Sejarah Indonesia
mencatat, pada 28 Oktober 1928 merupakan puncak dari kongres para pemuda dengan
ditandai lahirnya Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah untuk menyatakan kebulatan tekad
bersatu tanpa ada lagi perbedaan.
Bukan sekadar
sumpah, dalam rumusan yang ditulis Moehammad Yamin ternyata bukan hanya sekadar
menghasilkan coretan-coretan, namun juga tersimpan sebuah pesan begitu besar
pengaharuhnya dalam memantik semangat juang para pemuda akan persatuan bangsa,
yang kemudian bisa dilihat dalam Bhineka Tunggal Ika.
Lantas apa yang bisa
dimaknai terhadap lahirnya Sumpah Pemuda baik dari segi gerakan tersebut hingga
pemaknaan terhadap teks yang terkandung dalam ikral tersebut.
Berikut ini petikkan obrolan santai penulis
angkringanwarta.com, Azami dengan dosen PBSI FITK UIN Jakarta, lulusan S2
Linguisitik Univesitas Indonesia (UI), Makyun Subuki.
Hingga kini bangsa Indonesia masih mengenang peristiwa
sumpah pemuda, apa yang membuat kita perlu mengenangnya?
Bagi saya, Sumpah
Pemuda menandai pentingnya peran pemuda sebagai agen perubahan. Sebagai pemuda,
kita harus memperlihatkan kualitas tindakan yang dapat dijadikan acuan untuk
membangun bangsa Indonesia ke depan. Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tahun
1928 itu tentu tidak dimaksudkan untuk tahun itu saja.
Saya yakin para
pengikrar Sumpah Pemuda memaksudkan sumpah tersebut untuk Indonesia jauh di
masa mendatang, yaitu bahwa Indonesia harus melepaskan diri dari ruang yang
berbatas pulau, suku, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Indonesia harus
dibangun bukan hanya atas solidaritas kawasan geografis atau agama dan suku
yang sama saja, melainkan juga atas solidaritas kebangsaan yang sama.
Mengapa Sumpah Pemuda menjadi moment terpenting bagi
perjuangan para pemuda?
Pertama, tentu
saja, karena peristiwa bersejarah ini dimotori oleh pemuda. Kedua, dengan
peristiwa ini, pemuda mampu menunjukkan perannya untuk menumbuhkan solidaritas
kebangsaan dalam kerangka yang lebih luas. Ketiga, hal ini selanjutnya menjadi
pacuan bagi kaum muda selanjutnya untuk dapat berbuat lebih baik daripada apa
yang telah diperbuat pendahulunya. Semua ini menunjukkan bahwa, keberhasilan
sebuah bangsa sangat tergantung kepada kemampuan pemuda untuk mengolah
potensinya. Tentu saja, kegagalan bangsa kita juga tercermin dari sikap pemuda
kita. Kita dapat meramalkan apakah negara ini akan bangkrut atau akan jaya
hanya dengan melihat bagaimana pemuda negara ini.
Dari peristiwa Sumpah Pemuda sendiri, menurut Anda apa
yang membuat menarik perhatian?
Sebagai sebuah
peristiwa sejarah, Sumpah Pemuda menandai kesadaran masyarakat Indonesia,
khususnya pemuda, dalam memaknai Indonesia dalam konteks kebangsaan yang lebih
luas. Hal yang menarik dari peristiwa ini, saya rasa, salah satunya terletak
pada kesadaran masyarakat Indonesia akan kepentingan untuk mengikat masyarakat
Indonesia yang beragam dalam sebuah ikatan sakral yang diakui bersama.
Ikatan sakral ini
diwujudkan dalam bentuk pengakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu. Melalui bahasa Indonesia, Pemuda Indonesia ketika itu menginginkan
sejenis nasionalisme yang ikatannya berterima secara meluas dan mampu mengatasi
perbedaan suku, agama, dan ras.
Selain itu,
mengingat bahwa hampir segala pengetahuan kita selalu dimediasi oleh bahasa
untuk dapat dijadikan pengetahuan yang sistematis dalam pikiran kita, dengan
bahasa Indonesia ini, pemuda Indonesia ketika itu berharap dapat menumbuhkan
sebuah world-view kebangsaan yang sama di seluruh kawasan Indonesia bagi
generasi mendatang. Tentu saja, pembangunan world-view ini akan menjadi gagal
apabila kita gagal menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dipakai
untuk memahami dan menafsirkan nasionalisme oleh masyarakat kita. Jadi, menurut
saya, perjuangan Pemuda Indonesia yang dicetuskan pada tahun 1928 itu tidak
pernah mengenal kata selesai. Sebab, tantangan untuk menumbuhkan world-view ini
pada dasarnya tidak pernah mengenal kata selesai.
Adakah bisa dikaji dari teks Sumpah Pemuda?
Secara tekstual,
kalimat yang digunakan dalam Sumpah Pemuda mencerminkan kemodernan bahasa
Indonesia yang diharapkan kelak. Bahasa Indonesia ketika dicetuskan pada tahun
1928 itu pada dasarnya tidak lebih daripada bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa
Indonesia yang kita gunakan sekarang ini sudah termoderasi sedemikian rupa
sehingga terdengar sangat berbeda dari bahasa Melayu yang masih banyak
digunakan di banyak tempat di pulau Sumatra dan Kalimantan.
Uniknya, kemodernan
itu telah tercermin dalam teks Sumpah Pemuda. Ketika kita mendengarkan atau
membaca dengan seksama teks Sumpah Pemuda, kita tidak seperti sedang membaca
bahasa Melayu yang digunakan di Riau. Kita betul-betul seperti membaca bahasa
Indonesia saat ini. Ini menandakan visi para inisiator Sumpah Pemuda yang jauh
melampaui zamannya.
Bagaimana pandangan Anda dalam memandang bahasa dari segi
linguistik terhadap teks Sumpah Pemuda?
Secara linguistik,
kita dapat melihat kecerdasan dan visi brilian Pemuda Indonesia ketika itu.
Ketika membicarakan konsep ruang bernama Indonesia yang lazim kita sebut tanah
air, kata yang digunakan adalah “Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia”. Ini berarti bahwa seluruh elemen bangsa Indonesia mengakui dan
tentu saja wajib mempertahankan yang kita sebut “tanah air” itu. Ketika itu
masyarakat Indonesia rupanya telah memiliki semacam solidaritas ruang ini,
sehingga kata Indonesia lebih disukai daripada kata gabungan dari nama pulau
yang ada. Tentu saja ini berarti juga sebagai ikatan satu-satunya bagi seluruh
wilayah yang dimaksud dalam kata Indonesia ini.
Ketika membicarakan
membicarakan kebangsaan, pemuda Indonesia ketika itu menggunakan kalimat “Kami
Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia”. Pemilihan frasa bangsa Indonesia sangat tepat, karena ungkapan ini
merangkum keragaman latar belakang budaya yang membentuk solidaritas kebangsaan
masyarakat Indonesia secara umum. Ungkapan ini juga mengikat siapa saja yang
dimaksud dan merasa diri berbangsa Indonesia untuk membesarkan Indonesia ke
depan secara bersama-sama.
Uniknya, ketika
membicarakan bahasa, ungkapan berbahasa satu tidak digunakan sebagaimana
ungkapan bertumpah darah satu dan berbangsa satu digunakan. Ungkapan yang
digunakan malahan “Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean”. Ini menandakan sebuah
penghargaan akan keanekaragaman bahasa di negeri ini. Ini berarti juga
penghargaan terhadap kebudayaan local yang membentuk Indonesia secara utuh.
Dengan ungkapan ini, tidak ada kewajiban untuk menjadikan bahasa Indonesia
sebagai satu-satunya bahasa yang berlaku dan mengesampingkan bahasa daerah,
bahkan ketika kita membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.
Berbeda dengan sikap kebangsaan yang harus bersifat tunggal.
Adakah pesan yang ingin disampaikan terutama untuk para
mahasiswa yang mewakili generasi muda dan intelektual?
Sebagai bagian dari
pemuda, mahasiswa harus melanjutkan apa yang telah diperjuangkan pemuda ketika
itu melalui Sumpah Pemuda. Secara khusus, mungkin mahasiswa merupakan cermin
terkuat untuk menggambarkan kondisi bangsa di masa mendatang apabila
dibandingkan dengan golongan muda lainnya.
Mahasiswalah yang kemungkinan besar
akan memegang arah kebijakan negara ini di masa mendatang. Suatu saat, mereka
inilah yang akan memimpin bangsa ini. Oleh karena itu, mereka harus memiliki
tanggung jawab, baik secara moral maupun secara intelektual. Nasib ratusan juta
masyarakat Indonesia di masa mendatang ada di tangan mereka. Mereka tidak boleh
berpikir kuliah semata-mata untuk bekerja. Indonesia membutuhkan mereka lebih
daripada sekadar kuli. Tentu saja, ini juga menjadi tugas pengelola negara
untuk tidak memperlakukan kampus sebagai tempat memproduksi tenaga kerja. Kita
membutuhkan sarjana yang mampu berperan lebih daripada sekadar menjadi robot
industri.
Ini biografi singkat Makyun Subuki
Jakarta, 5 Maret
1980
S1 Tarjamah, FAH,
UIN Jakarta
S2 Linguisitik, UI
Dosen PBSI FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2009-sekarang
Koordinator Ciputat
Music Space
Ketua MLI
(Masyarakat Linguistik Indonesia) Cabang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013