ilustrasi |
Oleh Rais Abdillah
Sudah satu bulan Hurlang masih terbaring di rumah, ia harus terkapar di rumahkarena penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Penyakityang mendiami tubuh Hurlang sepertinya sudah kronis, sebab Dokter pun harus angkat tangan alias tidak sanggup setelah mendiagnosa penyakit yang mendiami tubuh Hurlang.Hurlang tak begitu suka tinggal di rumahdalam keadaan sakit. Sebab Hurlang punya satu kebiasaan yang harus ia lakukan tiap senja akan datang. Orang-orang menyebutnya dengan sebutan ‘Ritual si Hurlang’. Ia sangat suka memandangi senja sambil duduk di atas batu besar yang ada di depan pekarangan rumahnya. Secangkir teh hangat selalu ia jadikan sajian wajib kala ia memandangi senja. Setelah senja kekuning-kuningan itu hilang dari pandangannya, ia hanya tersenyum.
Kini penyakit yang mendiami tubuh Hurlang sekitar 11 penyakit, entah penyakit apa saja. Tak heran jika hurlang sudah tak bisa apa-apa lagi, ia hanya terbujur kaku di atas kasurkamarnya. Ruangannya begitu sepi, tak ada musik, tak ada teriakan orang-orang, apalagi lolongan anjing. Begitu sunyi. Tapi Hurlangtak merasa kesepian di kamarnya yang pengap itu,sebbab Hurlang selalu ditemani oleh kekasihnya; Ela. Ela tak pernah bosan menghibur Hurlang sepanjang hari, ia ingin Hurlang tetap semangat dan yakin bahwa ia akan sembuh.
***
Dua bulan sudah berlalu, tapi keadaan Hurlang sama sekali tak ada perubahan. sama sekali tak ada. Tapi Hurlang masih saja tak begitu peduli dengan keadaannya. Ia hanya ingin melihat senja. Tiap sore tiba ia selalu bertanya dengan Ela atau ibunya "Apasenja mencariku?". Ela atau Sarinahhanya menggeleng-gelengkan kepala ketika Hurlang bertanya mengenai senja.
Sudah dua bulan terakhir Hurlang tak melihat senja, ia tak pernah duduk di atas batu besar di pekarangan rumahnya lagi. Ia begitu rindu dengan senja. senja sudah di anggap seperti bayangan kekasih Hurlang yang tiba di waktu tertentu saja. Tapi sayang, sudah dua bulan kekasih bayangannya itu tak kunjung menemuinya. Saking rindunya, terkadang Hurlang menulis puisi yang ditujukan untuk senja. Puisi itu dikumpulkan Hurlang dan diselipkan di bawah kasur. Berharap senja tahu akan puisinya dan segera menemuinya.
Waktu kian berlalu,Tiga bulan sudah Hurlang harus terbaring di kamarnya yang masih pengap itu. Hurlang masih saja sakit. Masih seperti dulu. Juga satu hal yang tak berubah. Rindunya pada senja tak pernah hilang. Hebat betul si senja itu, ia bisa membuat Hurlang gila merindukannya.
Hurlang selalu memikirkan bagaimana cara agar senja bisa datang ke ruangannya. Walaupun ritualnya biasa ia lakukan sambil duduk di atas batu, tapi kali ini tak mengapa jika melihatnya hanya dari kasur reyot di kamarnya. Asalkan ia bisa melihat memandangi senja itu, sudah cukup. tapi Hurlang tak sengajamelihat pembantunya yang sering dipanggil “Bi Ida” membaca surat, entah surat dari siapa, Hurlang juga tak peduli ia dapat dari siapa. Tak ada urusan katanya. Tapi dari melihat surat itu, ia terpikirkan untuk membuat surat dan mengirimnya untuk senja, berharap senja tahu jika ia sangat rindu dengan senja yang sudah lama ini tak pernah datang. Saat itu, Ela yang menemani Hurlang, ia pun langsung minta pendapat Ela.
“Bagaimana jika aku coba kirim surat untuk senja?” Tanya hurlang kepada Ela.
“Mengirim surat untuk senja?”
“Iya.”
“Alamatnya?” Tanya Ela yang bingung dengan pertanyaan Hurlang.
“Ya tulis saja ‘untuk senja’. ”
“Bagaimana?” Tambah hurlang.
“Mana mungkin sayang.”Rayu Ela “Mana mungkin kita bisa mengirim surat kepada senja, jika terkirim pun apa senja bisa membaca suratmu?” Tambah Ela.
“Tapi aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar senja mau datang kesini.” Jawab Hurlang dengan mata yang mulai berlinang.
“Kirim saja surat itu, tak apa jika tak berhasil. Yang terpenting aku sudah berusaha."
“Ya sudah, jika itu keinginanmu. Mari kita tulis surat untuk senja.”
Ela segera mengambil pena dan secarik kertas. Kertasnya tak begitu besar tapi sudah agak lusuh. Tapi cukup untuk menulis surat untuk si senja. Hurlang pun menulis suratnya.
