Berita Terbaru:
Home » » Konstruksi Pemikiran Sukarno Ketika Muda

Konstruksi Pemikiran Sukarno Ketika Muda

Written By angkringanwarta.com on Monday, April 07, 2014 | 01:27

Oleh Reza Fajri*

Judul Buku : Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933
Penulis : Peter Kasenda
Tebal : x + 158 hlm
Penerbit : Komunitas Bambu
Edisi : I, 2010

Pada suatu hari di tahun 1921, seorang pemuda sedang bersepeda tanpa tujuan di sebuah daerah pertanian di bagian selatan kota Bandung. Entah karena lelah atau bosan, pemuda itu berhenti sejenak dari “jalan-jalannya” dan memutuskan untuk berbincang dengan salah satu petani. Melalui perbincangan dengan sang petani tersebut, diketahui bahwa ia dan petani-petani lainnya mengerjakan sawah milik sendiri atau warisan dari orang tua. Hasilnya sangat pas-pasan, hanya untuk memberi makan keluarga sendiri, tak ada hasil lebih yang bisa dijual. Ketika pemuda tersebut menanyakan namanya, petani tersebut menjawab: Marhaen.

Sukarno bukanlah seperti Hatta yang di usia 16 tahun sudah menjabat sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, atau Sutan Sjahrir yang menjadi tokoh Perhimpunan Indonesia sebelum menginjak umur 20 tahun. Sewaktu mulai bersekolah di Technische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung), ia sebenarnya mungkin masih ragu mengenai pilihan karirnya. Namun setelah berbincang dengan seorang petani bernama Marhaen, Sukarno kemudian menemukan satu konsep yang bisa mengubah kehidupan rakyat kecil, yaitu dengan melawan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Konsep “Marhaenisme” memberikan sumbangan yang besar bagi konstruksi pemikiran politik Sukarno. Melalui Marhaen, ia terinspirasi untuk mengkaji dan menganalisis sifat-sifat masyarakat kecil dan pemerintah kolonial. Nama petani kecil asal Bandung Selatan tersebut ia jadikan sebagai simbol rakyat kecil (petani, buruh, nelayan) yang paling menderita karena kekejaman kaum penjajah. Istilah “Marhaen” menjadi terkenal saat digunakan oleh Sukarno dalam pledoinya Indonesia Menggugat di Pengadilan Negeri Bandung pada 1930. Lebih lanjut konsep marhaenisme kemudian disahkan dalam kongres Partindo pada 1933, sebagai dasar-dasar politik. Melalui 9 tesis konsep Marhaenisme yang Sukarno paparkan dalam kongres tersebut, ia mengharapkan adanya persatuan dari seluruh kaum tertindas di Indonesia, agar kemerdekaan dari kekuasaan Belanda bisa segera diperoleh.

Konstruksi pemikiran Sukarno di era 1926-1933 itulah yang menjadi tema dalam buku Sukarno Muda:Biografi Pemikiran 1926-1933. Buku karya Peter Kasenda tersebut sejatinya adalah skripsi sang penulis saat menempuh studi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Indonesia pada 1987. Dalam penerbitan buku ini, Peter Kasenda sengaja tidak melakukan perubahan dalam skripsinya. Sehingga pembaca akan dibuat seperti sedang membaca sebuah skripsi.

Dalam skripsi yang judul aslinya adalah “Machtsvorming dan Machtsaanwending: Studi awal terhadap tulisan-tulisan Sukarno tahun 1926-1933” tersebut, sang penulis berusaha menceritakan proses lahirnya pemikiran-pemikiran politik Sukarno di era 1926-1933, di mana saat itu masyarakat sedang diliputi semangat anti kapitalisme dan imperialisme. Pada saat itu juga Sukarno sedang giat mengirim tulisan-tulisannya kepada beberapa surat kabar seperti Indonesia Moeda, Soeloeh Indonesia Moeda, dan Fikiran Ra’jat.

Kemudian, dalam buku ini pembaca juga bisa mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang sering terjadi antara Sukarno dengan Hatta. Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang mungkin mempengaruhi hubungan keduanya di masa mendatang. Di samping itu Peter Kasenda juga memaparkan bagaimana ajaran Karl Marx bisa menginspirasi pandangan Sukarno terhadap kepentingan pergerakan Indonesia.

Selain skripsinya, penulis juga menambahkan sebuah post-script, yang berisi tentang bagaimana konsistensi pemikiran Sukarno saat ia menjadi pemimpin pergerakan, presiden, sampai ke detik-detik terakhir hidupnya. Ada beberapa istilah dalam buku ini yang mungkin baru pembaca lihat. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena terdapat anotasi di bagian akhir buku.

Sukarno ketika muda, mungkin sama dengan pemimpin-pemimpin besar dunia lainnya, menunjukan bahwa kegiatan membaca dan menulis bisa menjadi langkah paling awal dan sederhana dalam menuju kedewasaan berpolitik. Politisi atau presiden yang baik tentunya harus melalui proses yang panjang dan melelahkan agar bisa melahirkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Tidak percaya? Silahkan tanya Rhoma Irama...

Penulis adalah pemilik akun Twitter @rezafajri



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta