Berita Terbaru:
Home » , » “JANGAN ADA DENNY DI ANTARA KITA”*

“JANGAN ADA DENNY DI ANTARA KITA”*

Written By angkringanwarta.com on Monday, February 03, 2014 | 02:25

#Surat Cinta untuk Denny JA

 
Di alam demokrasi ini, kita telah melahirkan
banyak karya-karya kreatif yang tidak cukup otoritatif!
 Rahmat Kemat


Bung Denny JA Yang Mulia… Pertama-tama saya hendak mengucapkan salam damai berpeluh cinta, sesuai nasihat Bung dalam karya puisi esai yang semata wayang itu, Atas Nama Cinta. Tanpa perlu berpatah-patah kata, saya kira Bung sudah tahu betul maksud coretan kecil dari “bukan sastrawan” ini. Sejujurnya, saya hanya bermaksud ‘membengkokan’ pandangan ‘lurus’ Bung perihal gerakan Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang Bung sebut sebagai fasis, ekstremis dan fundamentalis yang anti demokrasi itu―lihat kicauan@DennyJA_WORLD dalam “bukan catatan kaki” di akhir coretan kecil ini. Sebelum bertolak ke jantung persoalan, saya hendak mengingatkan bahwa istilah-istilah yang Bung gunakan itu―fasis, ekstremis dan fundamentalis―pada dasarnya sama kaburnya dengan istilah “berpengaruh” dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu.Jangankan menerapkan istilah ekstremis dan fundamentalis dalam dunia sastra, dalam wilayah agama saja istilah itu sungguh-sungguh problematis! Sebuah neologisme yang temaram, gelap dan gulita, bergantung pada subjek yang mengumandangkannya, apakah kaum rasionalis, kaum pencerahan, kaum liberal, kaum moderat, kaum puritan, kaum salafi-wahabi atau kelompok teroris? Masing-masing memiliki bingkai penafsiran yang berbeda sesuai pandangan dunia mereka. Lalu sekonyong-konyong Bung mempraktikkan “politik penandaan” dengan meminjam neologisme yang ambigu itu ke komunitas sastra untuk melabeli mereka yang Bung anggap sebagai kaum ‘pembredel’ hak-hak sipil dalam negara demokrasi.


Bung Denny JA Yang Mulia… Perlu saya tegaskan sedari awal, saya tidak menolak kesemestaan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, apalagi meminta negara untuk membredel buku tersebut―sebuah tuntutan yang hampir mustahil direspon oleh negara di musim yang serba sibuk ini, perkara publik yang jauh lebih besar saja seringkali tidak diurus oleh negara, apalagi masalah ‘remeh-temeh’ semacam ini.Perlu dicatat baik-baik―kalau Bung sibuk, mintalah kepada staf Bung yang berlimpah itu untuk mencatatnya―bahwa tuntutan saya adalah menggugat dan menolak pencantuman nama Denny JA, ya nama besar Bung itu, dalam buku 33 Tokoh SastraIndonesia Paling Berpengaruh. Dalam bahasa ushul fiqh, ini disebut dengan kaidah “yuthlaq al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâs”. Jadi, jika saya menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh besutan Tim 8 itu, yang saya maksud adalah menolak nama Denny JA sebagai “sastrawan paling berpengaruh” dalam buku tersebut. Selebihnya, saya sama sekali tidak mempersoalkan kemuliaan Bung sebagai konsultan politik atau pengusaha―atribut itu pantas diperoleh karena kecerdasan dan kerja keras Bung.


Bung Denny JA Yang Mulia… Marilah kita masuk ke jantung kegelisahan Bung perihal gerakan pecinta sastra yang Bung sebut “anti-demokrasi” itu. Malu betul rasanya saya ‘menceramahi’ Bung perihal bidang yang sangat Bung kuasai dari A-Z ini.Tapi tak apalah, toh manusia acap kali lupa atas apa yang selalu diingatnya. Pertama-tama saya hendak mengingatkan bahwa demokrasi meniscayakan prasyarat lain agar beroperasi sebagai suatu sistem politik yang ‘ideal’, yakni “nomokrasi” dan “meritokrasi”. Takdir yang sama sesunggunya berlaku pula dalam dunia sastra!―sebagaimana akan saya umbar dalam coretan ini. Demokrasi bukanlah panacea yang sanggup memulihkan 'penyakit' yang mendera bangsa ini dalam sekerdip mata; korupsi, kemiskinan, kekerasan (agama, etnik, domestik), defisit moralitas dan seterusnya. Jika demokrasi hendak berjalan baik, maka pertama-tama ia harus sedulur dengan “nomokrasi”. Apa itu nomokrasi Bung? Bung tahu betul itu. Ia berakar dari kata “nomos”, artinya “aturan hukum”. Jadi demokrasi itu harus sejalan dengan “rule of law" (aturan hukum) dan rule of law itu harus dipatuhi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokasi yang berjalan tanpa nomokrasi akan menyulut kehidupan berbangsa dan bernegara yang carut marut, centang perenang, kacau balau, karena tidak ada otoritas.


Di zaman Orde Baru kita mengalami apa yang disebut “pemerintahan otoriter” karena tidak ada demokrasi, seperti yang Bung bilang itu; suara-suara kritis dibungkam, sastrawan-pemberontak dibui, media-massa diberedel dan sebagainya. Nah, sekarang ini, di era reformasi, demokrasi bukan menjelma pemerintahan otoriter, tetapi pemerintahan “tanpa otoritas”, karena demokrasi tidak dibalut oleh nomokrasi (rule of law). Sekarang ini kita mengalami defisit otoritas. Alhasil, segudang urusan publik yang seharusnya diurus oleh negara sama sekali tak diurus; kekerasan terhadap minoritas, nestapa TKI, pemerasan sumberdaya alam oleh pihak asing dan banyak lagi, semuanya dibiarkan oleh negara! Lebih dari itu, sekarang ini kita berada dalam situasi yang dapat disebut dengan istilah “break-state” (negara-retak). Rule of law berubah menjadi rule by law. Dalam rule of law, hukumlah yang berdaulat, hukumlah yang menentukan segala persoalan. Tetapi dalam rule by law, pemerintahan menggunakan hukum untuk kepentingan (individu dan golongan) sendiri. Pemerintah pusat membuat peraturan perundang-undangan untuk kepentingan partai politik dan penguasa modal, pemerintah daerah membuat peraturan daerah untuk melanggengkan dinasti politik dan jawara-jawara borjuis! Jadi, kalau perlu bikin saja UU, Perpu, PP, Perda dan seterusnya. Gampang sekali bikin itu Bung! Persoalannya, dalam rule by law, peraturan-peraturan itu dibuat untuk melegitimasi praktik-praktik “devilish” segelintir individu dan atau kelompok supaya tindakan-tindakan mereka memiliki landasan hukum, bukan demi menegakkan supremasi hukum!


Ahaa… Begitu pula nasib dunia sastra yang sedang kita perbincangkan di sini dan sekarang ini (here and now) Bung. Demokrasi sastra tanpa nomokrasi sastra! Kerajaan sastra tanpa otoritas sastra! Alhasil, setiap orang ‘berhak’mendaku diri sebagai sastrawan, bahkan “sastrawan paling berpengaruh”! Padahal ia bukan ‘berhak’ atas atribut itu, melainkan merampas hak-hak orang lain (baca:sastrawan lain) yang lebih berhak menyandang atribut itu. Baiklah, kita sebut saja kondisi ini dengan istilah “break-literature” (sastra-retak)―ingat istilah “break-state” di atas Bung. Marilah kita mundur sejenak untuk menjernihkan perihal istilah “break-literature” yang aneh ini dengan mengajukan pertanyaan mendasar; Apa yang membuat suatu karya disebut sebagai sastra? Bagaimana rule of the game dalam dunia sastra? Ah, saya kira Bung tahu jawabannya. Adalah kualitas “kesastraan” yang menentukan sebuah karya sebagai sastra. Hmm.. Jujur saja, sesungguhnya saya tidak berkompeten mendedah khazanah kebudayaanyang maha agung itu, sungguh saya merasa tertatih-tatih mengeja belantara sastra yang maha luas itu. Oleh karena itu, izinkanlah saya menyelami samudera sastra yang maha luas itu melalui sekoci kecil tempat saya mengarunginya.


