Pergelaran , Kolosal & Spektakuler
“KEN DEDES WANITA DI BALIK TAHTA”
Produksi Tri
Ardhika Production & Swargalola Art and Culture Foundation
Kesenian tradisi yang menyimpan nilai estetik nan luhur
-- terlebih yang telah terpuruk langka -- patut digali, direkonstruksi,
direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam
publik lebih luas. “Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa.
Termasuk semangat memperkuat karakter masyarakat melalui kesenian tradisi.
Semangat ini pula yang coba kami tawarkan melalui seni pertunjukan yang
sebentar lagi akan kami gelar,” papar Eny
Sulistyowati SPd, SE dalam percakapan usai latihan di Sanggar Swargaloka,
di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Sabtu (12/01).
Melalui kibaran Tri Ardhika Production bekerjasama dengan Swargalola Art and
Culture Foundation, Eny Sulistyowati SPd, SE, akan mementaskan opera sejarah bertajuk ”Ken Dedes Wanita di Balik
Tahta.” Pertunjukan akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ),
Sabtu 2 Februari 2013 pukul 20.00 WIB mendatang.
Pementasan ini, terang Eny, melibatkan tak kurang
dari 150 seniman tradisi dari Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Jakarta. Didukung oleh para bintang
panggung dari Alumni Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta, Yogyakarta, diantaranya; Ali
Marsudi (Pu Purwo),
Agus Prasetyo (Ken Arok), Irwan Riyadi (Loh Gawe), Siti Maryuni ( Nyai Gede Mirah) dan Achmad Dipoyono (Tunggul Ametung). Disamping
juga akan diperkuat oleh penari dan
penyanyi bersuara emas Dewi Sulastri, yang akan berperan sebagai Nyi Purwo, dan bertindak sebagai
Sutradara.
”Opera sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta” menampilkan
pembaharuan gerak tari, musik, teater, rias busana, tata cahaya, dan tata
panggung, yang dipadukan dengan seni multi media. Sehingga diharapkan dapat
menyajikan sebuah totonan klasik, kolosal dan spektakuler,” papar Eny, yang
dalam pertujukan ini berperan sebagai Ken
Dedes, serta bertindak sebagai Eksekutif
Produser.
Master
musik dunia, Dedek Wahyudi, komposer yang sudah melalang-buana ke berbagai
negara dengan karyanya, juga turut mendukung pergelaran ini. ”Dedek akan lebih
mengeksplor musikalisasinya. Seperti penggabungan beberapa unsur musik etnik,
klasik dan modern. Digarap lebih kolosal dengan perkusi dan sentuhan
orchestrasi yang kental. Perpaduan musik gesek, gamelan dan instrumen
musik-musik modern. Selain
itu, tidak hanya para seniman tradisi yang kami libatkan di sini, melainkan
juga ada pekerja seni lainnya, diantaranya penyanyi Inul Daratista yang
memerankan tokoh Ken Dara,” terang
Eny.
Opera sejarah ”Ken
Dedes Wanita di Balik Tahta” papar Eny, mengangkat sejarah kerajaan Singasari yang menceritakan seorang wanita cantik jelita berbudi luhur dan
bercita-cita tinggi bernama Ken Dedes. “Pertunjukan ini sebuah renungan tentang kebesaran Ken Dedes di bawah asuhan dan didikan pekerti luhur sang Empu Purwo. Inilah yang akan
disajikan dalam bentuk opera. Obyektifitas sejarah atas kebesaran kemuliaan Ken Dedes sebagai simbul
wanita nusantara yang rahimnya melahirkan raja-raja besar. Pergelaraan ini
mengajak kita semua untuk merenungi ajaran-ajaran luhur yang tersimpan dalam
sejarah,” tukas Eny.
Di tengah terjangan
budaya global sekarang ini, tambah Eny, pemberdayaan dan penguatan terhadap
keberadaan seni tradisi perlu terus diupayakan secara berkesinambungan.
“Melakukan reposisi kultural terhadap nilai-nilai tradisi untuk menemukan
posisi dan maknanya yang baru. Reposisi ini bukan dalam pengertian ekstrim
pembongkaran dan penghancuran, melainkan melalui reinterpretasi dan inovasi.
Pemikiran ini dilandasi bahwa kesenian adalah merupakan proses kebudayaan yang
selalu dinamis dan akan berpeluang eksis dalam sanggaan kreativitasnya,”
ungkapnya.
