Berita Terbaru:
Home » » ”Celana yang Tergantung Itu…!”

”Celana yang Tergantung Itu…!”

Written By angkringanwarta.com on Monday, August 29, 2011 | 16:52

Oleh Abdullah Alawi*


”Astaga….,” pekikku dalam hati ketika melihat benda yang tergantung di cantelan daun pintu toilet ini. Aku mengusap muka beberapa kali. Aku menarik nafas panjang; antara percaya dan tidak akan pandangan mataku: Celana itu mengingatkanku pada peristiwa naas beberapa puluh tahun silam ketika aku masih muda belia.


Waktu itu aku menumpangi bus. Sesampai di terminal, aku langsung berlari seperti dikejar syetan. Tujuanku: toilet di pojok terminal. Seumur hidup baru merasakan: kebelet BAB itu menyiksa. Beruntung toilet sepi. Aku langsung masuk ruangan pertama. Membuka celana tergesa. Kemudian ambil posisi yang dahsyat.


Tapi kurang ajar, syetan alas! Entah sebab apa, sontak kebelet itu hilang. Mungkin “mereka” mengurungkan niatnya melongok dunia baru. Masih betah di perut. Sialan! Beberapa saat aku hanya melamun tak jelas juntrungnya. Pada waktu itulah sudut mataku melirik celana tergantung di cantelan. Entah kenapa, aku memperhatikan dengan seksama sambil menunggu “mereka” keluar.

Setelah dipastikan “mereka” benar-benar mengurungkan niatnya, aku pergi. Dan tetap bayar sesuai tarif. Sialan!

***

ekarang nasib membawaku masuk toilet ini. Tak habis pikir kenapa celana itu masih tergantung di tempat semula. Masih seperti dulu: letaknya, warnanya, juga barangkali, baunya. Tak ada yang berubah. Seolah perubahan tak berlaku padanya. Padahal, sekarang mukaku sudah keriput, dihiasi jenggot dan kumis memutih. Rambut beruban. Tubuh membungkuk dibungkus kulit keriput. Tapi kenapa celana itu masih di sini?

Aku perhatikan dinding kamar kecil ini. Sudah berubah total. Tak ada lagi coretan-coretan liar. Kelihatannya belum lama dicat. Entah pengecatan yang ke berapa kali. Ember dan gayung sudah berganti. Air yang dulu kelihatan keruh sekarang bersih dan bening. Juga lantainya bersih. Nyaman dan asri. Bau sengak pun tidak ada. Sekarang Bau karbol yang menguasai kamar kecil ini.

Celana ini milik siapa? Itulah pertanyaan pertama yang kuajukan. Aku mencoba menjawabnya. Mungkin milik celana penjaga toilet ini. Tapi itu terbantahkan karena penjaga toilet adalah orang yang berbeda. Entah pergantian yang keberapa. Aku mencoba kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin celana ini diwariskan dari penjaga toilet kepada generasi penerusnya hingga sekarang. Semacam harta pusaka. Tapi kenapa ditinggal di cantelan ini? Mungkin sudah aturannya bahwa pusaka itu dicantelkan di daun pintu sebagai ciri khas toilet ini untuk memebedakkannya dengan toilet manapun di muka bumi. Atau mungkin awalnya tidak sengaja, tapi kemudian menjadi terbiasa dan akhirnya ditetapkan sebagai ciri khusus toilet ini. Atau memang celana ini tercipta bersamaan dengan toilet ini sehingga celana tak bisa diambil.

Aku semakin bersemangat mengoleksi kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin celana itu milik seseorang. Karena suatu sebab, celana ini ter(di)tinggal. Lupa hingga berpuluh-puluh tahun. Sementara pihak pengelola toilet tak berani berbuat apa-apa karena dia takut pada benda yang bukan miliknya. Selain itu, dia punya keyakinan suatu saat pemiliknya akan datang dan mengambilnya; dengan cara diam-diam atau terang-terangan. Dia tak putus asa menunggu. Untuk mempercepat pertemuan antara pemilik dan celana itu, pihak pengelola pernah menyebar pamplet di sekitar terminal, membuat iklan di media cetak dan elektronik. Bahkan pernah melapor kepada yang berwajib. Tapi sayang, hasilnya nihil.

Atau celana itu milik seseorang yang kaya mendadak. Dia salin dengan celana baru dan meninggalkan celana itu begitu saja. Dan dia tak mungkin datang lagi ke toilet ini karena tak pernah mampir ke terminal. Buat apa ke terminal? Karena setiap bepergian dia memakai mobil pribadi. Atau bisa jadi celana milik orang yang sudah tidak bepergian lagi karena uzur, tua, atau sakit. Mungkin juga dia telah mati dan tak sempat berpesan pada pihak keluarga bahwa celananya ketinggalan di sebuah toilet umum di sebuah terminal. Dia mati dengan sesutu yang tak sempat diselesaikannya. Atau mungkin pemiliknya jatuh miskin sehingga dia tak mampu untuk kencing di toilet karena jangankan untuk bayar tarif kencing, yang harganya melambung, untuk makan saja muskil.

“Prak....prak...” suara pintu digedor orang dari luar.

“Buka! Buka!” pekik satu suara sambil memutar gerendel pintu.

“Dobrak saja!” seru suara lain

“Iya!”

“Ada apa, Pak?” aku membuka pintu sambil celingukan. Ternyata di muka pintu berjajar orang dengan muka penasaran.

“Kenapa Saudara berlama-lama di toilet?” tanya penjaga.

“Apa yang Saudara lakukan?” tanya yang lain.

“Maaf, pak, saya tertidur. Ini di luar keinginan saya,” jawabku sekenanya, sambil mengusap muka.

“Wah, Saudara berarti didenda! Saudara harus bayar lebih dari biasanya,” tegas penjaga.

“Lho, kenapa? Malah saya tidak jadi BAB. Saya cuma tertidur. Malam tadi begadang, nonton final piala Dunia 2010. Saya dukung Korea Utara. Eh, yang menang malah Indonesia. Saya frustrasi,” aku memelas.

“Kalau begitu, Saudara didenda dua kali lipat. Pertama, Saudara tertidur. Itu satu kesalahan. Perlu diketahui, toilet bukan tempat menginap. Saya merugi hari ini karena ulah Saudara. Indonesia jadi juara, itu kesalahan besar lain. Karena itu Saudara didenda dua kali lipat
???
*Pernah aktiv nongkrong di forum kajian Piramid,

dan sekarang aktiv nulis di http://abdullahalawi.blogspot.com




Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta