Berita Terbaru:
Home » » Realitas Hidup

Realitas Hidup

Written By angkringanwarta.com on Sunday, October 23, 2011 | 09:21

Oleh Eef Suma

Keluarga kecil dari kampung kecil. Mungkin orang akan menyangka juga pastilah mereka sunguh sangat memprihatinkan tapi memang begitulah kenyataannya dan entah ini salah siapa sihingga keluarga itu menjadi kecil. Bahkan mempunyai kemungkinan kecil untuk menjadi besar, yang terjadi seperti dalam negeri dongeng.

Seperti halnya keluarga kecil dari kampung kecil disedut kota itu. Mereka lebih memilih budaya moyang daripada budaya baru yang datang. Mereka lebih baik diam daripada sibuk mencari barang baru dipelataran kota tapi bukan karena uang  hanya hukum keluarga yang ia junjung. Itu sebagian dari kumpulan alasan yang  ada, sehingga ia menjadi kecil.

Aneh memang, orang kebanyakan membicarakan hukum Negara, hukum adat, hukum sosial, tapi kini hukum keluarga, yang ketika A yang menjadi nadanya, yang menjadi gaung A pula. Lain hal dengan hukum Negara, ketika A yang menjadi nadanya tapi yang menyanyikan pula yang merusaknya. Begitu juga dengan hukum adat dan social semua nada dan irama pastilah berubah karena waktunya.

Mungkin kita sudahi dulu membicarakan hukum dan kembali pada keluarga kecil itu. Yang kesehariaannya sulit untuk menemukan keceriaan dalam pangan.
“Ibu sudah masak belum hari ini?”
“Atau nasinya udah masak belum, ibu?”

Mungkin itulah yang sering kita dengar dalam rumah tanggga, bahkan kita akan sering mendengar kalimat itu ketika menjelang siang dari keluargga kecil. Lain hal dengan keluarga besar yang menjadikan jarinya hukum untuk orang lain. Yang menanyakan senang ketika mendapatkan jawaban,

“ibu masak ayam goreng dan nasinya sudah masak, itu dimeja makan”, atau
“ibu sudah beli sate ayam dan kambing”. Yah, mungkin berbahagialah rang yang sering mendapatkan jawaban seperti itu. Tapi tidak sedikit pula ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu dan bingung mencari jawaban seriap kalinya. Ketika ia mau menjawab,
“ibu belum beli beras Nak”, yang seperti itu ia sering lontarkan. 
Atau “Ibu belum mulai masak Nak, masih banyak cucian yang ibu harus cuci”, bahkan itu kalimat yang sering ia lontarkan setiap paginya.

Sampai penulis sendiri bingung dibuatnya, ini salah siapa? Apakah kesalahan rumah tangga itu karena tidak mengenyam pendidikan yang tinggi dan menjadi sulit untuk mengasapi dapur atau takdir seperti itu yang harus mereka hadapi dan menjadi garis nasib? Atau kesalahan pemerintah yang tidak sampai tangan pada keluarga kecil itu? Semua kebingungan berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik  jawaban sebagai ganti kebingungan.

TV hitam putih dipojok rumah itu masih bisa dinikmati bagi keluarga kecil. Namun seketika itu juga paras mukanya menandakan kebingungan yang amat sangat. Entah tayangan apa yang telah dilihat sehingga tidak ada mood lagi untuk menikmati TV yang kebanyakan gambar semutnya itu. Reaksi kebingungan secara reflek ia lakukan.. menepuk jidat, menarik-narik rambutnya yang sebelumnya sudah tidak teratur, sumpah serapah  namun entah pada siapa?, kalimat yang entah betul apa tidak bacaannyan namun beruntung tidak memecahkan TV butut yang menjadi satu-satunya hiburan bagi keluarga kecil itu.

“Bapak kenapa? Inget pengeran pak”. Kalimat istri yang sering ia dengar pertama kali, entah dorongan semangat atau sekedar mengingatkan kelalaian bagi seorang bapak. Namun begitulah adanya. Ketika tangan hukum sudah dilambaikan, yang tidak menyambut akan tergampar.

Permainan para elit pemerintah sedang berlomba dan entah siapa yang akan menjadi pemenang kala itu. namun, Ah semuanya, semuanya tidak tahu kalau permainan mereka akan menjadi karat kebencian bagi keluarga kecil itu.

“Apakah ibu tadi tidak mendengar  bahwa semua kebutuhan kita akan naik? Dan itu tandanya wong cilik akan menjadi imbas semua itu. Ah bener-bener edan, mereka tidaka tahu kalau diharga biasanya saja kita sulit memenuhi kebutuhan rumah tangga, apa lagi sekarang?” 

Setiap nafas pemerintah adalah hukum. Dan itu memang benar adanya di negeri ini. Negeri yang masih bergelimang harta, warna, ras, suku, budaya. Yah, semuanya itu ada di negeri ini. Termasuk kebencian, iri dengki dan saling memaki bahkan saling membunuh antara generasi. Mereka ingin mentontonkan dan mengatakan akulah yang terbaik diantra yang baik, termasuk juga diantara kalian.

Setelah kayu tidak lagi efektif untuk menemani dapur, namun kini setelah adanya pemilihan antara Gas dan minyak tanah, Gas juga tidak lagi menjadi pilihan tepat bagi rumah kecil itu. ah, memang penuh warna pilihan di Negri ini.

Ledakan terdengar lagi di perkampungan kecil sebelah yang diakibatkan oleh ledekan gas, rumah-rumah direntetan itu kembali juga ikut terbakar. Namun sungguh ironis karena yang disalahkan lagi-lagi wong cilik yang tidak tahu apa-apa dan mereka selalu memakai topeng terhadap penyalah gunaan gas yang tidak benar. Tapi memang benar kalo penggunaan gas adalah sarana yang paling efektif untuk memberantas kemiskinan karena gas yang selalu milik wong cilik yang terus menerus meledak dan tidak pernah telinga ini mendengar bahwa gas yang meledak itu adalah rumah pemilik perusahaan yang tercecer di Negara ini. Ah ini memang scenario yang sangat cantik, sehingga aku sendiri sulit untuk sekedatr menebak ini adalah karya siapa?

Belajar pada kegagalan sangat sulit untuk mengakuinya karena memang kegagalan adalah hal sangat kita tidak harapkan. Namun apa yang terjadi pada negeri ini sangatlah ironis karena terlalu menikmati semua itu. bahkan terkadang kita selalu menjadi lahan empuk bagi mereka untuk sekedar mencoba, walau memang itu akan sia-sia, aku jadi berhasrat untuk mengutuknya, tapi beruntung hal seperti itu aku selalu terbuang jauh sebelum aku mencoba membuat ritual untuk mengetuknya. Karena harapann yang aku tahu bukan hanya pada hari ini. Sahabat yang terus berlari itu berhenti di perempatan jalan, bingung arah mana yang ia harus lalui. Pada batas mata memandang tidak sanggup menemukan apa yang ia cari, karena saat itu kebahagiaan dan benci terus berlomba untuk mendekapnya.

Berdiri pada titik panas tepat diatas kepala ia menunjuk lurus pada gedung-gedung tinggi, setidaknya ia berharap pada itu, mereka yang ada di gedung bisa membantu menunjukkan jalan kemana ia harus melangkah, namun pada ahirnya sama. Semua itu akan sia-sia untuk ditunggu dan kita akan melangkah sendiri-sendiri, menaggung nasib sendiri-sendiri.




Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta