Berita Terbaru:
Home » » Filsafat Politik Islam

Filsafat Politik Islam

Written By IBNU CHALDUN on Tuesday, July 03, 2012 | 06:13

Oleh Moh. Hibatul Wafi*


A. Sejarah Filsafat Politik Islam.

Fihrist-nya Ibn Al-Nadim menyusun daftar sejumlah ”kitab politik” (kutubuhu al-siyasiyyat) oleh Al-Kindi yang disebut-sebut sebagai filosof pertama dalam sejarah pemikiran Islam. Diantaranya terdapat sebuah risalah tentang politik (siyasah) dan risalah lain tentang pemerintah massa (siyasah al-’ammah), keduanya tidak ditemukan lagi. Risalah-risalah selebihnya membicarakan tema-tema etika, termasuk kebijakan individu.

Selanjutnya, tibalah Al-Farabi sang filosof politik Muslim. Al-Farabi dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles, si ”guru pertama”. Beliau adalah filosof Islam yang pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik yunani klasik dengan Islam, dan berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.

Tujuan filsafat politik Al-Farabi ini beberapa waktu kemudian dikembangkan pula dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa’ (Risalah Persaudaraan Suci/Tulus), sebuah ensiklopedi yang dihimpun sebelum 349 H/959-60 M oleh para penulis dan simpatisan anonim Isma ’Iliyah. Maksud pengajaran mereka adalah membersihkan jiwa dan memperbaiki watak dengan pengetahuan tentang ”hal-hal intelektual”. Pengetahuan mengenai hal-hal seperti ini membawa keselamatan di hari kemudian. Selain itu Rasa’il memuat paragraf-paragraf yang lebih banyak mengungkapkan gagasan pelik dan rumit mengenai filsafat politik yang didasarkan Al-Farabi .

Selanjutnya kita dapat menemukan suatu pendekatan baru pemikiran filosof Muslim yang datang setelah itu, yakni Ibnu Miskawaih lahir di Rayy 320 H/932 M dan konon wafat pada 421 H/1030 M seperti yang ditunjukkan lebih menekankan politik personal ”istilah yang digunakan oleh Ikhwan Al-Shafa’” kebajikan ditentukan oleh kebijaksanaan (Al-Hikmah), hukum dan tradisi.


B. Garis Besar Filsafat Politik Islam.

Islam merupakan agama universal yang memberikan pedoman setiap aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya juga tentang aspek kehidupan bernegara. Khusus mengenai kehidupan bernegara, Islam memberikan pedoman dengan amat global, hanya diajarkan prinsip-prinsipnya, guna memberikan kesempatan bagi interpretasi dan perkembangan masyarakatnya, sesuai dengan kebutuhan hidup yang senantiasa berkembang.

1. Manusia adalah khalifah di Bumi.

Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh." (QS. Al-Ahzab : 72)

Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia ialah agar memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amanat mulianya manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai manajer di bumi (kalifatullah, wakil Allah di Bumi).

Bebaskan ummat manusia dari kezaliman, merdeka, berdaulat, dan mampu melindungi kepentingan-kepentingan ummat serta menjunjung tinggi suara hati nuraninya. Kekuasaan yang diberi kekuasaan memimpin negara kadang-kadang disebut sebagai khalifah seperti sebutan kepada Nabi Daud as. Kadang-kadang dinamakan Imam seperti sebutan raja-raja Bani Israil yang antara lain Thalut, adalah seorang raja diantara mereka. Allah SWT berfirman: "Nabi mereka mengatakan kepada mereka: Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab: Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak? Nabi (mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya Lagi Maha Mengetahui." (QS. : Al-Baqarah : 247)

2. Kekuasaan negara menurut Sunnatullah.

Sunnatullah menentukan bahwa yang hendak memperoleh atau memegang kekuasaan negara adalah orang yang berkemampuan untuk itu. Tentang orang yang berhak memegang kekuasaan negara itu, secara umum diperoleh pedomannya melalui fiman Allah: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS. Al-Hajj : 41)

Dari kandungan ayat Al-Qur’an tersebut, diperoleh ketentuan bahwa yang berhak memegang kekuasaan negara menurut ajaran Islam adalah orang yang kecuali memenuhi syarat kecakapan teknis juga mampu menegakkan syari’at Islam, memenuhi perintah Allah, mengajarkan agama Allah, beribadah hanya kepada Allah, tidak mnyekutukan-Nya dengan selain-Nya, mendirikan shalat, menunaikkan zakat, mengerjakan kebaikan-kebaikan, menjauhi keburukan-keburukan, dan mengakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Ayat-ayat Al-Qur’an di atas mengajarkan agar orang yang berkesempatan memperoleh kekuasaan jangan sampai berbuat zalim, tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan atau kritik-kritik konstruktif untuk kembali ke jalan yang benar, maka Allah akan mengazab mereka dengan menggantikannya dengan orang-orang yang dapat berbuat adil.

