Berita Terbaru:
Home » » SEPAKBOLA YANG AKUR DENGAN GLOBALISASI

SEPAKBOLA YANG AKUR DENGAN GLOBALISASI

Written By angkringanwarta.com on Sunday, February 02, 2014 | 12:37

 Oleh Reza Fajri*

 Judul Buku    :    Memahami Dunia Lewat Sepakbola (Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi)
Penulis    :    Franklin Foer
Penerjemah    :    Alfinto Wahhab
Tebal    :    xii + 248 hlm
Penerbit    :    Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Edisi    :    I, 2006

Seperti yang tertera pada judul buku, sang penulis, Franklin Foer, berkeliling dunia dan mencoba memahami dampak arus globalisasi dari kacamata sepakbola. Pertanyaannya adalah: mengapa harus sepakbola?

Bill Shankly yang tersohor pernah berkata, “Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that.”. Ucapannya itu memang terbukti dengan jelas. Di beberapa negara seperti Inggris, Skotlandia atau Brazil, orang-orang memperlakukan sepakbola lebih dari sekedar olahraga, bahkan seperti agama. Para pendukung Celtic atau Rangers tidak malu-malu untuk menggunakan agama sebagai bahan permusuhan mereka. Foer menjelaskan bagaimana sejarah protestanisme pada masa lampau di Skotlandia menimbulkan diskriminasi terhadap pemeluk Katolik yang tiba-tiba menjadi minoritas. Untuk membangkitkan kembali semangat kaum Katolik, Brother Walfrid kemudian membentuk klub sepakbola Celtic. Naiknya klub ini ke papan atas sepakbola Skotlandia, sukses menaikan kembali harga diri orang-orang Katolik-Irlandia yang berada di Glasgow.

Namun sebaliknya, orang-orang Protestan yang tidak senang dengan bangkitnya ajaran Katolik, mencoba memanfaatkan klub Rangers sebagai kendaraan mereka. Rangers yang semula tidak memiliki kaitan dengan hal-hal berbau Protestan, berubah menjadi klub yang sangat eksklusif. Sebelum tahun 1989, klub berjuluk The Teddy Bear ini hanya menerima pemain-pemain yang beragama Protestan. Bahkan para petinggi klub, sampai tukang sapunya pun haruslah pemeluk Protestan.

Franklin Foer mencoba menjelaskan bahwa rivalitas Old Firm ini memang sengaja diciptakan sejak dahulu, dan bahkan dikomersilkan. Fenomena ini memperlihatkan betapa permusuhan bisa menjadi alat untuk mengeruk keuntungan, walau sekelam apapun permusuhannya.

“Pertikaian antara kedua seteru yang menghuni satu kota ini telah menghasilkan kisah-kisah horor persepakbolaan. Ada yang ditolak bekerja karena mendukung tim lawan. Ada fans yang dibunuh karena mengenakan kaos yang salah di lingkungan yang salah. Sepertinya, tidak ada yang lebih dibenci selain tetangga sendiri.” (hal. 31)

Masih tidak jauh dari agama, Foer juga sempat berkunjung ke Hungaria, negara yang kini tidak begitu terkenal sepakbolanya, walau dulu sempat menghebohkan bersama Ferenc Puskas. Kedatangannya ke Hungaria adalah untuk mencari tahu tentang klub Hakoah, klub sepakbola yang khusus diisi oleh pemain-pemain Yahudi. Bagaimana asal-usul Hakoah, perjuangannya, kesuksesannya, dan kematiannya, diceritakan secara mendalam oleh jurnalis asal Amerika ini. Soal Yahudi dalam dunia sepakbola ini, ia juga sempat menyinggung hubungan antara Yahudi dengan pendukung Tottenham Hostpurs dan Ajax Amsterdam. Kebencian masyarakat Eropa kepada Yahudi ini kemudian bisa terlihat dari rivalitas antara pendukung Chelsea dengan Spurs. Konon para fans Chelsea-lah yang paling parah dalam menghina Tottenham sebagai klub Yahudi.