Untuk : Senja
Dari : Hurlang
Salam rinduku wahai senja,
Senja, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tak berjumpa. Kemana saja dirimu. Memang aku sudah tak pernah memandangimu sambil duduk di atas batu depan pekarangan rumah, itupun karena aku sedang sakit. Apa kau tahu aku sedang sakit?Aku Ingin sekaliduduk bersama batu dan teh hangat bersamamu. Tapi aku tak bisa.
Senja, saat ini aku sedang sakit. Entah penyakit apa saja yang ada di tubuhku, aku tak begitu peduli. Aku hanya ingin memandangimu senja. Aku rindu betul ingin memandangimu. Kapan kita bertemu lagi?Aku takut sampai ajalku tiba tapi aku belum memandangimu lagi. Malang sekali nasibku jika tak bisa memandangimu lagi. Aku mohon datanglah walau sebentar. Temui aku sejenak di sini. Demi aku.
Senja, mungkin hanya ini surat dariku. Sampai bertemu nanti. Aku merindukanmu. Salamku. Hurlang.
Selesai sudah surat itu, Hurlang meminta tolong agar Ela mengirimkan surat itu ke Kantor Pos. Ela yang tak banyak tanya segera pergi ke Kantor Pos. Namun di sepanjang jalan, Ela selalu memikirkan surat itu, bagaimana bisa surat itu bisa sampai ke senja.
Surat sudah masuk ditempatnya bersama surat-surat yang lain. Tinggal menunggu Pak Tukang Pos mengantarnya satu persatu-satu ke alamatnya masing-masing. Tapi sayang sekali, giliran surat Hurlang yang di tangan Pak Tukang Pos. Ia sangat dan sangat bingung. Kemana ia harus mengantar surat Hurlang itu. Sebab alamatnya hanya bertuliskan ‘untuk senja’. Siapa itu senja?Dan dimana rumah senja itu? Pikir Pak Tukang Pos itu. Karena Pak Tukang Pos makin bingung, ia membuang surat Hurlang begitu saja. Surat Hurlang kini hanya tergeletak diatas tanah, perlahan mulai usang, dan hampir berubah warna menjadi warna tanah.
Surat itu tersapu-sapu oleh angin kesana-kemari, Pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan mulai terinjak-injak oleh orang-orang yang tak hentinya lalu lalang. Membuat warna surat itu makin usang bahkan makin seperti sebuah sampah yang tergeletak di pinggir jalan. Sesekali hembusan angin yang kencang membuat surat itu terbang, terbang tinggi ke arah barat dan semakin jauh dan hilang begitu saja. Entah terbang kemana lagi surat itu.
***
Dua hari sudah berlalu, Hurlang masih saja menunggu senja, ia selalu menoleh ke arah pintu dan berharap senja datang. ManakalaHurlang terbangun dari tidurnya, dia selalu berkata “Senja, apa itu kau?” Selalu begitu.
Sampai akhirnya di hari ketiga, Hurlang bermimpi sedang duduk di atas batu dengan sajian secangkir teh hangat,tapi bukan di pekarangan depan rumahnya. Melainkan di sebuah ladang hijau yang luas. Tak ada gedung di sekelilingnya, bahkan tak ada rumah-rumah. Hanya hamparan ilalang yang tingginya tak lebih dari tiga puluh sentimeter. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang untuk ditanya. Ia hanya bertanya sendiri “Dimana aku?” Tapi tak ada yang menjawab, karena memang tak ada orang saat itu.
Tiba-tiba dari arah belakang, Nampak sesuatu mega merah kekuning-kuningan yang memancar ke atas, Seketika Hurlang menoleh ternyata yang datang adalah senja. Senja yang selama ini ia rindukan, senja yang selama ini nanti-nanti akhirnya datang menemuinya. Apa karna surat kemarin senja datang menemuiku. Tapi biarlah, yang terpenting senja sudah datang. Hurlang sangat menikmat suasana itu, sambil duduk memeluki kedua kakinya dan mata yang selalu memandang ke arah senja dan mulut yang tak pernah berhenti tersenyum.
Tapi sayangnya mimpi itu tak berjalan sempurna, Hurlang dibangunkan dari tidurnya sebelum senja hilang dari pandangannya. Ela membangunkannya sebab ada sepucuk surat yang baru saja diantarkan oleh Pak Tukang Pos untuk Hurlang.
“Sayang, ini ada surat untukmu.” Ela menyodorkan suratnya.
“Dari siapa?”
“Entah, tak ada nama tertera dari siapa surat itu.”
Hurlang pun segera membuka suratnya, tapi ia sontak kaget setelah membuka amplop itu, surat yang ada di dalam amplop itu dilipat menjadi tiga bagian. Namun di lipatan paling atas tertulis ‘Dari senja untuk Hurlang’. Hurlang terdiam sejenak, ia tak percaya surat yang ia kirim kemarin mendapat balasan. “Benarkah ini dari senja?” Pikir Hurlang. Hurlang pun mulai membuka lipatan-lipatan surat itu, dan Hurlang mulai membacanya….
Bandengan, 22 Oktober 2013