Oleh Hendra Sunandar*
Kata pahlawan selalu menarik untuk
diperbincangkan dalam perjalanan sejarah, oleh karenanya tulisan ini dibuat
dalam rangka memperingati hari pahlawan yang jatuh pada setiap 10 November
untuk mendefinisikan kembali pengertian pahlawan dan untuk siapa gelar pahlawan
itu disandang pada masa sekarang ini.
Ketika pada masa-masa penjajahan
bangsa kolonial, kita mengenal sosok seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir,
Tan malaka, kaum ulama dan lain-lain yang merupakan tokoh penting dalam proses
memperebutkan kemerdekaan. Kontribusi para pejuang kemerdekaan pada masa lalu
begitu terasa hingga sampai saat ini kita bisa menghirup udara segar di tanah
Indonesiai Mungkin tanpa sosok-sosok seperti yang disebutkan diatas kondisi
Indonesia belum tentu akan se-tentram ini, terlepas dari masih banyaknya
konflik dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Sejenak mereview kembali perjuangan
bangsa Indonesia dalam memperebutkan kemerdekaan yakni ketika memasuki awal tahun 1940-an,
para intelektual dari generasi pertama, seperti Agus Salim, Tjokroaminoto,
Sjahrir yang telah dianggap sebagai “the
grand old men” namun pengaruh politik mereka mulai surut akibat dari
kebijakan Jepang yang memberhanguskan aktivitas politik bangsa Indonesia dengan
melakukan pembubaran MIAI dan GAPI dan digantikan dengan pendirian Masyumi oleh
Jepang.
Meskipun aktivitas politik bangsa
Indonesia diberhanguskan, berkat kelihaian para pejuang kemerdekaan, para tokoh
kemerdekaan berhasil memobilisasi massa dengan melakukan gerakan politik bawah
tanah. Misalnya pada kelompok pemuda Amir Sjarifuddin (Ketua Gerindro) yang
melakukan gerakan bawah tanah dengan dukungan P.J.A. Idenburg merekrut ke dalam
jaringan bawah tanahnya mantan-mantan anggota Gerindo dan anggota-anggota PKI
ilegal yang secara diam-diam telah dihidupkan kembali oleh Muso pada tahun
1935.
Setelah runtuhnya jaringan bawah
tanah Sjarifuddin pada awal tahun 1943, sosok Sutan Sjahrir muncul dan menjadi gerakan
bawah tanah yang fenomenal. Sjahrir mendapatkan dukungan utamanya dari kalangan
pemuda-pelajar dan juga membangun jaringan luas dengan pemuda pedesaan lewat koperasi-koperasi
petani kecil. Selain itu, muncul sosok-sosok lainnya seperti Tan Malaka, serta
lingkaran Islam Mohammad Natsir. Setiap kelompok ini mengembangkan sayap pemuda-pelajarnya
sendiri, yang terdiri dari para pelajar sekolah menengah dan mahasiswa yang radikal
yang jumlahnya meningkat pesat sebagai hasil dari perubahan-perubahan dalam
rezim pendidikan dan kondisi persekolahan.
Politik gerakan bawah tanah dalam
memobilisasi massa menjadi strategi jitu bagi para pejuang kemerdekaan dalam
memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan kepada para penjajah.
Pada tahun 1940-an, seluruh elemen
masyarakat dari berbagai kelompok seperti Islam, Nasionalis, serta orang-orang
kiri bersatu dalam mewujudkan tekad untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia.
Begitu besarnya kontribusi para pejuang kemerdekaan melalui strategi gerakan
bawah tanahnya dalam memperjuangkan Indonesia.
Pada era reformasi sekarang ini,
sulit sekali menemukan sosok pahlawan yang rela memperjuangkan hidupnya untuk
negara, bagaimana tidak? Pada tataran elit pemerintahan saja sangat mudah untuk
menemukan tindakan yang cenderung merusak negara seperti korupsi, money politics,
kolusi, komersialisasi sumber daya, ketahanan pangan, jual-beli hukum serta nepotisme.
Terlebih untuk kasus korupsi yang sulit dibendung sampai ke akar yang paling
bawah. Tataran elit pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya
ketimbang kepentingan Negara, oknum seperti itu jelas tidak akan memberikan
kemajuan bagi Negara. Lantas kategori pahlawan masa kini layak diberikan kepada
siapa?
Pahlawan Masa Kini Semakin Tidak Dianggap
Namun sebuah pertanyaan menggelitik
pun datang, sebenarnya gelar pahlawan saat ini seharusnya layak ditujukan
kepada siapa? Menurut penulis, pahlawan masa kini adalah dia yang kehidupannya
semakin tidak dianggap dan ditelantarkan oleh negara. Dia adalah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), Pemulung, Pembersih Jalanan serta Tenaga Kerja Wanita (TKW)
adalah pahlawan masa kini yang kehidupannya tidak dianggap.
Sosok pahlawan masa kini bukan
hanya untuk orang yang memanggul senjata saja, tetapi yang terpenting adalah
dedikasi dan perjuangannya untuk negara yang tidak bisa dihitung harganya. Kita
tidak usah mempertanyakan lagi kontribusi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan
Tenaga Kerja wanita (TKW) dalam memperjuangkan devisa negara, mereka yang hidup
di negeri orang, kerap kali mendapatkan siksaan dari majikan namun dalam hal
ini pemerintah Indonesia kurang memberikan perlindungan kepada mereka dan
cenderung acuh tak acuh.
Selain itu juga ada pembersih
jalanan atau pemulung yang setiap harinya memungut sampah untuk keperluan
hidupnya. Untuk pekerjaan ini tentu banyak mendapatkan cacian dan cemoohan dari
berbagai masyarakat, namun sebagian masyarakat dan pemerintah nampaknya masih
buta akan kemuliaan pekerjaan ini. Mereka yang memungut sampah setiap harinya
telah menjadi sosok yang layak diperhitungkan ke dalam daftar pahlawan masa
kini.
Kesetiaan sang pemulung untuk
memungut sampah-sampah berserakan seharusnya mendapatkan apresiasi yang lebih
dari pemerintah. Mengingat pekerjaan ini adalah tidak mudah namun memberikan
efek positif bagi kelangsungan lingkungan hidup yang bersih bagi suatu negara.
Meskipun sering pandang remeh, sang pemulung tetap setia dalam pekerjaannya.
Hal yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah ini justru
dalam kenyataan selalu tersudutkan dalam berbagai fenomena. Misalnya penggusuran
lahan yang kebanyakan adalah rumah bagi pemulung untuk melangsungkan hidupnya.
Pemulung adalah pahlawan masa kini
yang kenyataannya semakin tersudutkan dalam strata di masyarakat. Rendahnya
strata di masyarakat dan tingginya kontribusi bagi kebersihan lingkungan hidup
suatu negara memunculkan gap yang
sangat jauh antara realitas dan appreciate.
Semakin mempertegas posisi peran pemulung sebagai pahlawan masa kini
yang tak dianggap.
Dalam momentum hari pahlawan ini,
penulis memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada pemulung yang telah
memberikan sumbangsihnya bagi kebersihan lingkungan hidup. Meskipun mendapatkan
cemoohan dan diangggap remeh, kontribusi sang pemulung tidak bisa dibandingkan
dengan pola perilaku oknum elit pemerintah yang semakin membuat malu negara
dengan tindakan korupsi dan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Oleh karena
itu penulis menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih
kepada kehidupan pemulung. Mereka adalah pahlawan bangsa masa kini yang semakin
tidak dianggap.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta