Satu-satunya majalah yang saya
kenal sewaktu duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sejak saat itu pula saya
dengan sahabat karib terinspirasi menjadi seorang sastrawan. Namun hingga kini
impian menjadi seorang sastrawan apa lagi menjadi tokoh paling berpengaruh tak
kunjung datang.
Pada kesempatan lain, semasa saya masih terlibat dalam
organisasi membuat kesepakatan untuk mengundangnya sebagai pemateri dalam panitia
Training INSTITUT. Medengarkan apa yang dipaparan dengan disertai contoh-contoh kalimat, dari
pemilihan kata pada kalimat, pemilihan sudut pandang dalam menentukan
berita, yang sederhana namun ternyata tak mengurangi daya kritis. Setidaknya
itu pandangan saya.
Pertemuan itu ternyata membawa pada pertemuan selanjutnya,
sebuah pertemuan tanpa disangka-kang kian takjub saya terhadap dirinya. Sejumlah tanya yang rasanya ingin segera
disampaikan. Sayangnya, setiap pertanyaan hanya menggelantung di dalam hati.
Satu hal yang pasti, kekaguman saya akan dirinya kian bertambah.
Puncaknya, saat saya berkunjung ke kediamannya. Rumah yang
sederhana dengan deretan buku-buku ditambah aktivitas sebagai seorang penulis.
Dari situ, rasa yakin saya menuju final dan sangat mungkin ia pun akan
mengaminkan, bahwa untuk menjadi seorang sastrawan atau penulis bukan sebuah
perkara mudah, butuh yang namanya kesabaran, memupuk keyakinan, dan tentunya
perjuangan (Proses).
Sejauh mana orang sabar akan proses maka keinginan menjadi
sastrawan bisa sangat mungkin terbuka lebar. Bukankah itu juga yang terjadi
terhadapmu dalam sebuah pencapaian.
Berharap pada putaran waktu, namun angka pada jam dinding tak
kunjung mempertemukan kita dan namamu menguap begitu saja. Pada suatu suatu saat mampir sebuah kabar
yang begitu sangat mengejutkan. Seandainya bisa digambarkan, bagaimana kabar
negatif datang setelah sekian tahun lamanya tak mendengar kabar.
Percaya atau menolak, pilihan yang sangat sulit. Bagaimana
mungkin dia merelakan tanggapan miring hanya lantaran ia sebagai ketua Tim 8
mencantumkan nama Denyy JA sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia paling
berpengaruh.
Dibantu beberapa teman, tim ini pun menyusun buku ’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh’ . Berikut ini Tim 8 terdiri
dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus,
Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah
(anggota).
Kecewa, hal yang sangat mungkin terjadi bagi pengagum
seperti saya. Namun, apakah yang perlu dilakukan membela secara mati-matian
saat demburan ombak yang tak pernah jemu.
Mungkinkah rasa ini akan melenyapkan rasa kagum, entalah.
Sebagai penguat saja, rasa kagum saya lebih lantaran kiprahnya
di dunia sastra bukan hal yang lainnya. Majalah bernama Horison yang g pada akhirnya membawa saya
pada novel karya Mochtar Lubis, ‘Harimau! Harimau!’ dan ‘Jalan Tak Ada Ujung’. Siapa Mochtar Lubis,
tanpa harus diperjelas lagi semua orang
yang berkecimpung dalam dunia sastra Indonesia telah mengenalnya?
Dari majalah yang tak cukup tebal membawa saya pada
novel-novel karya Budi Darma, Umar
Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad
Tohari, Iwan Simatupang, dan yang lain-lainnya. Maaf ini bukan berbicara soal aliran apa lagi
ideologi.
Apakah karya mereka
cukup mempunyai pengaruh, bagi saya pribadi jawabannya adalah iya. Namun, entah untuk
orang lain? Lantas jika harus
dibanding-bandingkan siapa di antara mereka
yang paling berpengaruh? Saya tak puya jawaban akan hal itu dan saya tak
mempedulikan itu semua, saya hanya orang mengagumi dan iri terhadap karya yang mereka hasilkan.
Dan untuk membandingkannya, saya rasa sangatlah kurang
bijak. Dan dalam menentukannya, ini
bukan lembaga survei, yang kepastian
perbandingan didasarkan hasil lapangan dengan segala macam metode penelitian.
Terlalu naif jika hasil survei di lapangan model LSI atau sejenis langsung
diyakini kebenarannya.
Kemudian, bagaimana
Denny JA?
Ini hal baru dalam perjalanan saya, biasanya saya terlebih
dahulu melahap karya sastra baru mengenal siapa pemilik karya, sangat beda dengan
Denny JA.
Bagi saya sungguh asing, membayangkan ia tak ubah seorang
kesatria yang turun dari pertapaan lalu
menghebohkan dunia sastra. Dia bukan Wiro Sableng, kesatria pembela kebenaran
dan cukup disegani di dunia persilatan (Sastra).
Jadi bukankah, memang sudah sebaiknya dihentikan saja perdebatan pengaruh atau
mempengaruhi apa lagi menentukan siapa yang paling berpengaruh? Biarkan karya
sastra mengalir apa adanya sehingga saya dan orang-orang setelah saya sebagai
pewaris sah sejarah Indonesia mengenal karya tanpa harus ternoda.
Saya percaya sesuatu yang dipaksakan hanya akan memicu perlawanan. Seandainya saja Denny JA ingin menggeluti dunia sastra, siapa yang melarangnya. Tapi, bergelutlah secara wajar sebagaimana Pram yang tak pernah lelah menulis dalam
penjara dengan waktu puluhan tahun lamanya.
Begitu juga dengan Lubis yang begitu aktif menulis karya fiksi sehingga publik melabeli dirinya sebagai sastrawan. Selain itu, ia juga terdaftar sebagai jurnalis kritis (panas kuping pejabat). Hal itu nampak dari hasil liputannya yang mengantarkan dirinya ke dalam jeruji besi (penjara).
Begitu juga dengan Lubis yang begitu aktif menulis karya fiksi sehingga publik melabeli dirinya sebagai sastrawan. Selain itu, ia juga terdaftar sebagai jurnalis kritis (panas kuping pejabat). Hal itu nampak dari hasil liputannya yang mengantarkan dirinya ke dalam jeruji besi (penjara).
Tiga novel membawa Ahmad Tohari dikenal sebagai
sastrawan. Siapa yang tak tergoda membaca Ronggeng Dukuh Paruk, baru di filmkan
setelah sekian tahun lamanya. Dan saya juga sangat yakin, seorang Jamal harus menempuh jalan panjang penuh liku untuk diakui sebagai seorang sastrawan.
Mereka meluangkan waktu begitu lamanya dengan segala macam
rintangan demi sebuah karya, apakah ada terlintas dalam benak mereka agar ingin
disebut tokoh apa lagi tokoh yang paling berpengaruh.
Hormat saya Dede (Mantan Anggota LPM INSTITUT)