PRAMOEDYA ANANTA TOER merupakan Sosok kontroversial yang mengantarkan nama Indonesia ke peta sastra dunia. ia bercerita soal hiruk pikuk hidupnya adalah tantangan sport, perempuan Cina, seks, dan nikmatnya membakar sampah.
Pria kelahiran 6 Februari 1925 ini amat mengimani kerja.
Menganggap kerja sebagai eksistensi abadi bagi manusia. Dan di hati Pramoedya
Ananda Toer, kerja adalah menulis. Maka menulislah ia. Dalam Rumah Kaca Pram
pernah mencatat: ‘.. gairah kerja adalah pertanda daya hidup, selama orang tak
suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut…’.
Kebiasaannya menghisap rokok tanpa putus sejak umur 15
tahun, melahirkan tetralogi yang legendaris (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Rumah Kaca, dan Jejak Langkah). Juga karya-karya lainnya seperti Mangir, Arok
Dedes, Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan masih banyak lagi karya-karyanya.
Semuanya memiliki kesamaan yakni menggetarkan dunia.
Nominasi Nobel bidang sastra beberapa kali mencatat namanya.
Pengalaman hidupnya seolah ditakdirkan dramatis (layaknya orang-orang besar).
Pernah jadi pihak yang menekan saat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi
kesenian underbow PKI) berjaya. Lantas terseret jadi tahanan politik selama 14
tahun 2 bulan tanpa pengadilan, disusul status tahanan rumah. Juga menyaksikan
dengan sesak karya dan harta literaturnya dibakar militer. Pun pelarangan
terhadap tulisan-tulisannya.
Karya-karya Pram tak banyak mengutak-atik keindahan bahasa,
longgar, dan kerap kelam meski tengah mengekspresikan keriaan hidup, seperti
seks. Dalam penutup satu bab di Bumi Manusia, Pram menulis perasaan Minke
tentang persetubuhannya dengan Annelies: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba
jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami jadi
sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan
hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti
boneka kayu.”
Pengagum sastrawan Gunther Grass dan John Steinbeck ini
mengaku begitu produktif berkarya karena merasa tidak akan berumur panjang.
Kenyataannya pada usia 81 tahun dia masih mengepulkan asap rokok saat ditemui
Feature Editor PLAYBOY Alfred Ginting dan Soleh Solihun, di rumahnya yang asri,
di kawasan Bojong Gede, Jawa Barat. PLAYBOY ditemani Happy Salma yang sore itu
membawakan sebotol wine untuk penulis yang dikaguminya itu. Setiap malam Pram
menenggak satu dua sloki wine demi kesehatan jantungnya.
Seperti yang sudah-sudah wawancara tersebut kembali banyak
menjelajah sikap politik Pram, tidak membongkar sikap sastranya. Karena Pram sulit diajak untuk mengomentari
karya-karyanya. Pram menganggap karya-karya itu sebagai anak-anak jiwanya.
Mereka bebas terbang lepas setelah didewasakan oleh pena dan mesin tiknya.
Selain itu usia membuat Pram berjarak dengan masa lalu kepengarangannya.
Di rumah - hasil dari royalti bukunya yang telah
diterjemahkan ke 42 bahasa - Pram tak lagi banyak bekerja. Sudah sepuluh tahun
dia tidak menulis, semangatnya dipatahkan umur tubuhnya. Saban hari dia bangun
jam lima pagi, mengumpulkan kliping berita koran bertema geografi untuk
cita-citanya yang tidak akan terwujud - menyusun apa yang dia sebut Ensiklopedi
Kawasan Indonesia, sesekali menerima tamu, melihat-lihat ternak ayam dan
angsanya, dan membakar sampah.
Pada meja bundar di ruang tamu rumahnya, bertumpuk sejumlah buku. Yang menarik perhatian
adalah fotokopi novel Gulat di Djakarta yang akan diterbitkan kembali oleh
penerbit Lentera Dipantara. Pram mengenakan polo shirt lusuh, celana training
biru dan sandal jepit. Kaos kaki sepakbola berwarna hijau menutup ujung kaki
celananya. “Dingin kaki saya,” kata dia.
Pram masih menunjukkan kekukuhan dalam argumentasi dan pemakluman
atas sikapnya. Seperti tentang pendiriannya terhadap Soekarno sebagai pemimpin
yang berhasil mempersatukan bangsa Nusantara tanpa meneteskan darah. Padahal di
zaman rezim Soekarno dia ditahan karena menulis Hoakiau di Indonesia. “Yang
memenjarakan saya itu militer. Bukan Soekarno,” tegasnya.
Berikut petikan wawancara Feature Editor PLAYBOY Alfred
Ginting dan Happy Salma dengan Pramoedya Ananta Toer yang dimuat di Majalah PLAYBOY, Edisi perdana, April
2006 :
PLAYBOY: Di film Jalan Raya Pos, Anda mengatakan tidak yakin
akan berumur panjang. Ternyata, sekarang berumur 81 tahun, bagaimana perasaan
Anda?
PRAMOEDYA: Tahun ‘50, TBC membunuh ayah, ibu, adik, nenek, ipar,
kemenakan saya. Waktu itu belum ada obatnya. Yang tahu, obatnya kapur saja.
Untuk menutupi luka. Jadi, sudah sejak sangat muda, sudah berhadapan dengan
maut. Dan saya sebagai anak tertua dengan tujuh adik menanggung semuanya.
Ada seorang professor mengatakan, ‘Kau nanti juga kena (TBC)’.
Tapi ternyata, sampai sekarang nggak ada apa-apa. Saya nggak ada penyakit
parah, cuma kesulitannya kalau nggak bisa tidur, itu lantas jatuh, drop saja.
Nggak pernah menyangka. Keluarga saya praktis mati karena TBC. Saya nggak
pernah ketularan. Sepanjang hidup saya heran, kok bisa sampai 81.
PLAYBOY: Masih punya mimpi?
PRAM: Saya nggak punya mimpi apa-apa. Masalah saya sekarang,
hanya mati saja. Saya sudah sepuluh tahun nggak menulis. Juga nggak jawab surat.
Ini sudah nggak bekerja (menunjuk kepala). Sudah pikun.
PLAYBOY: Mimpi untuk menuliskan kembali proyek yang dulu
sempat dimusnahkan, seperti Ensiklopedi Indonesia?
PRAM: Ya, kliping saya sudah 8 meter panjangnya. Tapi
biayanya melanjutkannya nggak ada. Nggak ada pemasukan yang beres. Paling
sedikit lima orang diperlukan. Kalau satu orang dua juta, sepuluh juta satu
bulan. Dari mana sumbernya? [tertawa].
PLAYBOY: Anda angkatan’45. Kalau nanti dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan bagaimana?
PRAM: Ah, saya nggak mengharapkan begitu-begituan. Mau
dibakar kek, mau dibuang kek, nggak soal.
PLAYBOY: Anda siap menghadapi kematian?
PRAM: Sejak muda, saya siap mati di manapun dan kapan pun.
Nggak ada soal. Jadi, nggak punya beban tentang mati.
PLAYBOY: Tidak ada yang Anda takuti dalam hidup?
PRAM: Saya anggap sebagai tantangan sport. Tidak punya
dendam saya. Kalo punya dendam jadi beban lagi. Dianggap berani atau nggak,
saya nggak tahu [tertawa]. Saya kehilangan apa saja, tidak merasa kehilangan.
Rumah dirampas, perpustakaan dibakar, delapan naskah dibakar. Ini sampai rumah
dijaili. Apanya yang salah, saya tidak tahu.
PLAYBOY: Kadar gula Anda masih tinggi?
PRAM: Oh, gula saya memang tinggi. 460. Tapi saya obati
dengan bawang putih. Setiap suap makan, gigit bawang putih, jadi semua luka
kering sendiri. Jadi, dagingnya nggak membusuk. Dan saya anjurkan itu untuk
yang sakit gula. Saya kan juga latihan pernafasan kalau mau tidur. Tarik nafas
sampai penuh, tambah lagi. Itu sportnya. Tahan baru buang. Belajar dari
pengalaman saja. Mulai umur belasan tahun, setelah pisah dari keluarga.
HAPPY SALMA: Anda sepertinya punya harapan besar terhadap
generasi muda?
PRAM: Betul. Soalnya sejarah Indonesia itu sejarahnya
angkatan muda. Jangan lupa itu! Sejak tahun belasan, di negeri Belanda,
menjalar ke Indonesia. Puncaknya di Sumpah Pemuda. Itu titik tolak jadinya
negara kita. Saya anjurkan yang punya perhatian pada sejarah, susunlah sejarah
Sumpah Pemuda sampai jadi buku wajib. Sejarah Indonesia, praktis nggak karuan
diajarkannya. Saya percaya, sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda.
Angkatan tua itu jadi beban.
PLAYBOY: Tapi sejarah Indonesia akhir-akhir ini harus
diwarnai ancaman disintegrasi, seperti keinginan masyarakat Aceh dan Papua
untuk memisahkan diri?
PRAM: Itu memang dialektika sejarah. Kalau ada yang baik,
ada yang buruk. Ada persatuan, ada perpecahan. Hidup berkembang bersama-sama
pasti ada yang namanya dialektika.
PLAYBOY: Soal gerakan pemuda, Anda sempat bergabung dengan
PRD (partai Rakyat Demokratik). Sementara, gerakan pemuda sekarang terlihat
melempem. PRD sendiri tidak terlihat arah organisasinya?
PRAM: Itu pimpinannya. Ketua organisasi itu, harus hidup,
tumbuh, berkembang bersama partainya. Ini ketuanya (Budiman Soedjatmiko) lari,
masuk ke PDI. Dia mesti mimpin partainya, ini malah sekolah ke Inggris. Sekolah
itu kan Jalan untuk jadi pegawai. Untuk mimpin partai nggak perlu sekolah.
Bangkit, jatuh, bangun, berkembang bersama partainya. Yang benar itu.
PLAYBOY: Tapi pendidikan dianggap penting bagi
kepemimpinannya?
PRAM: Ah tidak. Kepemimpinan ya dari partainya itu,
berpengalaman sejak awal sampai berkembang. Itu nggak perlu sekolah. Belajar
dari keadaan. Menjadi pemimpin partai itu nggak perlu sekolah. Belajar dari
keadaan. Sekolah saya, SMP kelas 2 nggak tamat, tapi kok jadi doktor?
[tertawa].
PLAYBOY: Anda pernah menyebut Jimmy Carter berperan dalam
pembebasan Anda. Itu bagaimana ceritanya?
PRAM: Itu Carter meminta supaya tahanan Pulau Buru
dibebaskan. Kalau nggak, bantuan Amerika akan dihentikan untuk Indonesia.
PLAYBOY: Jadi, bisa dibilang Anda diselamatkan Amerika?
PRAM: Ya memang Amerika. Tapi juga Amerika juga yang waktu
Presiden Enisenhower yang memerintahkan supaya Soekarno disingkirkan. Enisenhower
ngomong begitu setelah babak belur di Vietnam. Ada masalahnya itu. Lantas dia
perintahkan, singkirkan Soekarno! [tertawa].
PLAYBOY: Anda sudah beberapa kali disebut sebagai kandidat
Nobel, tapi belum jadi kenyataan juga.
PRAM: Yang jadi kandidat itu kan empat orang yang terakhir.
Satu orang dapat, saya nggak. Saya nggak tahu.
PLAYBOY: Apa itu ada hubungannya dengan sikap politik Anda
dulu sebagai tokoh Lekra?
PRAM: Itu hak saya punya pandangan politik.
PLAYBOY: Tidak pernah berpikir, kalau mendapat Nobel itu
bentuk pencapaian Anda sebagai penulis?
PRAM: Kalau dapat itu, berarti penghargaan dunia. Itu saja.
PLAYBOY: Tidak pernah bermimpi, ingin dapat Nobel sebelum
meninggal?
PRAM: Nggak.
PLAYBOY: Jadi, penghargaan tertinggi dalam hidup buat
seorang Pram?
PRAM: Penghargaan sudah saya dapat di mana-mana. Orang baca
karya saya saja, sudah suatu penghargaan.
PLAYBOY: Dari semua karya Anda, yang merupakan pencapaian
terbesar yang mana?
PRAM: Nggak tahu saya. Itu publik yang menentukan.
PLAYBOY: Dalam karya Anda, banyak figur perempuan yang
menentang garis. Itu memang gambaran Anda tentang figur perempuan modern?
PRAM: Itu inspirasi dari ibu saya sendiri. Ibu saya
meninggal sangat muda, umur 34. Suatu kali, waktu saya masih di SD, panen
jagung di luar kota, saya dipanggil ibu. Kalau serius, ibu saya ngomongnya
dalam bahasa Belanda. Jauh lebih bagus dari saya. Dia pesan, ‘Engkau nanti
harus belajar di Belanda sampai doktor.’ Itu beliau ngomong waktu saya masih SD
dan miskin sekali. Itu pesannya. ‘Jangan sampai kau minta-minta sama orang.
Pada siapapun! Jangan minta-minta. Selesaikan tugas dan kerjamu dengan tenagamu
sendiri. Jangan minta-minta bantuan!’ Itu pesan ibu saya. Kenyataannya lain.
Lulus SD, masuk SMP, Jepang datang, bahasa Inggris dilarang. Sampai (kelas) 2
SMP saya sekolah, itu pun nggak tamat, karena dibubarkan Jepang. Jadi, nggak
pernah mendapat pendidikan bahasa Inggris. Setelah Jepang pergi, saya nggak
bisa ke perguruan tinggi. Bahasa Inggrisnya tidak bisa [tertawa].