Oh ya, sebelumnya saya harus mengucap seribu maaf Bung, karena terpaksa harus menghadirkan seorang ‘penghulu’ untuk mengikatkan pengetahuan saya yang longgar di bidang sastra. Penghulu yang saya maksud adalah Roman Jakobson, cenayang bahasa dan sastra yang ‘sangat berpengaruh’ itu. Dalam Lingustics and Poetics, Jakobson (1960: 350-377) membaptis 6 (enam) fungsi bahasa sebagai modus komunikasi, yakni: (1) referential; (2) emotive; (3) conative; (4) phatic; (5) metalingual; dan (6) poetic. Fungsi terakhir inilah―fungsi puitis―yang menjadi tema sentral dalam karya klasik Jakobson itu, dan kebetulan saat inimenjadi sentrum perhelatan kita Bung. Marilah kita mulai dari persoalan mendasar yang diajukan ‘sang penghulu’ itu, “What makes a verbal message a work of art?” Pertanyaan ini persis menyentuh jantung perbincangan kita, yakni perihal puitika dalam sastra atau sebut saja “licensia poetica”―Jakobson kerap menyebut fungsi puitis ini dengan istilah “verbal art”. Dalam “Shakespeares Verbal Art in “Th’ Expense of Spirit”, Jacobson (1987: 71) menyodorkan formula sebagai berikut: “the poetic function projects theprinciple of equivalence from the axis of selection into the axis ofcombination.” Definisi ini mendedahkan tiga struktur dasar bahasa puitis, yakni: (1) kebebasan kreatif dalam diri penutur bahasa sebagai pencipta; sastrawan bebas memilih bentuk maupun makna yang tak terbatas pada poros paradigmatik (mentallexicon) untuk diproyeksikan pada poros sintagmatik (phonotacticand syntactic plane); (2) tatkala memproyeksikan pilihan bentuk dan makna pada poros paradigmatik itu, sastrawan dipandu oleh prinsip keseimbangan (the princple of equivalence); pada level struktural, hasil proyeksi tersebut muncul sebagai repetisi lingual yang variatif; pada level fonologis, muncul aliterasi dan asonansi atau rima; pada level sintaktis, muncul paralelisme struktur; dan pada tataran semantis, muncul paralelisme makna; (3) hasil konkret dari proyeksi tersebut adalah bahasa puitis, yakni bahasa yang bentuknya di-mark-up demi meraih sentuhan estetis.



Bung boleh saja tidak setuju dengan formula ketat Jakobson itu, karena banyak penghulu sastra lain yang menawarkan resep yang berbeda. Tapi saya kira para penghulu itu akan setuju jika dikatakan bahwa komponen dasar yang membuat suatu karya disebut sebagai sastra adalah “licensia poetica” itu, terlepas dari ragam penjabaran dari istilah itu. Tanpa komponen dasar tersebut, suatu karya tidak dapat disebut sebagai sastra. Maka sebut saja karya sejenis itu dengan istilah lain; karya jurnalistik, tulisan akademik, esai dan sebagainya. Ini aturan Bung, sebagaimana karya-karya yang bukan sastra juga memiliki aturan. Saya tidak bermaksud mendegradasi karya Bung sebagai bukan karya sastra. Pangkal soalnya bukan di situ. Yang saya persoalkan adalah klaim bahwa Bung adalah pembawa paradigma baru di dunia sastra, khususnya puisi, melalui apa yang Bung sebut dengan istilah “puisi esai” itu, yang lantas menghipnose Tim 8 untuk mendudukkan Bung dalam singgasana 33Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Pertanyaan saya, apa kriteria dan parameter yang digunakan untukmenjustifikasi bahwa puisi esai merupakan sebuah genre puisi baru? Siapa yang berhak menilai suatu karya sastra sebagai suatu genre baru dan atau telah menyodorkan suatu paradigma baru? Tentu saja komunitas sastra Bung, termasukmereka yang menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu―mereka adalah sastrawan dan kritikus sastra, mereka memiliki banyak karya dan berkarya dengan penuh dedikasi. Ah, alangkah baiknya saya ber-husnuzhan saja, bahwa Bung memang tidak mengenal mereka. “Tak kenal maka tak tahu”, begitu menurut ungkapan yang “gak klasik-klasik banget”. Saya kira mereka bukan imun terhadap paradigma baru dalam sastra, lebih khusus lagi puisi, tetapi hendak menyoal perihal paradigma ‘kebaruan’ yang Bung tawarkan itu.


