Oleh Jibal Windiaz
Wajah kebudayaan kita hari ini senasibdengan remaja, begitu ramai digandrungi buah cuaca pubertas. Ganjil tapi menggenapkan.
Jerawat yang
tumbuh berebut tempat di wajah. Pita
tenggorokan mulai membentuk timbrenya sendiri. Partitur emosi bersibuk meng-aku-kan
diri---ini aku makhluk yang berkelamin. Jika daerah vital mulai dihinggapi
bulu-bulu halus. Menstruasi dan mimpi basah mustahil ditolak. Hasrat selalu
ingin tampil. Mulai suka caper (cari perhatian) terhadap lawan jenis. Kerja kebutuhan biologis mendorong rasa penasaran
lain untuk mencoba banyak hal baru.
Tanpa polemik, sejarah kebudayaan kita tentu jauh
dari kata dewasa, ketimpangan dari problem sosial serta politik-ekonomi. Berkelindan
mengkontaminasi gestur kebudayaan bangsa ini, tubuh yang belum rampung
dirundung cuaca pubertas. Semata masih berkutat pada polemik yang mengulang
tema---aku ingin menjadi. Posisi negara adalah pertanyaan besar jika diandaikan
sebagai pemasok perhatian atas cuaca semacam itu.
Kepentingan dunia luar, Globalisasi mestinya
bukan lagi ancaman. Penyelenggaraan budaya agraris serta maritim kita masih
jauh dari kata memakmurkan. Gejala diversifikasi ekosistem. Peran dan fungsi negara
sibuk merayakan melodrama pencitraan. Membaca pesta pembenaran yang tersiar
lewat iklan layanan masyarakat, betapa pamong negeri ini terkesan bersungguh
diri dalam memposisikan peran aktifnya. Namun fakta bicara lebih jujur, petani belum
dapat hidup makmur dari yang ditanam. Dan nelayan lebih sering absen melaut,
memilih jadi buruh lepas di pelabuhan dan kota. Begitu pun masyarakat pekerja. Budaya
industri melagukan mars penghisapan, menyembunyikan disharmoni terhadap alat
produksi. Memainkan instrumen cuaca penghasil laba, demi menyuburkan budaya
konsumtif di masyarakat kita. Kerancuan yang membius.
Membaca tubuh kebudayaan kita yang diam-diam
tengah menggandrungi bentuk serta warna baru. Komodifikasi dari mithos abad
pencerahan. Keaktoran dan pemeranan tokoh publik hari ini, pantas bila meyandang
gelar ‘ababil’ alias ABG labil. Hipokritas tubuh histeria. Ini tentu bukan
tanpa sebab. Politik pembangunan yang melulu
jinak ditopeng-monyetkan kepentingan investor, lantaran kebangkrutan dalam
penerapan sistem yang sekadar menghadirkan jawaban darurat dari persoalan
politik-ekonomi. Menyuburkan euphoria kegelisahan di mana-mana. Separatisme
dalam ragam bentuk dan isu. Semacam jerawat pubertas, demikian membiak dan begitu
kepingki-pingkian warnanya.
Yang nekat
layak dapat tempat.
Selamat siang tanda baca. Baliho dinosaurus
pesta reklame pencitraan, merekayasa buah kesadaran kritis Descartes, wajah kesibukan
sekadar menjawab tuntutan deadline;
aku-ada-karena-aku-mengada-ada. Wacana pembunyian melalui budaya sosmed adalah tambang
yang mereproduksi senandung rindu, nostalgia akan sawah dan pantai tropis. Ikan
asin serta sambal terasi yang disajikan oleh wajah eksotis perempuan Jawa. Semacam
obat penghibur bagi hati yang jomblo. Lalu tercetuslah pertanyaan menggelitik dari
seorang kawan kretekus penjamah kopi tentang ‘hubungan sastra dengan libido’. Pertanyaan ini lebih dari sekadar guyonan
atas cuaca puber. Menikmati secangkir kopi dan aroma kretek di sebuah kafe
bernuansa eksotis demi menyelamatkan diri dari kemacetan lalu lintas pada jam
pulang kantor. Barangkali ini adalah hiburan satu-satunya bagi orang kota atas
kebutuhan ruang berkhayal. Meski kesempatan berkhayal bisa dilakukan di mana
pun tempat. Namun pertanyaannya adalah kenapa ruang dan khayalan kita pun harus
distandarisasi (?).
Mari melancong ke dalam bunyi mesin ketik
Pram. Partitur ganjil yang menggenapkan. Sejarah. Bau bakaran sampah sore hari;
asap dan cinta. Menyengat dari halaman novel sosial-budaya kita, epos kegetiran
hidup dalam ketertindasan pada Bumi Manusia. Diam-diam kita mesti mencurigai,
babak demokrasi hari ini dalam pembakaran ban bekas serta jargon-jargon bernada
pesanan. Bentrok antar mahasiswa. Dan kesibukan sampingan polisi yang
bergantian ditonton sebagai girlband-boyband. Bertaburan nuansa politik agama
baru pada headline-headline surat kabar.
Komoditas purba lara yang berdaya guna. Memikat dan menjerumuskan. Kemudian keberpihakan
tokoh-tokoh muncul sebagai tanda tanya besar, melompat dari kolam ke kolam.
Menguarkan aroma musim kawin dari amfibi penjual suara. Selamat tidur masa
depan.
Akses politik pembangunan berulang membuat
jurang runcing pada keterbelahan masyarakat. Melipat gandakan fungsi teror.
Sehingga terlalu manis untuk dipercaya. Sejak televisi begitu genit mengobral
kepentingan investor kebudayaan. Benarkah ini semua adalah wajah kebudayaan
kita. Ragam kebijakan yang ditetaskan negara berpijak pada strategi jitu,
kononnya; memihak sumber penghidupan bersama. Bukankah itu semua sekadar perayaan
pubertas dari histeria kebudayaan yang membabu (?).
*Penulis adalah Koordinator Komunitas Kretek Jakarta