PLAYBOY: Tokoh Minke dibuat berdasarkan riset Anda terhadap
tokoh pers Tirtoadisuryo. Apa tokoh perempuan di sekitarnya memang dinspirasi
dari perempuan di dunia kenyataan?
PRAM: Itu simbolik saja. Supaya jadi panutan pembacanya.
Saya mengharapkan wanita itu lebih maju daripada sekarang ini. Karena dia yang
mendidik bangsa. Waktu saya masih kanak-kanak, ibu-ibu itu memproduksi. Ada
yang membatik, ada yang nenun, bikin sabun segala macam. Kok, sekarang nggak
ada? Tidak berproduksi wanita, tampaknya ya. Waktu saya kecil, ibu saya nenun,
bikin batik, segala macam, buat kecap, sabun, dijual. Jarang terjadi sekarang
ini di rumahtangga. Sehingga jadi bangsa yang konsumtif, tidak produktif.
Akibatnya melahirkan benua korupsi. Malah orang menjadi kuli. Untuk menjadi
kuli itu, bayar mereka. Sampai Jerman mengatakan, Indonesia itu bangsa kuli di
antara bangsa-bangsa dunia.
PLAYBOY:Apa arti perempuan buat Anda?
PLAYBOY: Begitu juga cara Anda mengarahkan anak Anda?
PRAM: Kalau untuk saya, silakan kerjakan apa yang dimaui.
“Tapi, tanggungjawab pada perbuatan sendiri. Cuma itu pesan saya. Bahkan jadi
bandit pun silakan. Tapi tanggungjawab atas perbuatan sendiri. Jangan nyorong
pada orang lain untuk tanggungjawab. Seperti Harto nanti [tertawa]. Nggak
pernah bertanggungjawab pada perbuatan sendiri.
PLAYBOY: Dari tadi, cerita soal ibu terus. Lantas, bagaimana
sosok ayah di mata Anda?
PRAM: Minus. Ayah saya itu Direktur Sekolah Boedi Oetomo.
Saya sekolah di situ. Unluk tamat tujuh kelas, saya memerlukan sepuluh tahun.
Tahu perasaan dia kan jadinya, terhadap anaknya? [tertawa]. Mengeccwakan dia
lah.
PLAYBOY: Karena Anda nakal?
PRAM: Sampai tua saya nggak bisa main gundu [tertawa].
Sampai tua, nggak bisa menaikkan layang-layang. Nggak sempat main. Kerja terus.
Saya menulis untuk diterbitkan. Untuk dapat uang. Habis, dari mana uang?
Melihara kambing juga, nyariin makan segala macam. Lantas dihina oleh
murid-murid sekolah pemerintah. Saya pernah mengadu sama ibu saya ‘Bu saya
dihina sama orang-orang sekolah pemerintah.’ ‘Kenapa kau dihina? Kamu berani
kerja, mereka nggak.’ Ibu saya bilang. ‘Udah biar saja.’
PLAYBOY: Ayah Anda direktur sekolah tapi masih kesulitan
keuangan ya?
PRAM: Direktur itu gajinya 17 Guldcn setiap bulan.
HAPPY: Katanya anda sering membuat perempuan bule patah
hati, benar?
PRAM: Banyak [tertawa]. Biasanya mahasiswi. Setiap negara,
saya punya pacar. Begitulah.
PLAYBOY: Pacar yang bagaimana? Yang sehari kenal?
PRAM: Iya [tertawa]. Ada yang mau ikut saya segala macam.
Nyusul segala. Anak-anak Jerman itu…
HAPPY: Kenapa? Karena Anda ganteng atau pintar merayu?
PRAM: Nggak tahu [tertawa].
PLAYBOY: Kalau mendengar kata seks, apa yang terlintas di
benak Anda?
PRAM: Kalau sekarang sih, nggak ada apa-apa. Kalau dulu,
kebakaran [tertawa].
HAPPY: Saya jadi tergila-gila Kartini karena Anda. Kalau Anda
kenapa tergila-gila Kartini?
PRAM: Kartini? Mestinya saya punya empat jilid tulisan
tangan Kartini. Dibakar sama militer. Tulisan itu hasil studi lapangan. Menemui
saudara-saudaranya. Malah saya punya buku keluarga, masih tulisan Jawa. Itu
dibakar semuanya. Kartini, itu orang luar biasa. Mendirikan sekolah dengan
tenaga sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan barat, waktu itu.
PLAYBOY: Tapi akhirnya dia menyerah pada keadaan, kawin
dengan Bupati.
PRAM: Dia harus mendengarkan kemauan keluarga. Dan keluarga
disuruh oleh Residen. Biasa waktu itu.
HAPPY: Menurut Anda, perempuan itu yang penting cantik atau
pintar?
PRAM: Bagaimana dia membentuk dirinya saja. Belajar hidup.
PLAYBOY: Dalam Mereka yang dilumpuhkan, Anda menulis
perempuan Sunda harganya paling tinggi. Maksud Anda?
PRAM: Itu karena perkebunan-perkebunan teh Jawa Barat banyak
dikuasai Belanda. Akhirnya anak-anaknya banyak yang jadi Indo [setengah bule].
HAPPY: Dari semua negara yang pernah Anda kunjungi, perempuan
mana yang paling cantik?
PRAM: Dari Cina [tertawa].
PLAYBOY: Ada apa dengan perempuan Cina? Apa karena Cina di
masa muda Anda adalah Cina yang sedang membentuk jati diri nasionalismenya?
PRAM: Di antaranya. Dinamika dalam masyarakatnya.
PLAYBOY: Dalam Hoakiau di Indonesia Anda membantah anggapan
sebelumnya tentang kolonialisme mengistimewakan masyarakat etnis Cina.
Sekarang, etnis Cina teristimewakan secara ekonomi tidak?
PRAM: Mereka itu punya produktivitas yang lebih dari
pribumi. Ini yang membuat mereka jadi bersinar. Bukan hanya Cina di sini. Cina
di negerinya sendiri. Produktivitasnya lebih hebat.
PLAYBOY: Pernah merasa malu jadi orang Indonesia?
PRAM: Saya bangga jadi orang Indonesia. Sebab seorang diri
saya menulis. Dan itu yang mendapat berkahnya bangsa. Saya nggak merasa kecil
hati sebagai anak bangsa. Saya merasa berjasa. Karya sudah diterjemahkan.
PLAYBOY: Tapi Anda diasingkan ke Pulau Buru tanpa ada
pengadilan dulu?
PRAM: Bukan suatu kesalahan jadi anggota Lekra.
PLAYBOY: Kekuasaan belum berpihak pada kesejarahan yang
benar, berarti bangsa ini akan tetap begini?
PRAM: Itu bagaimana yang membuatnya saja. Sejarah itu kan,
pribadi-prihadi yang bikin. Terserah yang bikinnya saja. Ya kalau kekuasaan
nggak memperhatikan sejarah, publik yang memperhatikan. Itu nggak bisa
dilarang, hak publik. Setiap terpelajar mulailah mendokumentesikan sejarah.
Supaya setiap saat punya bahan yang bisa dipakai. Tanpa dokumentasi, gerayangan
saja. Dan mendokumentasi itu belum merupakan tradisi Indonesia. Mesti dimulai.
PLAYBOY: Kenapa Anda sangat bersemangat dalam hal sejarah?
PRAM: Lihat. Bangsa Indoncsia itu praktis belum memulai mendokumentasi
sesuatu. Bagaimana tahu sejarah? Wong sumbernya di situ. Mendokumentasikan
berita koran, belum jadi tradisi. Saya mulai memang, tapi belum jadi tradisi.
Kita nggak belajar dari Barat. Kurang belajar dari Barat. Sehingga tentang
Indonesia, orang Barat yang nulis. Yang perlu itu, kebutuhan untuk jadi bangsa
yang modern. Bahkan kita nggak memerlukan tradisi warisan nenek moyang scndiri.
Semua menjadi beban. Lebih baik dibuang saja. saya sendiri sudah memhuang
Javanisme dalem diri saya.
PLAYBOY: Tapi kan manusia suka romantisme masa lalu?
PRAM: Itu hak seiiap orang untuk suka ini, suka itu. Tapi,
perlu atau nggak. Yang kita perlukan itu yang akan datang. Dan ini perlu
kesiapan.
PLAYBOY: Apa hal dari Kejawaan yang anda rindukan? Wayang
misalnya?
PRAM: Saya nggak suka wayang. Pertama, itu bukan Jawa, tapi
India. Wayang sudah berhenti sejak umur 17-an, karena nggak ada. Saya pindah ke
Jakarka kan nggak ada. Saya ingin mendengar gamelan. Itu ada kasetnva, tapi
nggak ada vang memasangkan.
PLAYBOY: Kenapa gamelan?
PRAM: Rindu saja. Itu sejak kecil musik saya gamelan.
Gamelan itu merupakan mahkota. Saya puluhan tahun nggak dengar gamelan.
PLAYBOY: Banyak yang menganggap dalam Arok Dedes, Ken Arok
sebagai simbolisasi karakter Soeharto. Apa yang sama dan apanya yang tidak?
PRAM: Lhoo nggak tahu saya. Siapa yand bikin? Bukan saya
yang membandingkan.
