Habis gelap terbitlah
terang. Mungkin hanya kalimat itu yang paling identik dengan sosok perempuan
bernama Kartini. Bergelar Raden Ajeng, Ia dianggap sebagai pahlawan bangsa,
khususnya para wanita karena semangatnya memperjuangkan persamaan hak antara
laki-laki dan wanita. Memperjuangkan hak emansipasi, tetapi tetap terpingit, dikawinkan
paksa, melahirkan dan mati pada akhirnya.
Gambaran seperti itulah
yang diberikan oleh rezim orde baru terhadap Kartini tanpa melihat sisi
kehidupannya yang lain. Padahal, masih ada banyak sisi hidup yang dimiliki
Kartini. Mungkin tak banyak yang tahu ketertarikan Kartini terhadap sastra,
melalui puisi-puisi yang ditulisnya. “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya
Seni! Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang
keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi,” begitu
katanya.
Sisi lain inilah yang
coba diangkat Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja. Dalam
bukunya Pram mencoba menggambarkan sosok utuh Kartini yang tidak diketahui oleh
banyak orang.
Kartini, bagi Pram,
adalah gadis muda yang memiliki gagasan hebat untuk memajukan kehidupan
rakyatnya. Kartini hidup pada masa yang sulit dimana penjajahan terjadi di
Indonesia. Tak hanya itu, budaya Jawa yang tak lepas dari kehidupan Kartini
membuatnya tak bias melakukan banyak aktivitas di luar rumah. Dan hal inilah
yang membuatnya memberontak terhadap penjajahan dan budaya tersebut.
Sebagai anak dari seorang bupati yang terpelajar,
Kartini beruntung bisa mendapatkan pendidikan belanda yang pada masa itu
mustahil didapatkan wanita lain. Apalagi ia berasal dari keluarga bangsawan
jawa yang sangat tidak menganjurkan anak perempuan untuk menikmati dunia luar
sebelum masa kawinnya tiba. Meski ketika selesai sekolah rendah, ayahnya
tidak dapat menuruti keinginan kartini untuk sekolah lebih lanjut karena budaya
tersebut.
Menurut Pram, Kartini sangat menderita akibat
pemingitan. Kartini sangat mencintai pendidikannya, namun di lain pihak dia
juga tidak dapat memungkiri bahwa rasa cinta kepada ayahnya juga sangat
mendalam. Akhirnya Kartini memilih bungkam agar tidak menyakiti perasaan
ayahnya.
Meski begitu, ayah Kartini bukannya tidak menderita. Sebagai seorang terpelajar, tentu
saja dia mengetahui bagaimana penderitaan puteri tercintanya. Namun,
kedudukannya sebagai bangsawan tinggi tidak memungkinkannya untuk mengambil
tindakan yang dapat membahagiakan Kartini.
Beruntunglah Kartini dengan
pendidikannya. Meski mederita dalam pemingitannya, ia akhirnya menemukan cara
untuk menumpahkan segala isi hatinya, yakni menulis. Kartini secara aktif menulis kepada
sahabat-sahabat penanya, yang terutama adalah Estelle Zeehandelaar, gadis
sosialis Belanda. dalam surat-suratnya itulah, Kartini mengungkapkan segala
masalah pribadinya, termasuk buah pikirannya yang mencengangkan dunia.
Dalam tulisannya, Kartini
menggugat feodalisme dan berharap tidak ada lagi perbedaan antar manusia.
Dengan kemanusiaannya, ia meminta agar dipanggil tanpa tanpa gelar
kebangsawanannya, ia menolak pembedaan kelas. “Panggil aku Kartini saja,”
begitu tulis dalam sebuah
suratnya.
Apa yang dilakukan Kartini ini
dalah sebuah keajaiban yang dilakukan oleh seorang gadis yang hidup dalam
budaya patriarki yang begitu melekat. Apalagi ia adalah keluarga bangsawan Jawa
pada masa itu. Sedang dalam suratnya yang lain ia menulis “Sebagai pengarang, aku akan bekerja
secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk
menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami”.
Kartini, sebagai sosok luar
biasa mampu ditampilkan secara utuh dalam buku ini. Entah karena apa Pram mampu
menggambarkan sosok Kartini dengan buku luar biasa ini. Mungkin Pram merasa bahwa jalan
hidup Kartini adalah sama dengan dirinya sendiri, sebagai sastrawan yang menulis untuk
kemanusiaan. Semoga apa yang digambarkan dalam buku ini, perjuangan, kecintaan, dan
kemanusiaan Kartini mampu melahirkan kembali sosok pejuang selembut dan seteguh
dirinya.
Judul Buku:
Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman
(Aditia Purnomo)
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman
(Aditia Purnomo)