Cinta Pertama & Cinta Terakhir
Sejak papah meninggal dunia dan mamah memutuskan membawa adekku
satu-satunya merantau ke Kota Bogor dan aku tinggal bersama nenek yang sudah
tua renta dan aku tidak diajak mamah pergi. Tapi bagiku tak mengapa karena aku
sudah terbiasa hidup berdua dengan nenekku. Dari umur 4 tahun aku ditinggal
mamah papah merantau.
Kami bukanlah dari keluarga yang
kaya, tapi malah serba kekurangan, dan Syukur Alhamdulillah nenek sering
membantu keuangan mamah untuk biaya sekolah anak-anaknya bahkan untuk makan
sehari-hari, karena papah hanya mengandalkan dagang mainan anak-anak yang tak
pasti dapatnya. Bahkan sering datang orang menagih utang ke rumah. Maka
keduanya memutuskan untuk merantau ke kota.
Papah meninggal dunia karena
sakit, sakit liver dan jantung. Sudah beberapa kali berobat ke dokter, tapi
papah bandel dia tidak mau minum obat bahkan merokok masih ia lakukan dan
makanpun sembarang kadang tidak mau makan. Mamah juga kurang telaten merawat
papah, kasian papah. Tapi itu semua sudah lewat, mamah hanya menyesal dan
terus-terusan menangis ketika mendapat papah meninggal dunia.
***
Sekarang aku duduk di kelas 6 SD, tinggal beberapa bulan lagi ujian.
Aku bukan anak yang terlalu pintar tapi aku juga bukan anak yang terlalu bodoh,
biasa saja.
Aku berniat ingin melanjutkan di SMP negeri 1 yang agak lumayan jauh
dari rumah, namun tak perlu sampai naik angkot. Bisa jalan kaki, naik sepeda,
naik becak atau bisa naik ojek. Aku memutuskan jalan kaki saja bareng
temen-temen, lebih seru dan lebih hemat uang jajan.
Untuk punya sepeda, aku harus nabung uang dulu dan aku tak punya uang
banyak.
Aku sering ditinggal sama teman-teman, karena aku berangkat ke sekolah
selalu siang, bukan karena bangun kesiangan tapi pagi banyak yang harus aku
kerjakan. Seperti memcuci pakaian dan memcuci piring, bahkan kalo masih pagi
masak dulu untukku dan nenek. Keadaan seperti itu memaksaku untuk selalu
mandiri dan dewasa.
Disaat aku duduk di kelas 3 SMP dan sebentar lagi lulusan, diseberang
sekolah ada segerombolan anak-anak SMA yang sedang menikmati kelulusan mereka.
Mereka mencoret-coret seragam mereka dengan pikok warna warni, bahkan rambut
mereka juga sengaja dikasih pikok tanda mereka bangga telah lulus sekolah. Aku
hanya menggeleng-geleng kepala saja saat melihat mereka, lalu pergi.
Rupanya ada satu cowok yang memperhatikan tingkahku, saat aku masuk ke
gerbang sekolah. Anak cowok itu mendekat padaku kemudian mulai dia bertanya.
“ de, SMP kan bentar lagi lulusan, kakak punya pikok. Mau enggak ?...
“ tanya dia, sambil mengernyitkan matanya kearah pikok yang berada ditangannya.
Seragamnya penuh warna-wari pikok, kecuali rambutnya masih ia biarkan hitam
dengan rambut ikalnya.
“ enggak, terima kasih.. “ jawabku ketus, lalu pergi kearah gerbang tak
mengindahkan pikok yang dipegang, anak cowok itu.
Cowok itu cuman tersenyum dengan sikap jutekku. Aku kembeli menoleh
kearahnya dengan raut wajah sebel kemudian balik muka dan berjalan ke gerbang,
masuk sekolah.
Rupanya aku terlambat 10 menit, pantas saja sekolah sepi rupanya
anak-anak sudah masuk kelas. Aku mulai cemas dan khawatir, dag dig dug
jantungku saat masuk kelas. Tapi untunglah hari ini pelajaran agama, dan tak
ada guru di kelas hanya di kasih tugas mengerjakan 10 pertanyaan Essai.