Jika boleh, perkenankalah saya keluar sejenak dari dunia sastra dan beralih ke dunia lain yang justru lebih intim dengan kehidupan Bung sebagai ilmuan sosial. Saya hendak meminjam istilah “sains normal” (normal science) dari Thomas Kuhn. Ia menawarkan definisi berikut: “normal science means research firmly based upon one or more past scientific achievements, achievements that some particular scientific community acknowledges for a time as supplying the foundation for its further practice” (1970: 10) Terminologi sains normal ini penting untuk mengidentifikasi kemunculan paradigma baru dalam revolusi ilmu pengetahuan―Kuhn menyebutnya dengan istilah “pergeseran paradigma” (paradigm shift). Namun sebelum beranjak ke soal geser-menggeser itu, sebaiknya kita simak dulu apa itu paradigma. Kuhn menyatakan, “a paradigm governs, in the first instance, not subject matter but rather a group of practitioners. Any study ofparadigm-directed or of paradigm-shattering research must begin by locating the responsible group or groups” (1970: 180). Dalam lembaran lain, Kuhn menegaskan, “The term “paradigm” is used in two different senses. On the one hand, it stands for the entire constellation of beliefs, values, techniques, and so on shared by the members of a given community. On the other, it denotes one sort of element in that constellation, the concrete puzzle-solutions which, employed as models or examples, can replace explicit rules as a basis for the solution of the remaining puzzles of normal science” (1970: 175).


Kendati Kuhn sedang mendedahkan konsep paradigma dalam wilayah sains, namun saya kira resep Kuhn juga dapat diteguk oleh dunia sastra, lebih tepatnya komunitas sastra. Saya hendak menegaskan bahwa sebelum suatu karya sastra diklaim sebagai sebuah paradigma baru, maka pertama-tama ia harus dibenturkan terlebih dahulu dengan, kita sebut saja, “sastra normal” (normal literature) yang telah disepakati oleh komunitas sastra. Persis di sinilah salah satu cedera metodologis yang tak dihiraukan oleh Tim 8, khususnya Ahmad Gaus sang pembaptis Denny JA. Sebuahkarya sastra pertama-tama adalah milik komunitas sastra―tanpa menafikan kontribusi pembaca, penikmat, masyarakat umum sebagai bagian di dalamnya. Oleh karena itu, pihak yang paling otoritatif―kita kembali pada soal otoritas di atas―untukmenilai sebuah karya sebagai suatu karya sastra, termasuk dalam hal ini revolusi sastra, pergeseran paradigma sastra, pembaruan sastra, pertama-tama dan terutama adalah komunitas sastra. Lantas sejauh mana komunitas sastra telah memberikan pengakuan terhadap puisi esai itu? Mungkinkah tolak ukur inovasi dalam sastra hanya didasarkan semata-mata pada kelainan genre yang disandang puisi esai itu? Jika puisi esai belum dapat dikatakan sebagai paradigma baru dalam puisi, bagaimana mungkin Denny JA dapat dinobatkan sebagai tokoh sastra yang melakukan pembaruan dalam puisi, apalagi sebagai tokoh sastra “paling berpengaruh”? Lantas bagaimana mengukur pengaruh DennyJA dan sejauh mana pengaruhnya sementara ia sendiri ‘makhluk’ baru di jagat sastra dengan karya yang semata wayang itu? Jangankan inovasi baru sejenis puisi esai, gerakan-gerakan intelektual-artistik yang besar-besar saja membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk mendapat pengakuan publik di masing-masing bidangnya, sebut saja romantisme, realisme, surealisme, posmodernisme, dekonstruksionisme dan sebagainya. Begitu pula tokoh-tokoh sastra yang ditulis oleh Daniel S. Burt dalam bukunya yang berjudul The Literature 100: A Ranking of the MostInfluential Novelists, Playwrights, and Poets of All Time, seperti William Shakespeare, Dante Alighieri, Homer, Leo Tolstoy, T.S. Eliot, Anton Chekhov, Samuel Beckett, Albert Camus dan sebagainya. Mereka layak menduduki posisi itu―meskipun mungkin masih bisa diperdebatkan―karena kontribusi mereka yang luar biasa di dunia sastra. Lantas bagaimana kita mengukur kontribusi atau pengaruh mereka itu? Itu perkara mudah Bung, deretkan saja daftar kajian-kajian ilmiah-akademis, baik dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal yang telah membahas aliran-aliran atau tokoh-tokoh tersebut. Saya kira itu lebih dari cukup dan dapat melegitimasi sebuah buku yang menggunakan nomenklatur “pengaruh” dalam judulnya. Bukankan itu terukur (measurable), Bung?


Bung Denny JA Yang Mulia… Sejauh ini kita sudah mendiskusikan keniscayaaan hubungan antara demokrasi dan nomokrasi, jika kita hendak membangun tatanan demokrasi yang sehat. Di samping itu, sebagaimana Bung juga tahu, demokrasi harus ditopang oleh "meritokrasi". Dari segi orangnya, sistemnya atau rekrutmen kepemimpinannya, demokrasi yang baik itu harus sejalan dengan meritokrasi. Dalam demokrasi, idealnya rekrutmen pemimpin berdasarkan prestasi dan pencapaian (achievement), bukan berdasarkan kekayaan, popularitas atau dinasti politik. Saya kira Bung tahu betul bagaimana senator-senator di Amerika harus merangkak dari bawah untuk menduduki jabatannya. Bahwa dalam kasus-kasus tertentu ada faktor keturunan atau dinasti politik, saya kira itu sesuatu yang alamiah. Itu namanya social capital, sebuah keuntungan yang dimiliki orang-orang tertentu, katakanlah mereka berasal dari keluarga Kennedy atau Bush. Tetapi sebagaimana Bung ketahui, mereka tidak bisa ujug-ujug menjadi senator, tetapi tetap menempuh proses melalui jalur-jalur meritokrasi. Dinasti itu sah di mana-mana, tetapi dalam konteks demokrasi, dinasti itu harus tetap sejalan dengan prinsip-prinsip meritokrasi. Dengan kata lain, dinasti itu hanya menyediakan social capital saja, tetapi tidak dengan sendirinya dicapai kalau orang itu tidak in charge. Sayangnya kita bukan di Amerika Bung. Di sini, di Negeri Yang Maha Lucu ini, basis rekrutmen pemimpin dan pejabat negara serta kader-kader politik di lembaga legislatif seringkali tidak didasarkan pada prinsip-prinsip meritokrasi, melainkan berdasarkan social capital atau economic capital  Bung. Saya tidak bermaksud menggeneralisir situasi negeri, namun hanya hendak menyatakan bahwa adegan itu kerap terjadi dalam banyak kasus.


Ahaa… Lagi-lagi begitu pula nasib dunia sastra yang sedang kita perbincangkan di sini dan sekarang ini Bung. Demokrasi sastra tanpa meritokrasi sastra! Orang ujug-ujug bisa menjadi sastrawan berdasarkan polling, SMS, atau pengunjung website. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa sastra hanya milik sastrawan atau hanya sastrawanlah yang berhak membuat karya sastra. Saya juga tidak menganut konsepsi birokrasi dan produksi kapitalis yang membuat separasi dan spesialisasi profesi yang ketat berdasarkan konsep division of labour atau divison of works, sehingga mencegah orang untuk menembus batas-batas cakrawala potensi kemanusiaan yang dimilikinya. Siapapun berhak membuat karya sastra―entah itu akademisi, ulama, politisi, tukang cukur, anak jalanan dan seterusnya―baik untuk meraih kepuasan estetik atau sebagai medium untuk mengkomunikasikan ide, gagasan dan wacana apapun itu. Soal utama saya bukan di situ Bung, tetapi soal penahbisan Bung sebagai sastrawan paling berpengaruh oleh Tim 8. Lucu sekali ketika membaca ‘reportase’ Ahmad Gaus dalam buku tersebut bahwa indikator yang digunakan untuk menahbiskan Bung sebagai sastrawan paling berpengaruh adalah jumlah pengunjung website dan terbitnya sejumlah buku puisi esai yang menganut ‘aliran’ Bung. Ironisnya, perkembangan puisi esai itu sendiri dimungkinkan karena Bung, meminjam ungkapan Katrin Bandel, “menciptakan pengaruh sendiri lewat marketing cerdas dan sayembara yang diadakan atas inisiatif sendiri, dan, yang palingpenting, dengan pendanaan yang sangat luar biasa.” Penjelasan lebih lengkap tentang strategi marketing puisi esai Denny JA via internet ini dapat dilihat dalam tulisan Sahlul Fuad, “Membongkar Statistik Puisi Esai Denny JA”.