PLAYBOY: Menurut Anda, sama?
PRAM: Soalnya bukan sama. Harto masih hidup, Arok sudah
nggak ada [tertawa].
PLAYBOY: Mungkin orang melihat kesamaannya, dalam
pengkhianatannya?
PRAM: Soeharto orang yang nggak mau bertanggungjawab
terhadap perbuatannya sendiri, sampai sekarang. Perebutaan kekuasaan saja.
PLAYBOY: Tidak ingin bertemu Soeharto?
PRAM: Nggak mau saya. Tapi dia pernah kirim surat. Dia
bilang, kesalahan itu manusiawi. Tapi kita harus punya keberanian untuk yang
benar dan dibenarkan.
PLAYBOY: Bagaimana pandangan Anda terhadap penguasa
sekarang?
PRAM: Saya nggak percaya sama yang berkuasa. Nggak tahu
besok atau lusa. Sampai sekarang, saya nggak percaya. Saya menulis untuk
mengagungkan kemanusiaan, musti menyingkirkan kekuasaan yang sewenang-wenangnya.
PLAYBOY: Pada kekuasaan seperti apa Anda akan percaya?
PRAM: Yang benar. Apa yang diinginkan rakyat. Persoalannya,
kita ini, sesudah Soekarno, nggak punya pemimpin. Yang ada ngelantur ke
mana-mana. Nggak ada pemimpin. Pemimpin, bukan pembesar. Angkatan muda yang
begitu banyak berkorban, dari reformasi sampai menggulingkan Sueharto, kok nggk
melahirkan pemimpin? Aneh sekali. Begitu banyak korbannya. Selaman angkatan
muda nggak melahirkan pemimpin, ya begini terus. Saya pernah anjurkan supaya angkatan
muda membuat Kongres Nasional Pemuda. Supaya di situ terlihat siapa nanti yang
bakal jadi pemimpin.
PLAYBOY: Orde Baru juga membangun gerakan pemuda dengan
caranya sendiri. Kalau masih sebagai alat politis juga?
PRAM: Ini dunia. Bukan sorga. Ada yang baik dan yang jelek.
Berkembang bersama-sama.
PLAYBOY: Menurut Anda sejarah kepemimpinan kita berhenti
sampai Soekarno?
PRAM: Soekarno itu suatu contoh. Dia menguasai persoalan
budaya, politik, geografi. Sekarang ini geografi nggak dapat perhatian apa-apa.
Persoalannya, ini tanah air lebih banyak lautnya daripada daratnya. Itu sudah
masalah. Dan kekuasaan di lauf nggak punya. Kekuasaan di darat terus. Belum
pernah ada pernyataan Indonesia itu negara maritim. Belum pernah ada.
PLAYBOY: Soekarno satu-satunya pemimpin ideal di mata Anda.
Tapi, karena Hoakiau di Indonesia dua memenjarakan Abda.
PRAM: Oh yang memenjarakan saya itu militer. Bukan Soekarno.
PLAYBOY: Anda masih punya dendam terhadap militer?
PRAM: Saya nggak suka militer Indonesia. Itu grup bersenjata
menghadapi rakyat yang nggak bersenjata. Kalau ada perang internasional, lari
terbirit-birit. Karena biasanya yang dilawan rakyat tanpa senjata. Tapi saya
nggak punya dendam kepada siapapun. Semua saya anggap tantangan sport. Saya
menjawabnya, dengan menulis. Itu yang saya bisa. Dan sekarang sudah
diterjemahkan ke dalam 42 bahasa karya-karya saya. Seluruh dunia, kecuali
Afrika yang belum pernah diterjemahkan.
PLAYBOY: Mendendam kepada pembakaran dan perampasan karya
Anda dulu?
PRAM: Wah, saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja
delapan. Belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya
sejarah perampasan. Nggak ngerti saya. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini
kerjaan militer juga, yang bikin saya setengah tuli. Dihajar pakai popor
senapan.
PLAYBOY: Anda sakit hati?
PRAM: Itu semua saya sekali lagi terima sebagai tantangen
sport. Rumah dirampas sejak tahun ‘65 sampai sckarang. Nggak ngerti saya, orang
kok bisa begitu. Dan perpustakaan yang dikumpulkan puluhan tahun, dibakar
begitu saja. Saya nggak ngerti orang bisa begitu. Belum naskah asli delapan
yang belum sempurna, dibakar. Ini nggak bisa saya maafkan.
PLAYBOY: Setelah itu habis, Anda pernah berusaha
menuliskannya lagi?