“ Alhamdulillah…. “ jawabku sambil duduk dikursi tempat dudukku.
***
Nenek sudah mulai sering sakit-sakitan, karena sakit jantungnya dank
arena memang sudah tua. Uwa, kakaknya mamah juga jarang bahkan tidak datang
kerumah nenek untuk menengok. Tetangga – tetanggan berbaik hati untuk
membantuku. Dan untuk biaya berobat nenenk, nenek terpaksa harus menjual sawah.
Nenek rela, hartanya habis yang terpenting nenek bisa sembuh sedia kala,
walupun itu tidak mungkin. Dan ini yang membuat Uwa, benci sama nenek takut
kalo harta warisannya habis. Benar-benar anak durhaka.
Mamah pulang ke rumah dan tidak akan kembali merantau. Aku senang…
Beberapa bulan kemudian nenek meninggal dunia. “ Innalillahi Wai’inna
ilaihi rajiun.. “
Mamah akan membuka kantin di sekolah, dan aku menyetujuinya, adekku
duduk di kelas 5 SD. Adekku satu-satunya. Dia tidak mirip denganku, dia mirip
papah dan mamah, campuran. Kalo aku katanya mirip dengan nenek, mungkin karena
dari kecil sudah sering tinggal bareng dengan nenek.
Aku mulai tumbuh, dari anak-anak ke remaja. Saat ini aku duduk dikelas
satu SMA. Saat teman-temanku berlomba-lomba punya pacar, aku masih saja jomlo.
Dan aku fikir aku masih anak-anak dan belum waktunya punya pacar. Tapi jujur saja, aku mulai suka dengan lawan
jenis, aku mulai memperhatikan penampilanku sendiri. Selalu ingin terlihat
cantik dan bergaya, terkadang aku minder sama teman-teman yang selalu mengikuti
tren. Aku ngiri. Tapi mamah bilang, jangan pedulikan itu. Yang terpenting
sekarang adalah konsentrasi belajar.
Namun tetap saja, aku selalu merasa minder. Dan ketika aku mulai ada
yang melirik, sesaat aku senang namun disaat kemudian aku malu. Bukan karena
aku juga suka padanya, tapi lebih baik aku menghindar. Karena cowok yang suka
sama aku, aku tak menyukainya.
Aku senang karena disukai, tetapi aku tak senang karena cowok itu
bukanlah yang aku senangi. Sesaat aku membencinya karena sikapnya yang terlihat
bodoh.
“ Ran, nanti pulang bareng ya… “
Deni yang dari tadi menunggu Rani keluar kelas.
Sesaat Rani berfikir lalu, “.. hmmm oke dech… “ Rani fikir daripada
kosong, lebih baik menerima tawaran Deny. Sebenarnya Deny, memang cukup tampan
cuman dia agak gemuk aja, kulitnya juga putih dan bersih, dia anak yang baik
dan seperti dia tipikel anak yang penurut orang tua. Dan yang lebih kasihan
lagi dia menjadi sasaran palakan temanku, temanku memang kejam. Tapi bagiku
lucu aja…
“ Ran, biasanya sepulang sekolah kamu ngapain ?..”
“ Membantu mamah, mamah aku buka kantin di sekolah jadi aku bantu dia
“
“ooo… kamu baik yam au bantu mamah… “ Deny tersenyum padaku, dan aku
membalas senyuman.
Disaat itu pula, aku melihat anak cowok yang menawari pikok setahun
yang lalu, wajahnya terlihat lebih tampan dibanding waktu pertama kali. Dia
sedang duduk bareng cowok - cowok
lainnya yang aku tak kenal di warung yang biasa tempat aku nongkrong bareng
Deni.
Aku dan Deni, duduk dan pesen makanan di warung itu. Aku mulai
mencuri-curi pandangan dengannya, rupanya dia menyadari kalo ada yang
memperhatikannya. Dia mulai mengawasiku dan mengamatiku, aku mencoba menghindar
dengan minum dan mencoba mengajak Deni ngobrol.