Pertanyaannya, di mana spirit meritokrasi Bung sebagai seorang demokrat tulen? Bagaimana perasaan Bung jika seandainya saya selama tiga tahun belakangan ini bergiat sebagai konsultan politik, lantas nama saya sekonyong-konyong tercantum dalam sebuah buku berjudul 33 Konsultan Politik Indonesia Paling Berpengaruh, sementara nama anda tidak tercantum di dalamnya? Sebagai seorang demokrat tulen, Bung mungkin saja tidak akan marah besar atau menggugat agar nama saya dikeluarkan dari daftar tersebut. Tapi mustahil rasanya jiika Bung diam seribu bahasa. Bung tentu akan menyoal dan mempertanyakan kriteria, parameter, validitas ketokohan saya dalam bidang tersebut? Bukan semata-mata karena saya masuk di dalamnya, tetapi juga karena Bung yang telah betrtahun-tahun begelut di bidang itu tidak ada di dalamnya. Begitu pula dalam kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Pencantuman nama Bung di dalam buku itu cenderung mengecilkan dan meremehkan posisi dan kontribusi sastrawan-sastrawan lain―baik yang telah wafat maupun masih hidup, baik yang tercantum atau tidak tercantum dalam buku tersebut―yang telah mendedikasikan segenap atau sebagian besar hidupnya untuk berproses dan berkarya di wilayah sastra.


Kenyataan itulah yang menyulut kecemasan dalam diri saya Bung, sebuah kecemasan eksistensial (angst) dalam terminologi Heidegerrian, kecemasan yang tidak menentu, kecemasan terhadap masa depan sastra Indonesia! Jika demokrasi sastra kita dibangun bukan atas dasar prinsip-prinsip nomokrasi sastra dan meritokrasi sastra, tetapi berdasarkan kuasa modal dan obsesi ketenaran, maka kita akan menyaksikan di negeri ini bukannya demokrasi sastra, melainkan plutokrasi sastra!


Barangkali Bung sulit memahami argumentasi saya yang tidak sistematis dan melompat-lompat ini. Bung bebas menyebutnya sebagai coretan anak-anak, tidak akademis, tidak argumentatif. Jika menurut Bung tulisan ini memang demikian, maka mohon kiranya Bung berkenan menyebut tulisan ini sebagai “esai-puitik”; esai yang bukan esai, puisi yang bukan puisi; esai yang bukan puisi, puisi yang bukan esai, tetapi “esai-puitik”―sebagaimana rumusan Ahmad Gaus yang membaptis paradigma puisi esai dan ketokohan Bung di 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu.


Bung Denny JA Yang Mulia… Atas Nama Cinta… Marilah kita membangun rumah kebudayaan Indonesia dengan sayap-sayap kejujuran dan keringat-keringat kemuliaan!


Rahmat Kemat

(Bukan Sastrawan)


*Frase “Jangan Ada Denny di antara Kita” dalam judul coretan ini saya kutip dari celoteh salah satu penggerak #CIPUTATMENOLAK PEMBODOHAN, Purwo Sasmito a.k.a. Ipoenk Dan Ipoenk


*Tulisan ini sebagai bentuk dukungan saya terhadap gerakan #CIPUTAT MENOLAK PEMBODOHAN dan gerakan-gerakan serupa lainnya.



BIBLIOGRAFI


Daniel S. Burt, The Literature 100: A Ranking of the Most Influential Novelists, Playwrights, and Poets of All Time, NewYork: Infobase Publishing, 2008.


