Berita Terbaru:
Home » » Kentut

Kentut

Written By angkringanwarta.com on Sunday, October 30, 2011 | 13:09

Oleh Dede Supriyatna
“Siapa yang paling nyaring, dan juga paling bau, maka dialah yang keluar sebagai pemenang”
Tiba-tiba angin menaburkan aroma dengan bau melebihi telur busuk, atau bangkai, atau tahi cicak, atau hal-hal lainya. Atas bau tersebut, spontan salah satu dari mereka berteriak “Siapa yang kentut?” sambil jemari tanganya menunjuk sesorang disebelahnya.
“iya, siapa yang kentut?” sambil menutup hidungnya dengan jemarinya. Suara teriakan lebih keras dari pada pemilik teriakan pertama. Lalu diikuti “Biasanya orang yang beteriak pertama, dialah yang kentut”, ungkap seseorang.
“Jadi, kamu nuduh saya yang kentut!” dengan wajah memerah. “bukannya saya menuduh, tapi…….” Secapat mungkin pemilik teriakan pertama memotong ucapan tersebut, “tapi apa?” si punya kentut, hanya terdiam dengan wajah menahan tawa, dan memendam kata-kata “Emang enak, syukurin, makan, itu kentut, mabok-mobok dah kalian.” Meskipun tak bisa dipungkiran ada perasaan was-was dalam benaknya. Teruma saat sesesorang mulai menggunakan salah satu jurusnya yang ia kutip dari salah satu grub band Slank tempo dahulu, “Bang-bang tut. Akar kulang-kaling. Siapa yang kentut ditembak raja maling……..”  dengan jemari menunjuk setiap orang yang ada, dan pada akhir telunjuknya terhenti pada pemilik teriak pertama.
“Benarkan, sudah jujur saja. Sudah, saya katakan…………………” “Sudah apa? Bicara yang jelas.”  Dan untuk kedua kalinya teriakanya terpotong oleh pemilik teriakan pertama. Dan si pemilik kata terpotong hanya terdiam dengan kepala tertenduk lesu, sambil mengrenyem “Ah, payah. Kenapa ucapan saya selalu terpotong? Bukanya, ini adalah Negara demokrasi, jadi setiap orang berhak untuk bersuara.” Meliat mimik wajahnya, yang membaut pemilik teriakan pertama semakin tersingung dan dengan secepat kilat menyambarnya dengan ucapan “Apa yang kamu pikirkan?” atas serangan yang datang secara tiba-tiba membuat pemilik kata yang terpotong merasa tak sipa untuk menerima tempuran yang datang secara mendadak.
Merasa tembakan mengenai sasaran, akhirnya pemilik teriakan pertama merasa menang, lalu ia pun kembali berteriak dengan teriakan lebih keras dari pada teriakan pertamanya “Atas nama ketertiban, atas nama………….., dan atas nama bla-bla…. Saya harus menemukan siapa yang kentut?”
Dan tak mau kalah dengan teriakan yang terasa benar-benar keras, akhirnya pemilik teriakan kedua menambahkan beberapa energi agar menghasilakan teriakan yang lebih keras dari pada sebelumnya dan berharap dapat mengalahkan pemilik teriakan pertama. Ia tarik napas dalam-dalam, sambil memberikan aba-aba pada dirinya sendiri dan saat tepat pada ungkapan ke tiga, ia beteriak dengan begitu keras “Gila”
“Siapa yang gila?” Tanya pemilik kentut dengan ucapan menahan kesal, atas respon yang begitu cepat. “kentutnya” dengan ucapan yang masih keras jawab. “Kentut ya kentut, bukan gila. Apakah ada landasan yang mengatakan bahwa kentut adalah gila.” Si pemilik kentut mulai menggunakan ilmu yang ia miliki dari logika, hukum, dan segala macamnya.
“pokoknya gila” jawabnya kembali sambil mengerutkan kening berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk bersiap-siap tatkala argumentnya diserang kembali. Si pemilik kentut yang merasa semakin tersinggung karena tiap-tiap kata yang telah disusun dengan disiplin ilmu yang tinggi, lalu hanya dijawab begitu saja, yakni “pokoknya gila.”
Mereka pun akhirnya berdebat panjang. dan secara tiba-tiba celetukan datang “Kenapa kamu seperti terseinggung?” cetus pemilik kata yang selalu terpotong. Lalu ia memerintahkan kembali kepada orang yang hapal ungkan ‘Bang-bang tut’. Dan atas perintah tersebut, tanpa panjang dan langsung saja “Bang-ba.,” “Stop, hentikan. Sudahlah, masalah kentut hanya persoalan kecil, kenapa kita harus memperpanjang masalah sepele”. Ungkapan tersaji begitu lembut, halus, terasa enak didengar. Dan entah apa yang membuat orang yang semenjak tadi hanya terdiam tiba-tiba bersuara.
“saya sepakat,” ungkap pemilik kentut dengan perasaan mendapatkan angin segar. Lalu pemilik kentut pun melanjutkan ungkapannya, “apa lagi bau kentut itu sudah tak tercium lagi, dan dari pada kita berdebat terhadap masalah kecil, lebih baik kita makan saja, dan saya yang traktir semuanya”.
“Sepakat”  hampir serentak. Namun, tinggal salah satu dari mereka yang menolak, yakni pemilik kata yang terpotong, ia dengan lantang “Tidak, pokoknya masalah kentut harus diselesaikan terlbih dahulu”. “Apa yang perlu dibahas kembali, sudahlah kasus ini biar ditutup saja, lebih baik kita makan sambil memikirkan hal-hal yang lebih penting.” Ungkap pemilik kata lembut.
“Ayu, lah”. Rayu pemilik kentut pada pada pemilik kata terpotong
“Saya akan makan, jika kasus ini terselesaikan”.
Merasakan rayuannya gagal, akhirnya pemilik kentut berteriak dengan harapan dapat membuat orang itu skak mati.
Pemilik kata lembut akhirnya berusaha menenangkan perdebatan tersebut “kenapa kalian masih saja berdebat? Bukannya bau kentut sudah ilang”. Dan ia melanjutkan ungkapannya “kita mau makan di mana?”
Usulan pun berdatangan dan pada akhirnya menjadi perdebatan kembali. Karena tidak menemukan kata sepakat. Pemilik kata lembut kembali berkata “Karena Demokrasi, bagaimana kalau kita menggunakan suara terbanyak”.
Dari suara terbanya didapati keputusan bahwa mereka mendatangi sebuah tempat makan terelit, dan disana juga telah terdapat minuman, juga pelayan yang cakap-cakap. Dan akhirnya mereka pergi untuk berpesta sampai mabok dan benar-benar mabok.
Sang pemilik kentut berujar lirih kepada pemilik kata lembut “Terimakasih atas pembelaan saudara”. Lalu ia membuka lembaran kertas dengan alat tulisnya, dan langsung terlihat angka-angka dan tak lupa ketinggalan ia meninggalkan tanda tangannya yang tertera dikerta itu. Pemilik kata lembut membalasnya dengan senyuman lalu diikuti ungkapan “hati-hati dengan pemilik kata terpotong”. “tenang semuanya bisa diatur”. Dan mereka berdua tertawa besar-besar. 
Beberapa hari kemudian, terlihat pemilik kata-kata terpotong duduk di sofa, dan di sampingnya juga terlihat orang dari pemilik kentut. Mereka sedang asik menikmati minuman di kafe terelit.  Pemilik kata terpotong berujar “Seharusnya saudara kentutnya lebih besar dan lebih bau”. Dan diikuti dengan tertawa keras-keras.



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta