Tiga belas tahun
tahta rezim otoriter Soeharto runtuh oleh gerakan perlawanan jalanan rakyat yang
dipelopori oleh gerakan mahasiswa. Namun, gerakan perlawanan jalanan
rakyat kini terkhianati oleh elit-elit borjuis yang langsung mengambil kekuatan
poltik parlementar sehingga tumbangnya kekuatan otoriter milliteristik
soeharto tidak sama sekali merubah kekuaasaan struktur ekonomi politik bangsa
ini.
Rezim yang hari ini
dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tidak lain adalah produk yang
lahir dari kekutan otriter militeristik orde baru. Wajah baru kekuasaan rezim
otoriter ini dapat dilihat dari masih berfungsinya negara sebagai kekuatan
kelas kapitalis yang berwatak represif.
Dengan
mengfungsikan Tentara, Polisi dan Bahkan Badan Intelejen Negara (BIN) serta
tidak luput keberadaan kaum sipil reksioner yang langsung dipelihara oleh
Negara. Selain itu, struktur underbow
pengaman yang dibentuk partai borjuis dengan watak Militer sebagai garda depan
penumpas gerakan perlawanan yang dibangun oleh Mahasiswa maupun rakyat yang
ber-lawan.
Gerakan
yang dibangun oleh mahasiswa selalu di identifikasi negara sebagai gerakan yang
bersifat anarkis dan gerakan yang berbau teror hingga dapat menganggu
ketentraman. Karena itu, terdapat upaya pembentukan stigma jika gerakan
mahasiswa melawan di jalur parlemen jalanan telah melanggar kaidah hukum negara
pantas disebut sebagai bandit sosial.
Hal ini terlihat
dengan penangkapan empat aktivis oleh Polda metro Jaya Jakarta yang
menggelar aksi demostrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan di Depan
kampus Atma Jaya menolak kenaikan harga BBM,pada 24 Juni 2008. Keempat aktivis
dikenai tuduhan sebagai provokator berdasarkan informasi dari Badan
Intelejen negara (BIN), atas tuduhan itu mereka mendapatkan vonis hukum
satu tahun penjara.
Diakhir penghujung
tahun 2010, sekitar 50 aktivis Mahasiswa dari Sekolah Bersama (SEKBER)
mendapatkan pemukulan serta penangkapan secara paksa oleh ratusan polisi dan
preman saat membubarkan aksi penghadangan Presiden SBY ke Istana presiden
Yogyakarta dalam rangka mengunjungi korban Bencana alam letusan gunung merapi setelah
datang dari pertemuan KTT ASEAN di Vietnam.
Tindakan alat
represifitas negara atas aksi-aksi gerakan rakyat ini juga ditopang oleh
keberadaan produk hukum seperti PROTAP (prosedur tetap) POLRI No
1/10/2010. Dengan adanya Protap tersebut, aparat kepolisian dapat secara legal
menggunakan senjata api untuk membubarkan aksi-aksi demonstrasi rakyat yang
dituduh rusuh dalam prespektif pihak kepolisian.
Selain itu juga masih
ada UU Intelejen yang mengancam wilayah gerak demokratisasi dimana UU tersebut
memperluas peran Badan Intelejen Negara (BIN) untuk memata-matai gerakan rakyat
termaksud gerakan mahasiswa. Dengan adanya UU ini, BIN dapat melakukan
penyadapan serta penangkapan tanpa melalui proses pengadilan, dan ini akan
melegalkan penculikan mengingat kerja intelejen sangat rahasia dan tertutup.
Padahal masih segar
dalam ingatan upaya penculikan aktivis mahasiswa dan rakyat yang menjadi
strategi orde baru untuk membungkam segala bentuk tindakan perlawanan
rakyat. Sampai saat ini, setidaknya masih ada 13 aktivis yang diculik di
akhir 90an dan belum diketahui nasibnya, apakah sudah meninggal atau tidak.
Penculikan ini
sendiri dilakukan oleh Tim Mawar dari kesatuan KopassusTNI
AD dan anggota ti, sudah diadili. Namun, aktor yang bertangung jawab
atas tindakan tersebut kini justru berani mencalonkan diri sebagai pemimpin
Republik ini seperti Jendral Wiranto dan Letjen Prabowo.
Maka sudah semakin
jelas konstruksi kekuasaan politik masih didominasi kekutan otoriter yang anti
demokrasi, anti kritik serta selalu mengedepankan represifitas untuk menghadapi
segala bentuk perlawanan rakyat maupun gerakan mahasiswa. Dengan berbagai cara
yang sudah dipaparkan diatas, maka
perlu ada tindakan tegas yang harus segara dirumuskan gerakan
mahasiswa. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada Republik ini.
(Dipa)