Latar Belakang
Ken Dedes, wanita asal wanwa (desa) Panawidyan
itu menjadi tonggak awal kisah besar di bhumi
Jawa selama delapan abad. Bahkan, bisa jadi masih akan berlanjut hingga ke
tahun-tahun berikutnya. Ken Dedes adalah seorang “Stri Nareswari” atau “Ardhanareswari”
yang berarti wanita paling utama (uttama
hadating stri) atau perempuan termulia (adimu-kyaning
stri). Pustaka gancaran Pararaton memuat pernyataan Dhang Hyang Logawe dan Bango Samparan,
bahwa “...,. siapa saja yang memperistrinya, akan dapat menjadi maharaja (.., pan iku asing aderwe rabi, katekan dadi ratu
anyakrawati)”.
Ken Dedes bukan hanya tersohor di masyarakat
Indonesia. Lebih dari itu kebesarannya juga diikenal di manca nagara, utamanya
di kalangan masyarakat Eropa dan Asia. Arca perwujudannya sebagai pantheon Buddhis berbentuk “Dewi Prajnyaparamita”, yang merupakan salah
sebuah masterpice ikonografi masa
Singhasari, yang membuat takjub para seniman dan para ahli yoga (acarya) dunia. Karya pahat ini bukan
semata daya khayal atau imaji pematung (silpin)
Jawa, melainkan sebuah arca potret (de
potrait beelden) dan sekaligus refleksi raga-jiwa
Sang Ken Dedes itu sendiri. Konon dari “rahim emas (golden germ)”-nya lahir raja-raja besar Singhasari maupun
Majapahit. Mereka adalah para pengukir kemasyhuran Nusantara lama. Ken Dedes
oleh karenanya layak dipredikati sebagai “ibu sekalian para rajad Jawa” masa
Hindu-Buddha (XIII-XVI M).
Ken Dedes tak sekedar cantik lahiriyah (hayu anulus, listu hayu), namun elok
pula kepribadiannya. Seorang perempuan yang perilaku (karma)nya tercerahkan. Kitab Pararaton
mengisitilahkan sebagai telah “memperoleh karma
amamadangi” ”berkat kegenturannya menjalankan “enam (sad) -paramita” dalam kehidupannya, yang terdiri atas dana-,
sila-, ksanti-, virya-, dhyana- dan prajnaparamita.
Bukan hanya itu, pada segi politik pun, lewat garis ganeologisnya, Nusantara
lama yang sempat terpuruk pasca runtuhnya Mataram pada masa Sailendravamsa serta Isanavamsa (abad VII-XI M) mampu
ditegakkan kembali.
Sayang sekali, peran historis dan keluhuran
budinya itu acap luput dari perhatian publik. Atau terkadang perilakunya
dilencengkan dalam kisah-kisah sejarah pada masyarakat masa kini. Ironisnya,
Ken Dedes dipersepsikan keliru sebagai wanita berperilaku tercela (asubha karma). Demikian halnya Pu Purwa,
ayahandanya. Pu Purwa sejatinya adalah rokhaniawan Mahayana Buddhis (bhujangga Boddhasthapaka) di Mandala Panawijyan (Panawiken), yang
sudah barang tentu mempunyai pekerti mapan dan tertata.
Kebesaran Ken Dedes di bawah asuhan atau
didikan ayahandanya itulah yang bakal disajikan sebagai suatu legenda dalam
bentuk pertunjukan ”Opera
sejarah ”Ken Dedes Wanita di Balik Tahta”
Dengan topangan data
sejarah tentang kebesaran dan kemuliaan Sang Ken Dedes sebagai simbol wanita
Nusantara, yang dari rahim emasnya lahir raja-raja besar. Hanya dengan budi
pekerti yang luhurlah sebuah bangsa akan mencapai kejayaannya.
Opera sejarah ”Ken
Dedes Wanita di Balik Tahta” ini mengajak kita merenungi siratan ajaran luhur yang tersimpan lama dalam
sejarah. Sebagai bekal untuk bangkit dari keterpurukan dengan jalan memperbaiki
moralita dan perilaku keseharian. Semoga./***
Jakarta 12 Januari 2013
Media Communication
Eddie karsito // 08121979799
Adey Sucuk Zakaria Bahar // 083876626420
Twitter : @PentasKENDEDES
Facebook : KEN DEDES I
Email :
info@ken-dedes.com