3. Negara mutlak diperlukan.

Sebagai agama universal yang telah disempurnakan, Islam memberikan pedoman hidup menyeluruh, tidak hanya memberikan pedoman dalam aspek kaidah, ibadah, dan akhlak, tetapi juga dalam bidang kemasyarakatan. Ajaran-ajaran dalam bidang kemasyarakatan diantaranya tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan kekuasaan negara, misalnya aturan-aturan hukum pidana seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan, perzinahan, menuduh zina, minum-minuman keras, dan riddah.

Dalam urusan keperdataan, perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masyarakat tidak selalu dapat diselesaikan secara perorangan, sering diperlukan penyelesaian melalui pengadilan. Misalnya seorang suami yang menyangkal kesahan anaknya yang dilahirkan isterinya, yang dari segi kepidanaan berarti bahwa suami telah menuduh isterinya berbuat zina, dan dari segi keperdataan menyangkut status anak serta hubungan perkawinan mereka. Hal semacam ini tidak dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan, yang berarti harus melalui kekuasaan negara.

Sejarah Nabi Muhammad SAW, dalam menyebarkan agama Islam mencatat bahwa sejak beliau hijrah ke Madinah, pembinaan masyarakat dalam arti sebenarnya telah dimulai dan negara untuk pertama kali lahir di bawah pimpinan langsung Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu unsur-unsur negara telah terpenuhi, yaitu ada teritorial (madilah), kekuasaan pemerintahan yang ditaati dan ada rakyat masyarakat Muslim. Dalam menjalin hubungannya dengan masyarakat lain (non-Muslim) terutama kaum Yahudi, Nabi Muhammad SAWmembuat perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dan masing-masing akan menikmati haknya, memperoleh jaminan keselamatan, bebas menjalankan ajaran agamanya. Perjanjian inilah yang kita kenal dengan Piagam Madinah.

Memang benar bahwa dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi tidak dijumpai perintah secara jelas agar ummat Islam mendirikan negara. Tetapi dapat diperoleh ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi secara implisit dapat dipahamkan adanya negara bagi ummat Islam untuk dapat melaksanakan banyak ajaran merupakan tuntutan syari’at yang mutlak adanya. Dari segi logika dapat disebutkan bahwa jika ummat Islam diwajibkan melaksanakan syari’at Islam, dan untuk dapat melaksanakannya diperlukan adanya dukungan negara, maka adanya negara itu merupakan kewajiban juga. Dari segi fitrah manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia bermasyarakat akan baik dan teratur jika ada yang diangkat menjadi pemimpin dan dalam hubungan masyarakat luas, pemimpin itu adalah kekuasaan atau pemerintah negara.

Sejalan dengan pokok pikiran bahwa negara mutlak diperlukan untuk mendukung terlaksananya ajaran Islam, maka dapat disebutkan pula bahwa negara itu bertujuan untuk melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan masyarakat, menuju kepada tercapainya kesejahteraan hidup di dunia, baik secara individual dan sosial maupun materil dan spiritual, serta mengantarkan pada tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Syari’at Islam menuntut adanya negara bagi ummat Islam demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat. Tetapi tidak ada suatu ayat Al-Qur’an atau Sunnah Rasul pun yang dengan jelas memerintahkannya. Oleh karenanya, dalam kedua sumber itu tidak terdapat sebutan khusus bagi predikat negara Islam. Namun apapun selain mencerminkan kemungkinan terlaksananya ajaran Islam dapat diterima. Nama negara Islam tidak berasal dari Nash Al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi timbul dari usaha para fuqaha dengan maksud membedakan negara yang melaksanakan syari’at Islam dengan yang tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, K.H. Ahmad Azhar M.A., Refleksi Antar Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, Dan Ekonomi, Bandung : Mizan, hlm. 48-50, 1996.

Rahmat, Jalaludin, Antara Al-Farabi Dan Khomeini, Filsafat Politk Islam, Bandung : Mizan, hlm. 33, 2002.

*Mahasiswa UIN Jakarta dalam makalahnya tanggal 9 Desember 2009.


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta