Sengatan matahari serta embusan angin laut seakan menyambut
kedatangan kita. Tak jauh dari gapura “Selamat Datang di Sunda Kelapa” deretan
puluhan kapal pengakut barang berjejer sepanjang tepian jalan sunda
kelapa.
Para kuli panggul sambil memanggul barang melintasi sebilah
papan penghubung antara daratan dengan kapal itu sendiri. Sedangkan bagi mereka
yang telah menggunkan bantuan mesin akan berteriak keras-keras sebagai tanda
barang telah siap dipindahkan. “Siap, tarikkk !!!,” teriak lelaki yang sedang
bekerja memindahkan tepung-tepung kepada pekerja lainnya yang bertugas mengait
dengan mesin.
Selain nampak kapal dengan ukuran besar-besar, ternyata
terselip sebuah perahu yang biasa disebut dengan sampan. Di atas sampan duduk
seorang pria paruh baya, duduk termenung dengan harapan akan datang seorang yang
akan singgah di sampannya.
Sesekali Nyenggeran berteriak-teriak kepada para pengunjung
agar menaiki sampannya. Nyenggeran atau yang biasa di sapa Nyenggeh mengaku
hampir separuh usianya sekarang dihabiskan dengan menarik sampan.
Ia mengaku dengan bermodalkan sampan dapat menghidupi
keluarganya, bahkan untuk sekolah keempat anaknya hasil pernikahannya dengan
Rukmini. Untuk saat ini, yang penting membuat dapur tetap mengepul.
Agar dapat mengepul, ia habiskan bekerja dari pagi hingga
malam, kadang ada sisanya lumayan untuk ditabung untuk persiapan jika
hanya dapat rezikinya sedikit.“Kadang
kalo lagi rame biasanya bisa sampai 100.000 rupiah. Tapi, jika penumpang sepi
pernah dapat 15.000 rupiah. Tapi Alhamdulillah setiap harinya ada saja yang
naik sampan,” ucap Nyenggeh.
Dengan pendapatan yang tak menentu bahkan harus membanyar
menyetorkan 3.000 rupiah setiap harinya kepada Peru, sebutan petugas di
pelabuhan sunda kelapa, tak membuat Nyenggeh menyesali nasibnya.
Ia selalu bersyukur dengan apa yang ia peroleh di hari ini.
Ia dan keluarga tetap merasa bahagia dan tak pernah mengeluh. “Ya tergantung
kita, kalau kita bilang cukup insya Allah cukup, kalau enggak meskipun uang banyak tetap enggak cukup,” ujarnya.
Bahkan ia merasa sangat bersyukur dengan sampan ini, ia
telah berhasil memikat seorang perempuan. Kisah cintanya dengan gadis itu berujung
pada pernikahannya.
Coba banyangin, kata dia, seandainya waktu itu ia tetap
berada mengikuti kapal pengakut barang. Mungkin ia tak akan bertemu dengan
Rukmini. Memang, saat masih muda ia mengaku sering berlayar mengunjungi beberapa
pulau. “Kalimantan, Sumatera dulu memang sering berlayar kesana ikut
bantu-bantu orang kapal. Namun, lantaran sudah tua mau menghabiskan waktu di
sampan saja,” kenang bapak asli Makassar itu.
Meskipun sudah lama ia menekuni kerjaannya. Namun, rasa
cemas masih terus menggelayuti semua disebabkan faktor usia. “Mungkin karena
sudah tua, penglihatannya jadi sering kabur, terus takut kapalnya terguling,”
tutur lelaki yang usianya lebih 60 tahun.
(Ela)