Sesaat aku minum, rupanya cowok itu mendekat.
“ hai ! “ sapanya dengan agresif
“ hai…” jawabku dengan ragu
“ kamu masih inget aku ?.. “ tanyanya
“ hehe… “ aku hanya tertawa yang dibuat-buat tanda aku malu.
Dan dia hanya tersenyum, sedangkan Deni yang dari tadi menyedot es teh
hanya diam memperhatikan saja dan mungkin dengan segudang pertanyaan di
benaknya.
***
Dari pertemuan kedua itu, aku dan Yolan, namanya semakin akrab saja.
kami jadi teman. Bahkan kalo malam waktu gak ada kegiatan Yolan suka main
kerumah.
Aku mulai suka padanya, karena dia tampan, baik, suka bergurau yang
membuatku tertawa terbahak-bahak. Dia juga sering bercerita tentang
keluarganya, ibunya sudah meninggal dunia. Lebih dari 10 tahun ditinggal
istrinya, bapak itu tidak lagi menikah karena ia masih sangat mencintai perempuan
itu. Yolan anak terakhir, walau dia anak bontot tapi bukan berarti dia anak
yang dimanja. Dia pekerja keras dan sederhana. Setelah lulus SMA dia
melanjutkan usaha bapaknya yaitun membuka bengkel motor.
Semakin lama, aku dan Yolan semakin mengenal dan kami berdua saling jatuh
cinta, lalu kami saling komitmen untuk pacaran. Dia adalah pacar pertamaku dan
aku cinta pertamanya. Untuk Deni aku memutuskan bahwa dia adalah teman yang
baik, tapi dia tidak marah hanya bilang kalau dia kecewa.
***
Setelah lulusan SMA, aku ditawarin sama kakak sepupu bahwa di Jakarta
ada kerjaan untukku. Tanpa fikir panjang aku memutuskan untuk pergi dan kerja
di Jakarta. Dan aku lupa dengan Yolan, rupanya dia kecewa dengan keputusanku.
Tapi tak lama dia akhirnya mengerti, kemudian esok harinya dia mengantarku ke
terminal.
Sedih dan senang yang kurasakan saat itu, namun bagaimanapun aku ingin
menjadi orang yang berhasil dan tidak melulu di kampung. Aku ingin nikmatin
hidup di Kota. Walau begitu perjuangan namun di Kota ini membuat ekonomi di
rumah lebih baik bahkan untukku sendiri. Aku mulai betah hidup di kota ini.
2 tahun berlalu, setiap lebaran aku pulang dan kalo lagi kangen dengan
Yolan aku pulang, begitupun dengan Yolan kalo lagi kangen dia yang ke Jakarta, memang
berat menjalani cinta jarak jauh, butuh pengorbanan dan perjuangan. Disaat aku
membutuhkan dia disisiku dia gak ada, begitupun dengan Yolan. Komunikasi jalan
terus namun bertemu sangat jarang, aku dan Yolan terus bertahan dengan hubungan
cinta seperti ini.
Namun semua itu tak berlangsung lama, Yolan mulai marah kepadaku.
Apalagi ketika aku memutuskan kuliah, dia cemburu kalo-kalo nanti aku punya
pacar baru dan meninggalkannya. Aku berusa meyakinkan dia, tapi tetap saja
sikap Yolan sering membuatku jengkel. Dan
aku mulai muak, dengan sikap Yolan yang sering marah. Kami sering bertengkar,
bahkan komunikasipun semakin jarang. Kadang aku yang mulai baikan, terkadang
Yolan yang ngajak baikan. Entah sampai kapan mau terus-terus menjalin hubungan
seperti ini.
Satu tahun berikutnya. Maka aku memutuskan hubungan ini, aku tak tahan
lebih baik putus dan tak ada komunikasi daripada terus-terusan kita sama-sama
tersiksa. Aku tak mau melepaskan pekerjaanku, demi Yolan. Mamah bergantung kepadaku dalam urusan
ekonomi. Aku tak mau jadi miskin dan serba kekurangan hanya demi Yolan. Yolan
sempat mengajakku menikah dengannya, namun aku menolak karna aku masih
membutuhkan uang, sedangkan dia pekerjaannya belum jelas.
