Menilik pemberitaan beberapa media beberapa waktu yang lalu,
ada perasaan yang rasanya perlu dikaji lebih dalam. Kebijakan Panitia Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 yang mengharuskan sekolah
mengisi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), menguak tidak beresnya
persoalan administratif banyak sekolah di berbagai daerah.
Ada beberapa sekolah yang tidak bisa mengakses PDSS di laman
resmi www.snmptn.ac.id, karena tidak memiliki nomor pokok sekolah nasional (NPSN).
Akibatnya, siswa kelas XII SMA/MA/SMK di sekolah yang tidak punya NSPN, tidak
bisa mendaftar SNMPTN yang mulai tahun ini secara gratis.
Para siswa yang sekolahnya tidak punya NSPN terpaksa ‘gigit
jari’ melewatkan peluang untuk dapat menembus 61 PTN di seluruh Indonesia.
Mereka (siswa) telah menjadi korban kebijakan SNMPTN tahun ini.
Siswa yang sekolahnya
tak memiliki NSPN jelas tak salah. Jika ditelisik lebih dalam, tak semua
orang di negeri ini tahu tentang sekolah ber-NSPN. Bahkan, orang tua pun tak
tahu, makhluk apakah NSPN itu. Orang tua juga tak pernah bertanya, apakah
sekolah tersebut sudah ber-NSPN atau tidak. Sekolah juga tak pernah
mencantumkan sebagai sekolah ber-NSPN di papan nama sekolah sebagaimana sekolah
RSBI yang bangga dengan gelar.
Jika sudah demikian siapa yang salah?, ada beberapa pihak
yang perlu dipertanyakan terkait hal ini seperti pengelola sekolah
bersangkutan. Wajar sebagai pengelola sekolah harusnya tahu bahwa NSPN itu
sangat perlu. Tapi, selama ini memang tak pernah dipakai untuk apa-apa dan banyak
pengelola sekolah yang tak peduli untuk memiliki NSPN.
Kemudian, yang harus dipertanyakan kembali yakni pemerintah.
Selama ini, pemerintah tak pernah memberikan kejelasan fungsi dari NSPN. Bahkan,
sekolah yang tak memiliki NSPN juga tak pernah ditegur. Tak hanya itu, banyak
pengawas sekolah atau pemilik sekolah yang tak memikirkan sudah punya NSPN atau
belum.
Apalagi kebijakan NSPN untuk pendaftaran SNMPTN juga baru
tahun ini dan dengan sosialisasi yang sangat pendek. Wajar jika pemerintah juga
layak disalahkan.
Lantas, bagaimana nasib siswa yang sekolah di pelosok kampung.
Terutama di kampung-kampung yang jauh dari jangkauan tangan pemerintah yang
mempunyai rasa semangat yang tinggi untuk mencerdaskan bangsa. Apakah siswa tersebut
mempunyai peluang untuk mengikuti SNMPTN? Jangankan internet untuk mendaftarkan
siswanya, listrik saja masih menjadi mimpi.
Padahal banyak siswa dari daerah terpencil dan bukan sekolah
unggulan mampu menembus PTN favorit. Mungkin pembuat kebijakan SNMPTN 2013 ini
lupa kalau Andrea Hirata, pengarang tetralogi Laskar Pelangi, bersekolah di
daerah terpencil di Pulau Belitong. Menjalani pendidikan kelas kampung, dan lolos
seleksi di Universitas Indonesia, lalu menikmati pendidikan kelas dunia di
Universitas Sorbonne,Prancis. Semua itu berawal dari pendidikan kampung di desa
nun jauh disana.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa cerdas tidak hanya berasal
dari kota. Pemberlakuan sistem ini tentu saja mengoyak hak setiap warga negara
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi, kenyataannya SNMPTN 2013 malah menutup
akses kelompok tertentu.
Semoga sistem SNMPTN 2013 yang mendiskriminasi ini tidak
berlajut di SNMPTN 2014. Andai kata sistem ini akan dilanjutkan ke tahun-tahun
berikutnya, harapan untuk pendidikan yang merata bagi setiap warga negara
hanyalah “impian kosong” belaka.
Padahal, sesuai UU 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi
"Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Karena bagi
siapa pun, kuliah adalah sebuah tangga untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Kuliah adalah harapan perbaikan
masa depan.
(Jong)