ilustasi |
Oleh @Si_Awe
Memang mau tak mau harus diakui, buku yang mengulas dekonstruksi sejarah sempat berada digenggaman saya. Sayangnya, buku tersebut belum benar-benar selesai dilahap dan hanya menyisakan penggalan kata-kata yang melekat pada pengantar, yakni ketakutan para sejarawan saat mendengar ‘de’.
Kenapa mereka (sejarawan) melihat ‘de’ tak ubahnya menyaksikan hantu? Bukankah hal ini memicu anggapan miring terhadapnya. Sederhananya, takut kedapatan belangnya bahwa apa yang selama ini disodorkan kepada publik tak lain hanya kebohongan semata. Jika sudah demikian, kotak yang terbungkus dengan rapi tak akan pernah terbongkar. Lalu membiarkan film Gajah Mada diperankan seorang bocah.
Siapa bilang sejarawan adalah Pandora?
Bisa jadi Pandora tengah murung sambil menyesali perbuatanya yang tak mengindahkan larangan agar tidak membuka kotak pemberian para dewa. Kekuasan dewa tinggalah kuasa, rasa penasaran akan misteri kotak tersebut di atas segalanya.
Dengan segenap rasa dahaga, Padora membuka kotak hadiah pernikahannya dengan Epimetheus. Kenyataan pahit, ia mencium aroma begitu menakutkan terasa di udara. Sesuatu yang sangat mengerikan telah terlepas.
Pandora lenyap seiring kematian raja para dewa, zeus ditangan anaknya bermana Herkules gara-gara ingin menyelamatkan kandungan Xena. Sejak itu, kehidupan manusia tanpa dewa. (Simak kembali film Herkules di stasiun tv swasta).
Zeus boleh mati, tapi bukan untuk pengikutnya. Mungkin itu pula yang tak dipahami benar-benar Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meskipun telah menjadi presiden. Entah benar-benar lupa atau nekat untuk membuka dengan mengusul pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966, di sana masih mitos kuasa Orde Baru yang penuh setia menjaga kotak.
Maka tak usah diherankan, jika permintaan maaf Gus Dur atas pembantaian orang-orang yang dianggap komunis. Waktu begulir dengan kehendak lain, singkat cerita Gus Dur berpulang sebelum berhasil benar-benar membuka kotak.
Adalah Joshua Oppenheimer mencoba melawan kuasa dengan menyutradarai film "The Act of Killing", berkisah pengakuan algojo mengenai pembantaian jelang lahirnya Orba. Apa yang terjadi, Juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah mengatakan, film itu berpotensi citra Indonesia buruk mata komunitas internasional.
Sebagamana dilansir di Kompas.com, ia meminta agar persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film. Soalnya, film tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. “Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," ujarya.
Silakan disimak pernyataan tersebut, bukannya apa yang dilontarkan atas film tersebut malah kian memperjelas posisinya terhadap kotak tersebut. Sepertinya, ia akan lebih suka berdiri di atas menara agar menyakskan kotak teresut terombang-ambing di tengah lautan lepas, penuh harap hilang begitu saja.