Kami benar-benar putus.
***
Setahun kemudian aku dengar Yolan sedang menjalin hubungan dengan adek
kelasku, tapi aku tak mengenalinya. Dan tak lama kemudian mamah memberitahuku
ada undangan dari Yolan bahwa dia akan segera menikah, aku ucapkan selamat
padanya namun aku tak bisa pulang untuk dating ke acaranya dia. Bagiku
buang-buang waktu dan buang-buang duit saja. Walaupun sebenarnya dalam hatiku
menjerit tak rela dia pergi dari hatiku, dari hidupku.
Enam tahun sudah berlalu, aku menjalin hubungan dengan Ferdi,
laki-laki yang baik hati. Semenjak putus dengan Yolan aku tidak pernah menjalin
hubungan dengan pria lain. Aku menjomlo dan selama itu aku tak menemukan pria
yang sungguh-sungguh, mereka hanya main-main. Pria datang memberi cinta,
memberi harapan, lalu pergi dan tak pernah kembali. Aku seolah dihempaskan dan
tak ada artinya lagi, begitu dan begitu, kecewa dan terus kecewa. Terbesit
dalam benakku menyesal telah melepaskan Yolan, bayang-bayang Yolan terus
membayangiku, tak ada yang seperti dia, cinta Yolan begitu tulus namun dia
begitu cepat melupakan aku dan menikah dengan wanita lain. Kenapa ?... Aku tak percaya, begitu mudahnya dia
menghilangkan cinta yang dulu aku dan dia bangun.
Aku sering menangis karena ini, karena cinta. Pria selalu membuatku
sedih dan menangis. Namun setelah mengenal Mas Ferdi, pria yang baik hati
selalu membuatku tertawa dan tersenyum. Dia tidak begitu tampan tapi dia
menarik, enak dipandang. Kemudian kami menikah dan hidup di Jakarta. Setahun
sekali aku pulang ke rumah namun semenjak mamah meninggal dunia aku jarang
pulang.
Kini adekku juga sudah bekerja dan tak lama lagi, dia juga akan
menikah dengan pacarnya yang sudah 2 tahun dia pacarinya.
Kami dikarunia 2 putri yang cantik, mereka tumbuh jadi anak yang
dewasa dan mandiri. Aku mengajarkan mereka untuk hidup mandiri dan tidak
memperlakukan dengan manja. Tugasku menjadi seorang ibu, istri dan pekerja.
Semua aku lakukan dengan ikhlas dan senang. Semua kesulitan aku tetap bisa menghadapi
daan bisa melewati semuanya. Mas Ferdi adalah suami yang baik, dia mencintai
dan sangat menyayangiku, dia memperlakukan aku sebagai istri yang baik, dan
akupun mencintainya, menyayanginya sepenuh hatiku.
Kedua putriku jaraknya hanya 2 tahun, Melisa semenjak lulus sarjana
langsung diterima kerja di Perusahaan Korea yang kini berumur 25 tahun,
sedangkan adiknya Thalita sedang menyusun skripsi dan sebentar lagi lulus. Kami
keluarga yang bahagia dan syukur Alhamdulillah semua kebutuhan dicukupkan oleh
Allah bahkan setiap tahun kami menggelar acara bagi-bagi rezeki.
Namun semakin lama kondisi kesehatan suamiku Mas Ferdi semakin
memburuk, dia terkena stroke, - setengah lumpuh. Ini membuat keluarga kami
sangat terpukul. Aku selalu menemaninya dan menjaganya setiap hari, karna
kondisinya semakin memburuk. Mas Ferdi sudah tidak bisa lagi bekerja, dia
dipensiunkan dari perusahaannya, dan 5 tahun terakhir saya juga sudah tidak
lagi bekerja, lebih focus mengurus suami dan anak-anak.
Setengah tahun kemudian, Mas Ferdi dipanggil Allah, dia meninggal
dunia. Cobaan berat yang Allah berikan kepada keluarga kami, aku sedih,
anak-anak sedih kehilangan suami, kehilangan ayah. Dia adalah suamiku, aku
terus-terus menangis, sulit kumenerima kenyataan hidup, kehilangan dia. Namun bagaimanapun
aku harus tetap tegar, sabar dan ikhlas, aku harus bangkit dari kesedihanku.
Anak-anakku menguatkan aku untuk terus hidup.
***
Lebaran tahun ini, aku dengan anak-anak akan berziarah ke makam orang
tuaku. Semenjak Melisa kuliah aku tidak pernah pulang. Aku rindu kampung
halamanku, aku ingin pulang dan kangen dengan saudara-saudara.
Setelah keluar dan hendak pulang dari pemakaman umum. Kulihat ada
Yolan disana, rupanya Yolan menyadari adanya aku disana. Kami bertemu lagi,
semenjak aku putus dengannya, tidak pernah bertemu lagi. Jantungku
berdebar-debar ketika kami saling pandang, saling bertemu mata, seperti ketika
aku pertama kali bertemu, rasanya seperti berumur 15tahun saat aku bertemu
dengan cinta pertamaku yang telah hilang kini kembali datang disaat usiaku
hampir 60 tahun.
Aku tak muda lagi, aku sudah tua, aku sudah tak segar lagi, wajahku
sudah kriput, rambutku hampir putih semua.
Wajahnya masih terlihat tampan, walaupun sudah kriput dimana-mana,
rambutnya putih semua, dia masih tampak sehat, dia tersenyum padaku,
menghampiriku lalu menyapaku.
“ hai… ! “ sapanya dengan suara lembut
“ hai juga… “ jawabku
“ apakabar ?.. “
“ Alhamdulillah baik, bagaimana dengan kamu ?...” tanyaku
“ Alhamdulillah kabar aku baik-baik saja “
Aku memperkenalkan anak-anakku pada Yolan, kemudian kami bercerita
kehidupan masing-masing setelah kami putus. Istri Yolan meninggal dunia 10
tahun yang lalu, mereka dikarunia 2 putra dan 1 putri kini anak-anaknya sudah
menikah semua dan tinggal menetap di Jakarta, sedangkan Yolan sendiri masih
tinggal di kota Ciamis, kampung halaman kami. Dan tidak menikah lagi.
Semenjak pertemuan aku dan Yolan di pemakaman umum, hubungan kami
semakin dekat, seperti pacaran dulu. Aku bahagia dan bahagia, serasa aku
seperti gadis yang sedang jatuh cinta. Kami berdua masih saling mencintai, kami
pacaran kembali. Aku katakan padanya bahwa aku tidak seperti dulu, aku sudah
tua, badanku sudah peot dan aku sudah menopause. Namun aku bahagia ketika ia
mau menerimaku dan mengajakku menikah dengannya, aku tak mau menyesal seperti
dulu.
“ akupun sama, aku juga sudah tua, mungkin besok atau besok aku
dipanggil Allah, tak ada yang tahu…. Aku ingin hidup denganmu disisa hidupku,
bersama cintaku… dan kamu masih terlihat cantik bagiku… “
Yolan menatapku dengan mata yang penuh dengan cinta, aku hanya
tersenyum bahagia padanya.
Aku takut gagal namun aku ingin bahagia dengannya. Aku tak mau sendiri
dan aku tak mau hidup dalam kesepian yang membuatku ngilu. Mas Ferdi adalah
suamiku, cintaku yang takkan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Dan Yolan
adalah cinta pertama dan cinta terakhirku, belahan jiwaku.
Dan aku hidup bahagia bersama Yolan, anak-anak kami saling menyetujui
dan ikut bahagia dengan pernikahan kami.
Salam cinta untuk yang menemukan cintanya kembali.
***
Jakarta, 09 Oktober 2012
![]() |
Dede Damayanti |