Dalam perjalanannya ke London, Franklin Foer sempat bertemu dan mewawancarai Alan Garrison, mantan pentolan kelompok hooligan Chelsea Headhunters. Dalam wawancaranya tersebut, Garrison bercerita tentang masa lalunya, bagaimana ia dan The Headhunters merajai dunia kekerasan sepakbola. Garrison juga mengeluh tentang klub kesayangannya, Chelsea, yang berubah dari klubnya kelas buruh, menjadi klub kaya raya yang membebani para penontonnya dengan tiket masuk stadion yang mahal.

Kekerasan dalam sepakbola bukanlah hal yang baru. Ia sudah ada bahkan semenjak sepakbola itu sendiri diciptakan. Namun yang mengerikan adalah ketika dunia kekerasan itu dimanfaatkan demi kepentingan suatu politik. Selain kisah tentang hooligan Chelsea, di buku ini ada pula kisah horor yang berasal dari daerah Balkan. Keberanian Franklin Foer berkunjung ke Beograd, ibukota Serbia, patut diacungi jempol. Pasalnya ia berhasil mengetahui fakta tentang suporter Red Star Belgrade (Delije) yang dimobilisasi untuk melakukan pembantaian atas orang-orang sipil Kroasia dan muslim Bosnia. Hal itu terjadi ketika konflik Yugoslavia berlangsung.

Selain ke tempat-tempat yang sudah disebutkan di atas, Foer juga berkunjung ke Brazil, negara tersukses di Piala Dunia. Ia ke sana untuk mengetahui bagaimana praktik korupsi di sana yang seringkali memanfaatkan sebuah klub sepakbola. Di Italia, hampir sama seperti di Brazil, ia lebih menyoroti peran para oligarki-oligarki yang terkadang lebih berkuasa daripada pemerintah. Para oligarki tersebut ternyata sering berupaya untuk menyuap wasit-wasit di Serie A, demi kepentingan klub-klub kesayangannya. Foer secara terang-terangan membeberkan konspirasi yang dilakukan oleh para petinggi Juventus dan AC Milan.

Bab lain yang tidak kalah seru di buku ini adalah ketika Franklin Foer mengunjungi tempat di mana klub favoritnya bermarkas, yaitu Catalunya. Seperti motto yang tertulis di stadion Camp Nou, FC Barcelona yang dikaguminya ternyata bukan sekedar klub sepakbola biasa, namun juga menjadi simbol nasionalisme warga Catalan. Foer juga berhasil mewawancarai salah satu simbol perlawanan tersebut, yaitu Hristo Stoickov. Pemain asal Bulgaria yang saat itu sedang bermain Amerika Serikat, memberikan jawaban yang membuat Foer sadar seperti apa semangat nasionalisme rakyat Catalunya.

Kehidupan pemain kulit hitam di Eropa Timur, bagaimana sepakbola bisa mempengaruhi suatu masyarakat di negara Islam, atau mengapa orang-orang Amerika Serikat sangat takut dengan sepakbola yang biasa mereka sebut soccer, dibahas oleh Franklin Foer dalam bab-bab selanjutnya.

Cara Franklin Foer berpetualang ke berbagai negara memang menjadi satu dari sekian nilai plus yang membuat buku ini terasa spesial, terlebih statusnya sebagai warga negara AS yang dikenal tidak terlalu suka sepakbola. Namun hal yang lebih menarik dalam buku ini tentunya adalah bagaimana Foer menjadikan sepakbola sebagai bahan untuk meneliti fenomena globalisasi yang tengah melanda dunia. Jika di awal tulisan ini ada pertanyaan: “mengapa harus sepakbola?”, tentu jawabannya adalah karena...

“Sepakbola sepertinya lebih akur dengan globalisasi ketimbang perekonomian manapun di muka bumi ini” (hal. ix).

Penulis adalah pemilik akun  Twitter: @rezafajri


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta