Oleh Aditia Purnomo*
Curah hujan yang tinggi pada awal tahun ini membuat
banyak wilayah di Nusantara tergenang banjir. Jakarta dan sekitarnya pun tak
luput dari terjangan banjir. Status darurat banjir bahkan telah diterapkan di
ibukota. Banjir ini berdampak pada berbagai agenda kenegaraan, salah satunya
ialah dibatalkannya kunjingan Presiden Argentina berkunjung ke istana.
Banyak yang berceloteh, banjir ini adalah yang
terparah. Hal ini disebabkan pusat perputaran uang di pusat ibukota ikut
tergenang, meskipun tak separah yang dialami masyarakat. Dari beberapa media,
disebutkan kerugian yang dialami oleh para pengusaha mencapai Rp. 1,5 Milyar
lebih Per Jam. Begi mereka, banjir kali ini merupakan bencana besar yang dapat
merusak siklus perekonomian republik.
Kementrian keuangan sendiri mengungkapkan, inflasi
yang disebabkan bencana ini dapat mencapai angka 1%. Tentu sebuah angka yang
lumayan besar mengingat saat ini masih awal tahun. Tentu dampak ini memberatkan
hidup masyarakat juga para pengusaha setahun kedepan.
Bagi pengusaha, inflasi ini mungkin tak terlalu
berpengaruh bagi kehidupan rumah tangganya. Namun inflasi ini tentu menambah
beban mereka yang telah lebih dulu dipusingkan oleh kenaikan upah minimum
propinsi. Sedangkan bagi masyarakat, ya tentu saja pengasapan di dapur dapat
terganggu.
Selain menjadi bencana, bagi sebagian masyarakat
banjir juga telah menjadi kebiasaan. Hal ini dapat dilihat dari keogahan mereka untuk mengungsi meski
banjir telah merendam rumah mereka. Faktor keselamatan barang-barang mereka
menjadi perhatian utama bagi mereka ketimbang faktor kesehatan dan keselamatan.
Namun, bagi beberapa warga, banjir yang terjadi tak
akan memakan banyak waktu. Karena itu mereka memilih tinggal di rumah ketimbang
berdesak-desakan di pengungsian. Selain itu, banyak juga dari mereka yang harus
tetap bekerja dalam kondisi ini. Tentu memilih tetap tinggal di rumah menjadi
pilihan baik bagi mereka.
Tak hanya itu, bagi sebaian warga yang lain banjir
kerap menjadi lahan basah untuk mendapatkan keuntungan. Penyediaan transportasi
gerobak baik untuk pejalan kaki atau pengguna sepeda motor menjadi lahan utama.
Bagi mereka, banjir bukanlah sebuah musibah yang perlu dikhwatirkan.
Perhatian tentu mengarah kepada psikologi massa. Apa
massa benar-benar telah menganggap banjir sebagai budaya? Apakah masyarakat
yang menganggap banjir sebagai budaya terbentuk akibat terlalu seringnya mereka
bersentuhan dengan bajir pada setiap musim penghujan?
Lalu bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan-permasalahan
yang telah dipaparkan diatas. Bagaimana upaya pemerintah untuk membuat
masyarakat nyaman tanpa hadirnya banjir, lalu bagaimana pula langkah pemerintah
untuk menekan inflasi yang menjadi bencana setelah bencana banjir? Menarik ditunggu
langkah-langkah untuk membuktikan jika banjir bukanlah budaya.
*Pemilik Triple Message Wear