Berita Terbaru:
Home » » Membaca Blues Jerawat Ababil

Membaca Blues Jerawat Ababil

Written By angkringanwarta.com on Thursday, November 08, 2012 | 20:00


Oleh Jibal Windiaz


Wajah kebudayaan kita hari ini senasibdengan remaja, begitu ramai digandrungi  buah cuaca pubertas. Ganjil tapi menggenapkan.


Jerawat yang tumbuh berebut tempat di wajah.  Pita tenggorokan mulai membentuk timbrenya sendiri.  Partitur emosi bersibuk meng-aku-kan diri---ini aku makhluk yang berkelamin. Jika daerah vital mulai dihinggapi bulu-bulu halus. Menstruasi dan mimpi basah mustahil ditolak. Hasrat selalu ingin tampil. Mulai suka caper (cari perhatian) terhadap lawan jenis.  Kerja kebutuhan biologis mendorong rasa penasaran lain untuk mencoba banyak hal baru.

Tanpa polemik, sejarah kebudayaan kita tentu jauh dari kata dewasa, ketimpangan dari problem sosial serta politik-ekonomi. Berkelindan mengkontaminasi gestur kebudayaan bangsa ini, tubuh yang belum rampung dirundung cuaca pubertas. Semata masih berkutat pada polemik yang mengulang tema---aku ingin menjadi. Posisi negara adalah pertanyaan besar jika diandaikan sebagai pemasok perhatian atas cuaca semacam itu.

Kepentingan dunia luar, Globalisasi mestinya bukan lagi ancaman. Penyelenggaraan budaya agraris serta maritim kita masih jauh dari kata memakmurkan. Gejala diversifikasi ekosistem. Peran dan fungsi negara sibuk merayakan melodrama pencitraan. Membaca pesta pembenaran yang tersiar lewat iklan layanan masyarakat, betapa pamong negeri ini terkesan bersungguh diri dalam memposisikan peran aktifnya. Namun fakta bicara lebih jujur, petani belum dapat hidup makmur dari yang ditanam. Dan nelayan lebih sering absen melaut, memilih jadi buruh lepas di pelabuhan dan kota. Begitu pun masyarakat pekerja. Budaya industri melagukan mars penghisapan, menyembunyikan disharmoni terhadap alat produksi. Memainkan instrumen cuaca penghasil laba, demi menyuburkan budaya konsumtif di masyarakat kita. Kerancuan yang membius.

Membaca tubuh kebudayaan kita yang diam-diam tengah menggandrungi bentuk serta warna baru. Komodifikasi dari mithos abad pencerahan. Keaktoran dan pemeranan tokoh publik hari ini, pantas bila meyandang gelar ‘ababil’ alias ABG labil. Hipokritas tubuh histeria. Ini tentu bukan tanpa sebab.  Politik pembangunan yang melulu jinak ditopeng-monyetkan kepentingan investor, lantaran kebangkrutan dalam penerapan sistem yang sekadar menghadirkan jawaban darurat dari persoalan politik-ekonomi. Menyuburkan euphoria kegelisahan di mana-mana. Separatisme dalam ragam bentuk dan isu. Semacam jerawat pubertas, demikian membiak dan begitu kepingki-pingkian warnanya.



Yang nekat layak dapat tempat.

Selamat siang tanda baca. Baliho dinosaurus pesta reklame pencitraan, merekayasa buah kesadaran kritis Descartes, wajah kesibukan sekadar menjawab tuntutan deadline; aku-ada-karena-aku-mengada-ada. Wacana pembunyian melalui budaya sosmed adalah tambang yang mereproduksi senandung rindu, nostalgia akan sawah dan pantai tropis. Ikan asin serta sambal terasi yang disajikan oleh wajah eksotis perempuan Jawa. Semacam obat penghibur bagi hati yang jomblo. Lalu tercetuslah pertanyaan menggelitik dari seorang kawan kretekus penjamah kopi tentang ‘hubungan sastra dengan libido’.  Pertanyaan ini lebih dari sekadar guyonan atas cuaca puber. Menikmati secangkir kopi dan aroma kretek di sebuah kafe bernuansa eksotis demi menyelamatkan diri dari kemacetan lalu lintas pada jam pulang kantor. Barangkali ini adalah hiburan satu-satunya bagi orang kota atas kebutuhan ruang berkhayal. Meski kesempatan berkhayal bisa dilakukan di mana pun tempat. Namun pertanyaannya adalah kenapa ruang dan khayalan kita pun harus distandarisasi (?).

Mari melancong ke dalam bunyi mesin ketik Pram. Partitur ganjil yang menggenapkan. Sejarah. Bau bakaran sampah sore hari; asap dan cinta. Menyengat dari halaman novel sosial-budaya kita, epos kegetiran hidup dalam ketertindasan pada Bumi Manusia. Diam-diam kita mesti mencurigai, babak demokrasi hari ini dalam pembakaran ban bekas serta jargon-jargon bernada pesanan. Bentrok antar mahasiswa. Dan kesibukan sampingan polisi yang bergantian ditonton sebagai girlband-boyband. Bertaburan nuansa politik agama baru pada headline-headline surat kabar. Komoditas purba lara yang berdaya guna. Memikat dan menjerumuskan. Kemudian keberpihakan tokoh-tokoh muncul sebagai tanda tanya besar, melompat dari kolam ke kolam. Menguarkan aroma musim kawin dari amfibi penjual suara. Selamat tidur masa depan.

Akses politik pembangunan berulang membuat jurang runcing pada keterbelahan masyarakat. Melipat gandakan fungsi teror. Sehingga terlalu manis untuk dipercaya. Sejak televisi begitu genit mengobral kepentingan investor kebudayaan. Benarkah ini semua adalah wajah kebudayaan kita. Ragam kebijakan yang ditetaskan negara berpijak pada strategi jitu, kononnya; memihak sumber penghidupan bersama. Bukankah itu semua sekadar perayaan pubertas dari histeria kebudayaan yang membabu (?).



*Penulis adalah Koordinator Komunitas Kretek Jakarta


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta