Catatan Dede Supriyatna

Cukup lama merenung, seuntai kalimat akhirnya berhasil dilahirkan ‘Habis gelap terbitlah terang.’ Ia cermati baik-baik tiap kata per kata, air mata menetes, menangis sejadi-jadinya, berteriak-teriak.
Dialah seorang perempuan bergelung dan orang-orang memanggil Raden Ajeng Kartini. Dikenal sebagai seorang pejuang persamaan hak antara laki-laki dan wanita, tak lagi mengenal perbedaan antara keduanya termasuk dalam berpolitik.
Lantas apa makna dari kata yang dilahirnya, jika pada akhirnya hanya digunakan penguasa untuk penyumpal terhadap jiwa-jiwa yang tak berdaya.
………….
Hari ini tanggal 1 Mei, hari yang dikenal sebagai hari buruh dunia. Pada hari ini juga atau pada saat ini unjuk rasa buruh rasanya bukan sesuatu yang asing lagi. Kegiatan menyampaikan tuntutan saat ini sudah jauh berbeda semasa Marsinah.
Oh, iya apa kabar dengannya? Cerita yang terus mengulang-ngulang tanpa jelas jelas kapan terangnya (habis gelap terbitlah terang). Iya, Jauh sebelum itu, tepatnya 8 Mei 1993 seorang perempuan berusia 24 tahun ditemukan terbujur kaku dengan tubuh penuh luka setelah tiga hari lamanya dilakukan pencarian.
Dari kabar-kabar yang terus dihembuskan, Perempuan itu yang tak lain adalah Marsinah meninggal lantaran dibunuh lalu ditinggalkan begitu saja di hutan Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk.
Kenapa Marsinah dibunuh? Itulah yang hingga kini arwah Marsinah terus bergentanyangan menghantui setiap orang yang terlibat atas kematian. Namanya akan selalu berdiri di barisan palinng depan untuk berjuang atas kemerdekan bagi jiwa-jiwa yang dirampas hak-haknya.
Marsinah bukan orang yang mungkin tak pernah mendengar atau membaca istilah ‘Habis gelap terbitlah terang’. Jika saja pernah mendengar atau mengetahui , kaginya kata tersebut tak akan pernah benar-benar hadir begitu saja tanpa ada perjuangan.
Hal itu juga membuat dirinya yang bekerja sebagai buruh di pabrik PT Catur Putra Surya aktif terlibat dalam unjuk rasa menuntut kenaikkan gaji Rp 1.700 menjadi Rp 2.250, sebagaimana surat ederan Gubernur KDH TK I Jawa Timur No. 50/Th. 1992, yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.
Namun sayang, Marsinah malah mendapatkan siksakan yang cukup sadis hingga terkapar di gubug reog. Penyiksaan terhadap Marsinah dipaparkan Pakar forensik Abdul Mun'im Idries atas hasil temuan yang ditulis bukunya 'Indonesia X-Files, sebagaimana dilansir dari detik.com.
Dari temuan teserbut ditemukan berbagai kejanggalan visum. "Visum dari RSUD Nganjuk sangat sederhana karena hanya 1 halaman," terang Mun'im di halaman 27.
Menurutnya, meski jenazah Marsinah sudah dibedah, tapi tidak dijumpai laporan keadaan kepala, leher dan dada korban. Di dalam visum juga disebutkan Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. "Padahal yang seharusnya diutarakan pembuat visum adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas), " papar Mun'im.
Fakta persidangan juga menyebut Marsinah ditusuk kemaluannya dalam waktu yang berbeda. Tapi dalam visum, hanya ada 1 luka, pada labia minora. "Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka," sambungnya lagi.
Beberapa visum lainnya juga terus disoroti oleh Mun'im. Ia menduga pembuatan visum atau lazim disebut visum et repertum itu dilakukan di luar kelaziman. "Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang," tandasnya.