Oleh
Aditia Purnomo*
Apa artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan, begitu Rendra mengakhiri ‘Sajak Sebatang
Lisong’ miliknya yang tersohor itu. Ya,
begitulah cara elegan Rendra mengakhiri sajaknya setelah mengajak para
penikmatnya berpikir mengenai permasalahan bangsa. Berpikir sebagai sebuah
sarana untuk memperhatikan dan memahami realitas.

Dalam sajaknya, Rendra
mengajak kita untuk turun ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, kemudian
merumuskan keadaan yang ada. Mungkin, seorang Menteri Pendidikan belum sempat
membaca sastra, makanya tak mengherankan jika anda tidak tersentuh untuk
melihat bagaimana bobroknya kualitas pendidikan di desa-desa. Saya sarankan
anda untuk sering-sering membaca karya sastra.
Bapak Menteri
Pendidikan yang terhormat, entah anda suka piknik atau tidak, tapi cobalah
tengok bagaimana keadaan pendidikan di desa-desa yang ada. Anda tak perlu
jauh-jauh mengeluarkan anggaran perjalanan besar untuk sampai ke Papua sana,
cukuplah anda mampir sebentar ke Desa Tegallega, Cigudeg, Borju (Bogor ujung)
yang tak begitu jauh dari ibukota.
Lihatlah realitas disana,
bagaimana para pelajar tak kenal dengan para pahlawan nasionalnya. Mungkin
jangan tanya mereka kenal Tan Malaka atau tidak, ditanya Soekarno-Hatta pun
masih ada yang tak mengenalnya. Karena, jangankan mengenal para pahlawan, untuk
belajar dengan baik dan benar saja sulit akibat minimnya tenaga pengajar yang
ada.
Dengan keberadaan 9
kelas di sebuah sekolah negeri disana, kemampuan 5 guru untuk mengajar
bergantian tentu tak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak desa sana.
Dalam keadaan seperti itu, artinya ada beberapa kelas yang harus menunggu guru
datang dari kelas ke kelas dalam satu jam pelajaran. Tentu ini tidak sesuai
dengan mimpi anda pada kurikulum 2013 anda.
Belum lagi soal
kesejahteraan guru-guru yang semuanya masih honorer dan kebiadaban kepala
sekolah yang merampas hak peserta didik juga pengajarnya. Bayangkan, dalam 8
tahun terakhir, terdapat banyak lulusan yang masih belum mendapatkan ijazahnya.
Lalu, bagaimana cara mereka melanjutkan pendidikannya jika syarat untuk itu
saja tak ada. Bagaimana pak Menteri?
Mungkin anda terlalu
sibuk dengan urusan tender ujian nasional, tapi lihatlah bagaimana kepala
sekolah itu membawa pulang fasilitas belajar untuk kepentingan pribadi. Menahan
honor guru selama 3 bulan dan lebih sibuk dengan karir dan bisnisnya. Seperti
inikah contoh praktisi pendidikan Indonesia, atau anda juga seperti ini?
Bapak menteri yang
terhormat, bukankah manusia merdeka adalah tujuan pendidikan, seperi apa yang
dikatakan Ki Hadjar Dewantara. Dan bukankah pendidikan adalah cara untuk
memanusiakan manusia, seperti apa yang diungkap oleh Paulo Freire. Lantas,
beginikah pola pendidikan yang mencerdaskan? Yang menciptakan manusia merdeka?
Pola pendidikan yang merampok ala bank. Sistem pendidikan yang menciptakan
buruh murah untuk dieksploitasi?
Ya, semoga saja anda
masih punya mata dan hati untuk memperhatikan pendidikan di desa-desa
tertinggal, dan semoga pertanyaan ini tidak hanya membenturi jidat anda seperti
kata Rendra. Jujur, saya tak pernah banyak berharap dari menteri macam anda,
namun apalah daya, anda masih menteri pendidikan yang harus bertanggung jawab
atas nasib pendidikan dan masa depan anak bangsa Indonesia. Jadi, segeralah
baca puisi-puisi Rendra dan bergerak mengatasi masalah yang ada.
*Penulis adalah pengagum
JKT48