Jamal D. Rahman dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jakarta: Kepustakaan PopulerGramedia, 2014.


Katrin Bandel, “Beberapa Catatan Atas Judul “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”, dalam http://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/06/beberapa-catatan-atas-judul-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/.


Roman Jakobson & L.G. Jones, “Shakespeares Verbal Art in “Th’ Expense of Spirit”, in K. Pomorska & S. Rudy (ed.), RomanJ acobson: Languange in Literature, Cambridge, Mass., London: The BelknapPress of Harvard University Press, 1987, pp. 198-216.


Roman Jakobson, “Closing Statement: Linguisticsand Poetics”, in Thomas A. Sebeok (ed.), Style in Languange, New York & London: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology and John Wiley & Sons, Inc., 1960, pp. 350-377.


Sahlul Fuad, “Membongkar Statistik Puisi Esai Denny JA”, dalam https://www.facebook.com/notes/sahlul-fuad/membongkar-statistik-puisi-esai-denny-ja/10151910619963837.


Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Second Edition, Enlarged, Chicago: University of Chicago Press, 1970.



BUKAN CATATAN KAKI:



Berikut ini beberapa daftar kicauan Denny JA dalam akun twitternya @DennyJA_WORLD,Sabtu (18/1/2014):


 (1) Mengapa petisi "membredel" buku33 sosok sastrawan layu sebelum berkembang? ini banyak ditanyakan pada saya.#petisi


(2) Yang hadir dalam demo ke PDS HBJassin kemarin kok hanya 17 orang saja, bukan ratusan spt yg mereka rencanakan?#petisi


(3) Petisi "membredel" buku33 sosok sastra itu ditinggalkan publik karena membawa gagasan yang berbahayabagi kebebasan berkarya. #petisi


(4) Meminta pemerintah menghentikanperedaran buku 33 sosok sastra itu gagasan era "kuda gigit besi". Iniera kebebasan berkarya. #petisi


(5) Meminta pemerintah"membredel" buku 33 sosok sastra membuat mereka menjadi "kaumekstrimis" dunia sastra. #petisi


(6) Yaitu kaum yang tak bisa menerimakeberagaman pendapat dan opini yang disediakan oleh demokrasi dan budayamodern. #petisi


(7) Yaitu kaum yang tak hendakmemelihara tradisi yang membiarkan "seribu bunga berkembang" di duniaopini sastra. #petisi


(8) Yaitu kaum pemalas, tak inginmembalas karya dengan karya, tapi meminjam kekuasaan pemerintah memberanguskarya yg tak disukai. #petisi


(9) Demokrasi membolehkan warga atausekelompok orang membuat opini rangking soal apapun. Lalu menerbitkannya.#petisi


(10) Demokrasi juga membebaskan wargamisalnya membuat rangking 33 karya terburuk sepanjang masa. Lalumenerbitkannya. #petisi


(11) Yang fatal di dunia demokrasiadalah meminta pemerintah membredel karya yang tak kita sukai atau kita anggapburuk. #petisi


(12) Menjadi aneh jika pejuang yangmeminta pemerintah "membredel" buku adalah mereka yang menikmatikebebasan berkarya. #petisi


(13) Kita sadar bahwa kaum ekstrimistak hanya ada di dunia agama, tapi juga dunia sastra #petisi


(14) Kita sadar bahwa kaum fundamentalis yang anti keberagaman tak hanya ada di dunia agama tapi jugasastra. #petisi


(15) Kita sadar ternyata kaum facistyang anti kebebasan tak hanya ada di dunia politik tapi juga sastra. #petisi


(16) Padahal mudah saja mengalahkanbuku 33 sosok sastra itu. Buatlah karya yang lebih baik. Tapi mereka malasmelakukannya. #petisi


(17) Pendukung petisi"membredel" buku ini pada waktunya akan dikenang sejarah sebagai kaumekstrimis dunia sastra. #petisi


(18) Itulah sebabnya mengapa petisi"membredel" buku 33 sosok sastra itu layu sebelum berkembang. #petisi


(19) Dunia sastra akan terus tumbuhdi tangan mereka yang berkarya, bukan mereka yang meminta pemerintah"membredel" karya. #petisi

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta