengan dakwaan pengrusakan pilot project PT Jogja Magasa Iron (JMI), perusahaan patungan Jogja Magasa Mining dan Indo Mines Ltd. asal Australia yang bakal mengeksploitasi pesisir Kulon Progo.
Kriminalisasi demi kriminalisasi bak teror ini tak menyurutkan semangat perjuangan Pak Tukijo dan PPLP. Sebaliknya, baik Pak Tukijo maupun PPLP malah kian semangat menolak tambang. Apalagi hasil panen cabai merah sangat menghasilkan.
Mas Wid mengungkapkan, harga cabai panen tahun ini sempat mencapai kisaran Rp25.ooo per kilo sebelum turun menjadi kisaran Rp15.000. “Meskipun turun, harga segitu juga masih tetap menguntungkan,” tambahnya.
Juni ini adalah bulan keempat belas bagi Pak Tukijo dalam menjalani hukumannya (Mei–Agustus 2011 adalah masa tahanan kota yang diakumulaikan dalam vonis tiga tahun). Setelah upaya kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung awal tahun ini, Pak Tukijo akan menggunakan hak-haknya untuk meringankan hukuman. “Setelah separuh masa kurungan, ada hak untuk mengajukan pengurangan. Saya akan memperjuangkannya,” katanya.
Pak Tukijo berpesan, “Sebenarnya bukan hanya saya yang dipenjara. Semua petani di pesisir Kulon Progo juga terpenjara. Maka saya mohon kepada kalian untuk terus membantu perjuangan kita, bukan cuma petani pesisir Kulon Progo, tapi juga seluruh rakyat Indonesia yang ditindas. Sekecil apapun bantuan itu.” Baginya, yang dipenjara hanya raganya. “Jiwa saya tetap berjuang,” ujar Pak Tukijo lirih namun tegas.
Setengah jam obrolan dengan Pak Tukijo itu terasa panjang. Perjumpaan singkat itu serasa meruang dalam keyakinan saya selama ini bahwa Pak Tukijo dan tetangga-tetangganya harus dibela. 2010 lalu adalah kali pertama perjumpaan saya dengan Pak Tukijo. Sore yang cerah dua tahun lalu itu, Pak Tukijo beserta rombongan petani pesisir Kulon Progo dan beberapa aktivis solidaritas bertandang ke sekretariat Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung UGM, di mana saya saat itu aktif menjadi pengurus, untuk sharing agar terbentuk dukungan yang luas.
Apalagi rencana pertambangan pasir besi di tanah Pak Tukijo beserta tetangga sempat mendapat rekomendasi dan legitimasi ilmiah dari Fakultas Kehutanan UGM.
Dangdut di Panen Raya Cabe Merah |
SETELAH PAMITAN DENGAN PAK TUKIJO, kami bergegas kembali ke Garongan. Venue yang malam tadi disiapkan telah dipenuhi warga. Teriknya panas matahari tak menghalangi semarak warga, dari anak-anak sampai nenek-nenek, untuk mengikuti pesta.
Para aktivis solidaritas dan mahasiswa juga turut memeriahkan pesta. Seperti lagunya Iwan Fals Desa, “Masa panen masa berpesta, itulah harapan kita semua...” Seperti biasa, siang itu komunitas Taring Padi mendendangkan beberapa lagu yang penuh muatan pesan perjuangan.
Setelah beberapa sambutan disampaikan, pemetikan cabai secara simbolis dilakukan. Acara berlanjut dengan hiburan. Empat biduanita dangdut lantas menggoyang hadirin. Sayangnya, setelah empat biduanita masing-masing baru membawakan dua lagu, genset rusak. Kemeriahaan goyang dangdut mendadak terhenti. Acara yang rencananya ditutup sekira pukul 17.00 WIB itu pun terpaksa bubar tiga jam-an lebih awal.
Tak apa, toh warga masih harus melanjutkan roda kehidupannya. Menyiram tanaman cabai, memetiknya, lantas menimbangnya... Sebuah kebudayaan yang telah jauh dari keberpihakan negara: menanam. (Ded)
Penulis adalah aktivis komunitas @kembang_merak dan mantan Pemimpin Umum LPM Balairung. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Berkediaman di twt; @che_udin