~ Review Forever Sunset
Oleh Dave Siahaan*
Kita tidak bisa memilih angin atau ombak seperti apa yang datang ke perahu kita. Tapi kita bisa memilih, ke pelabuhan mana kita akan berlabuh ~ Forever Sunset hal. 210
Senja memang sementara, tapi tidak untuk cinta. Keabadian cinta itulah yang coba digambarkan Stanley Meulen dalam novelnya yang manis; Forever Sunset (Moka Media, 2014) dengan coba mengulik kisah antara Dinda, seorang gadis kota, dan Zora, seorang petualang alam, yang penuh dengan liku dan kesederhanaan. Tapi, tetap saja, sebagaimana pertemuan lainnya, pasti akan ada perpisahan setelahnya.
Novel ini dimulai dengan prologDinda yang bercerita akan sosok Zora yang dikenalnya sebagai orang yang cuek, tapi entah kenapa hal itu justru membuatnya yakin, ia menyayanginya melebihi apapun, bahkan dirinya. Tapi, kisah cinta ini harus terpisahkan jarak sebab Dinda harus bersekolah di Sidney, Australia, dan Zora tetap berpetualang dan saat ini ia sedang berada di Bali. Zora pun setia menunggu hingga akhirnya Dinda pun pulang ke Indonesia.
Keduanya bertemu di Bali dan mereka menumpahkan segala rindu yang membuncah sebab terpisahkan jarak, dan waktu. Laiknya dua burung terbang yang enggan pulang, keduanya pun menjelajahi keindahan Bali dan saling bercengkerama sepanjang hari.
Dalam detik ini, satu hal yang membuat novel ini tidak kehilangan esensi timur adalah tidak adanyamaking love seperti halnya dalam novel/film kebanyakan. Untuk hal ini, satu jempol untuk Stanley yang berhasil menjaga ini. Sebab cinta, kalau sudah dibumbui hal itu, saya rasa adalah nafsu dan Forever Sunset salah satu yang menjaga kemurnian itu.
Tapi di tempat ini, sebetulnya kisah ini bermula, pada sebuah senja, mereka mengikat janji. Zora melamar Dinda untuk dijadikan istrinya dan tepat pada senja hampir tenggelam. Romantis. Tentu saja, Dinda tak bisa berkata-kata lagi selain mengangukkan kepala, dan berciuman—entah kenapa adegan ini yang paling aku suka. Lalu Dinda izin pulang untuk memberi tahu keluarganya di Jakarta perihal kebar baik ini.
Tapi kepulangan Dinda ini hanyalah awal dari bencana. Ia ternyata sudah dijodohkan dan harus menikah dengan rekanan bisnis ayahnya. Apalagi setelah ia bercerita tentang Zora, seorang yang tidak jelas muasalnya itu. Keluarga murka, dan Zora yang saat itu tidak terima. Ia pun menghubungi Dinda dan mendapatkan kekecewaan yang serupa; Dinda telah berubah dan memilih lelaki lain. Akhirnya, mereka pun berpisah dan Dinda menikah.
Setelahnya, kehidupan Zora tak lebih dari sekadar tulang yang berjalan. Ia seperti kehilangan sosok riang yang membuatnya memiliki banyak teman, dan yang lebih penting; ia kehilangan tujuan hidupnya. Hingga ia akhirnya menyadari dan memilih untuk tinggal di Bali, bersama senja yang bisa ia tatap selamanya.
Dan ia yakin, senja itu adalah Dinda, cintanya yang hilang itu. Ia bisa terus memotret senja dan di suatu hari ia bertemu dengan sosok gadis lain, dengan pakaian Bali yang eksotis, dan ia pun memotretnya dengan lanskap senja temaram yang membuatnya takjub. Gadis itu bernama Galuh.
Pada titik ini, ia teringat akan cintanya yang hilang—yang sebenarnya tak ingin kembali dikenangnya.
Waktu pun bergulir dan hampir bertahun-tahun setelahnya, ternyata Dinda menjalani rumah tangga yang amburadul. Suaminya ternyata orang yang pemarah, suka memukul dan akhirnya Dinda jatuh sakit dan membuatnya hanya mempunyai waktu yang sedikit. Dinda pun bercerai dan akhirnya orang tuanya sadar bahwa kebahagiaan, apapun bentuknya, tidak bisa dipaksakan. Ia akan datang dengan sendirinya jika ada cinta di dalamnya.
Dan kebahagiaan itu Zora. Tapi semuanya sirna, sebab ia tidak tahu lagi dimana sosok itu.
Hingga pada suatu ketika, untuk meringankan sakitnya, keluarga Dinda disarankan untuk mengajaknya bepergian. Dinda memilih Bali sebab ia ingin melihat senja, yang mengingatkannya pada Zora, lelaki yang pernah ia sakiti.
Saat Dinda jalan-jalan itu, ia bertemu dengan Zora yang sedang bersama Galuh. Sontak, hal ini membuatnya kaget dan tidak percaya.
Entah kenapa, pada saat ini, aku teringat sebuah idiom klasik bahwa cinta tidak harus memaafkan. Cinta sejati itu yang membuat Zora melupakan segala sakit hati, apalagi selepas ia tahu bahwa ia Dinda juga menderita seperti halnya dirinya. Mereka pun bersatu dan Galuh juga merelekan mereka berdua.
Tapi, lagi-lagi, senja memang sementara seperti halnya kebersamaan mereka. Keajaiban memang terjadi, Dinda secara perlahan sembuh. Tapi, Zora akhirnya meninggal beberapa tahun kemudian.
Begitulah kisah cinta Zora dan Dinda dengan senja sebagai penguat mereka, dan entah kenapa, aku jadi teringat diriku dan seorang yang entah kapan lagi akan bisa kutemui. Mungkin di sebuah senja, seperti halnya mereka berdua.
Forever Sunset telah mengingatkanku kembali bahwa, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Seperti halnya senja yang sementara dan cinta sejati akan tetap abadi. Maka, aku begitu yakin lewat novel ini, di senja ini, aku menemukan kembali kisah kita.