PRAM: Nggak bisa. Mood-nya sudah lain. Nulis lagi nggak
bisa. Perpustakaan dibakar. Salahnya apa? Saya mengumpulkan satu demi satu
belasan tahun itu, tapi sekarang sudah ada lagi perpustokaan di lantai tiga,
kalau mau lihat.
PLAYBOY: Pandangan Anda terhadap anak-anak Soekarno?
PRAM: Nggak ada istimewanya. Tidak seperti bapaknya. Ke sini
pun pada nggak.
PLAYBOY: Anda dekat dengan Soekarno?
PRAM: Kadang-kadang ngajak ketemu. Dia juga tidak kenal
saya. Pernah nanya, Mas Pram Islamolog ya? [tertawa].
PLAYBOY: Ada anggapan negara ini teralu besar untuk
dipertahankan sebagai negara kesatuan. Menurut Anda?
PRAM: Ini secara geografi, Indonesia itu memang satu. Dulu
namanya Nusantara waktu Majapahit. Waktu Singasari, Dipanatara. Dipa itu
benteng. Renteng antara dua benua. Nusantara, kepulauan antara dua benua.
PLAYBOY: Kalau Indonesia menjadi negara federasi?
PRAM: Itu terserah kehendak publik. Cuma, kalau federal ya
aturannya jadi banyak sekali. Sctiap daerah punya aturan sendiri.
PLAYBOY: Anda juga sering protes soal nama Indonesia.
PRAM: Persoalannya yang menamai [Indonesia] itu Inggris.
PLAYBOY: Harusnya?
PRAM: Nusantara saja cukup. Atau Dipantara.
PLAYBOY: Katanya, Bumi Manusia sudah dibeli right-nya.
Konon, Oliver Stone mau mengambil hak untuk filmnya. Kenapa Anda menolak?
PRAM: Cuma US$60 ribu [tertawa].
PLAYBOY. Tapi, Anda menjualnva ke seorang pengusaha
Indonesia?
PRAM: Itu satu setengah milyar. Dan harus tunai.
PLAYBOY: Jadi persoalannya cuma karena harga. Tapi kan
magnitude-nya berbeda kalau Hollywood yang membeli?
PRAM: Terserah pembuatnya saja. Saya nggak mencampuri itu.
Haknya pembeli.
PLAYBOY: Selain Bumi Manusia, yang sudah dibeli film
right-nya, apalagi?
PRAM: Ini yang sedang dalam pembicaraan itu, Mangir. Tapi
saya nggak ingat siapa orangnya. Nama-nama dan angka sulit saya ingat.
PLAYBOY: Punya harapan terhadap film itu kalau, jadi
nantinya?
PRAM: Terserah. Itu hak pembeli.
PLAYBOY: Kalau karya Anda difilmkan, punya keinginan untuk
menontonnya dulu sebelum meninggal?
PRAM: Sulit melihat saya. Nggak lahu ini mata, kok
mengganggu saya.
PLAYBOY: Bagaimana Anda melihat kondisi penulis sekarang?
PRAM: Pengalaman hidup lain dari penulis-penulis hari ini.
Jadi, rasa-rasanya ya kurang sreg gitu [tertawa]
.
PLAYBOY: Terakhir Anda baca apa?
PRAM: Wah sudah sulit saya baca. Paling koran dan kliping.
Buku ya selintas saja. Matanya sudah sulit untuk melihat. Inilah anehnya jadi
tua [tertawa]. Pikun. Kacamata dicari-cari tahunya dipakai.
PLAYBOY: Puisi?
PRAM: Nggak pernah. Satu puisi yang pernah saya baca, karya
Chairil. Hidup saya prosais. Walaupun dulu pernah buat dua, tiga puisi. Nggak
ada kesan. Kecuali karya Chairil yang “Aku”. Pada waktu itu pendudukan Jepang
yang kejam sekali. Dan Chairil menantangkan. ‘Saya binatang jalang. Dari
kumpulannya terbuang.’ Itu kan menolak Jepang. Dia nggak mau jadi budaknya
Jepang. Sajak itu membuat ditangkap Polisi Militer Jepang. Tapi dilepas lagi.
Luar biasa itu. Menantang kekuasaan militer Jepang.
PLAYBOY: Ada yang menganggap Chairil tidak bisa menulis,
menurut Anda?
PRAM: Dia kan terlampau muda matinya. Saya pernah ketemu
sckali saja di atas keretaapi, di Karawang. Dia megangin tangan temannya. ‘Kau
yang bertanggungjawab ya. Kau yang bcrtanggungjawab ya.’ Mungkin takut dia. Karawang
kan pusat Laskar Rakyat.
PLAYBOY: Selain kliping, apa lagi yang biasanya Anda
kerjakan di rumah ini?
PRAM: Bakar sampah. Pagi biasanya setengah lima saya bangun.
Masih sepi semua dan belum tentu ada kopi. Saya nempel-nempel kliping. Sudah
ada delapan meter mungkin kliping. Jadi nanti kalau oranq cari apa-apa, klipingnya
sudah disusun menurut abjad. Dan saya rasa nggak ada yang bikin kliping. Itu
nanti siapa saja boleh kalau mau cari informasi di kliping. Tapi masalahnya
geografi saja. Saban hari bertambah.
PRAM: Ada kenikmatannya, aku bisa bilang: ‘lihat, aku bisa
hancurkan kau!’ [tertawa].
PLAYBOY: Selain kliping dan bakar sampah, apa lagi yang Anda
kerjakan?
PRAM: Jalan. Mondar-mandir. Membetulkan cabang-cabang yang
nggak perlu, dibabat. Saya senang di sini, nggak terganggu keributan kota.
Melihat ke sana lihat rumput, lihat kolam ikan, kolam renang. Nggak ada
keinginan apa-apa lagi.
PLAYBOY: Siapa yang mengajak Anda pindah ke sini?
PRAM: Ada orang dekat menawarkan tanah. Saya mau karena jauh
dari Jakarta. Nggak kuat saya di Jakarta. Di sini sejuk. Anginnya sehat.
Jakarta itu air tanahnya sudah campur tai semua. ltu masalah pokok. Belum
macetnya. Belum kejahatannya. Sepanjang jalan kejahatan melulu.
PLAYBOY: Kenapa tidak kembali ke Blora?
PRAM: Nggak. Kalau pulang kc Blora, ingat kesedihan waktu
kecil. Jam setengah lima sudah harus belanja ke pasar. Pulang terus sekolah.
Pulang sekolah, cari kayu bakar. Ngurus kambing, ngurus adik-adik. Apalagi
waktu orangtua meninggal semua. Semua jatuh ke tangan saya, sebagai anak pertama.
Nyekolahkan, kasih makan.
PLAYBOY: Masih ingat tulisan pertama Anda?
PRAM: Kan sudah dibakari militer. Ada waktu di SD saya nulis
naskah. Saya kirim ke penerbit Kediri, Tan Kun Shui. Ditolak [tertawa].
Ceritanya macem-macem. Nggak bisa mengingat lagi. Ya itu pembakaran tahun ‘65.
Kehilangan banyak naskah.
PLAYBOY: Tidak pernah mencoba rokok selain Djarum?
PRAM: Nggak. Kebiasaan saja. Ini Djarum asbaknya. Pernah
coba rokok putih. Nggak cocok.
PRAM: Menanam sendiri tembakaunya. Kerasnya persetan. Dan
kulitnya, kalau nggak ada kertas, Injil segala dipakai [tertawa].
PLAYBOY: Di Pulau Buru, tahanan hanya boleh membaca buku
agama. Bagaimana rasanya membaca buku tentang hal yang tidak Anda percaya?
PRAM: Ya makin tidak percaya [tertawa].
PLAYBOY: Hasil membaca buku tentang Hindu dan Budha
melahirkan Arok Dedes. Kenapa tidak ada buku hasil refleksi Anda tentang
hubungan Islam dan Kristen?
PRAM: Waktu itu belum jadi persoalan. Belum ada
Kristen-Islam.
PLAYBOY: Selama di Pulau Buru, tidak pernah memikirkan
kebutuhan biologis?
PRAM: Nggak berbuat apa-apa. Diterima saja semuanya
sebagaimana adanya. Semua kan dicurahkan pada tulisan.
PLAYBOY: Apa yang paling tidak bisa Anda lupakan dari Pulau
Buru?
PRAM: Banyak. Antaranya saya menemukan mangga di pinggir
kali. Lantas, saya kembangbiakkan. Jadi banyak. Nanti kalau ke Buru, ada pohon
mangga, ingat saya [tertawa]. Tadinya nggak ada di pedalaman. Saya melihara
ayam delapan. Telornya itu untuk beli rokok, beli kertas, beli karbon di
pelabuhan. Karena saya kan di pedalaman. Dan saya senang sekali, sekarang Pulau
Buru jadi gudang beras Maluku. Pekerjaan kami itu. Jalanan kami bikin sepanjang
175 km. Belum sawahnya. Belum irigasinya. Belum ladangnya. Kalau sore itu
udaranya dihiasi pelangi. Kalau hujan, air dengan keras turun ke bawah. Ikan
melawan arus air hujan. Tinggal tangkap saja. Berkarung-karung itu [tertawa].
(JONG/Playboy/berbagai sumber)