Maraknya partai politik di Indonesia namun, apakah dari setiap partai benar-benar mempunyai
ideoligi? Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang semula bernama Partai Keadilan
(PK) ini pernah begitu gencar melarang pimpinan Partai Demokrasi Perjuangan
Indonesian (PDIP) Megawati sebagai Presiden dengan dalih agama. PKS menetapkan diri sebagai salah satu partai
berideologi Islam sama halnya PPP, PKB.
Namun, sebutan PKS
sebagai partai berasaskan Islam tak berlaku untuk kawasan Indonesia bagian timur,
yang berpenduduk mayoritas non muslim. Soalnya, PKS akan mengakomodasi caleg
non-muslim bertarung dalam pemilihan legislatif. "Ada kalangan non-muslim
yang akan dicalonkan PKS ini merupakan perwakilan dari daerah-daerah di
timur," kata ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, di Jakarta.
Asalkan, mereka dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan
partai. "Bisa saja dari non-muslim, selama syaratnya terpenuhi. Tinggal
sejauh mana calon itu dipersepsikan publik," ujarnya.
Hidayat sendiri mengakui pernah merekrut kader dari
non-muslim, pada pemilu lalu. Hidayat mencontohkan ada beberapa pejabat daerah
baik di tingkat eksekutif maupun legilslatif dari PKS yang merupakan
non-muslim. "Ada tersebar di Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat,
Sulawesi Utara, dan Toraja," ujarnya.
Kendati demikian, Hidayat menegaskan, PKS tidak akan membuat
perjanjian politik dengan organisasi massa manapun untuk mendongkrak suara.
Menurutnya, kontrak politik dengan ormas-ormas keagamaan hanya akan menimbulkan
konflik kepentingan.
Lalu bagaimana dengan partai politik lainnya? Perbedaan
ideologi juga pernah terjadi pada PDIP.
Hal itu terjadi saat Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo
berselisih paham dengan Joko Widodo kala menjabat walikota Solo. Keduanya
berselisih (2011) ketika walikota Solo Jokowi menolak rencana pembangunan mall
di atas lahan bangunan kuno bekas pabrik es Saripetojo, Kampung Jantirejo. (Yatna)