Berita Terbaru:
Home » , » Kumpulan Puisi Evi Idawati

Kumpulan Puisi Evi Idawati

Written By angkringanwarta.com on Thursday, January 02, 2014 | 17:53

 

KAPAK RINDU

(1)
Mengantar sebuah rindu pada pagi yang begitu bening, seakan para pemukul batu, yang menghantam bongkahan-bongkahan besar dengan kapak tajam dan menjadikannya serpihan.
Memuai debu.

Sungguh, udara telah menyatukannya menjadi tidak terlihat, menjadi tiada.Tapi benarkah? Jika yang tidak terlihat menempel di tubuhku dan menelusup kepori-pori, menyatu dalam aliran darah, maka kemana kaki, dimana tangan, tak akan lepas dari mata. Apa yang tidak terlihat menjadi begitu nyata.

Jika yang menjadi tiada menjelma hembusan. Setiap kali menghirup nafas, paru-paru mengembang dan meniupkan tembang, maujudkan hidup tetumbuhan, maka rintihan pun layu. Engkau pun tahu, dari yang tiada memberi ada.
Kekasih,

Meski memuai debu, bongkahan batu.Menjadi tidak nyata seakan tiada.Rinduku padamu melekatdiri.Abadi.
(2)
Sunyi larut dan mengendap. Melapis marjan dan mutiara. Memang telah kutanami kesungguhan untuk mencintai di dalamnya, di dasarnya. Bahkan saat langit membelah dan mengantar awan di jendela rumah. Engkau pasti tak percaya. Hati yang larutmencinta, tak berhenti. Seperti aku mencintai waktu dan membalikkannya sejenak untuk mengenang pertemuan yang memaku erat tubuh kita.

Dalam gerak malam sedan rindu yang selalu datang seakan hujan. la bukan pengkhianat yang menaburkan benda tajam dan melemparkannya hingga membuatku luka. Ia adalah doa yang memagar rintihan dan mengantar wangi kembang di kedalaman.

Aku berumah di mata langit, di hati lautan, tempat segala kebaikan.Maka aku menapakkan kaki dan mendaki.

Malam menjadi marjan, menyisakan rindu dan akumembangun doa, memahatnya di palung semesta. Dalam diam. Dalam diam. Aku mengantarkannya di jantung dunia.

(3)
Jika saja bisa kuceritakan, rindu yang mencakar dan menghujam malam, seperti pedang langit yang menghunus awan dan menebarkannya menjadi hujan.Engkau pasti tahu, aku sudah menebar melati di ranjang kekasihku,  dan menjelmakan kamar menjadi surga kita. Bukankah sudah kupatahkan tiang penyangga malam dan menggantinya dengan kecupan lembut di bibirmu,  dan kita abadi dalam waktu. Siang dan malam telah lepas dari peraduan, seperti saat aku menyentuh hatimu,  membelai jantungmu,  dengan deguban  yang  sama, kita pun melaju, menambatkan perahu di dermaga semesta.

Jika saja bisa kuceritakan, waktu membatu dan puisiku tentang rindu tergolek dalam diam. Dalam kesunyian.

(4)
Memeluk langit, mendekap senja dalam seduh dangerak kopi yang berputar dalam cangkirku. Sebuah dunia yang merindukan kata-kata. Apakah engkau merasakan kehadiranku dalam desirangin yang menyentuh lembut tubuhmu?

Gelegar jumat, menjadikannya agung di mataku.Aku mendapatkan kesunyian dari gerigi tajam waktu, dari kata-kata yang mencengkeram dan menyetubuhi malam yang engkau tuliskan. Sungguh, ruang yang berputar memahat dan mempertemukan kembali kekagumanku. Aku memang sunyi. Aku memang sunyi. Dentangkanlah tapak riuhmu untuk hatiku, agar  senantiasa bisa kugali. Kugali dan kugalilagi, sumur kearifan.

(5)
Berjaraknya tubuh bukanlah perpisahan jiwa. Aku menali jiwamu dengan kuat seperti ikatan dirimu pada darahmu.Tanpa kamu jiwaku lunglai. Tanpa aku jiwamu mati. Maka tak ada yang salah dalam jarak rentang badan karena tubuhmu bukan milikku lagi. Aku melepaskannya seperti aku melepaskan burung pada pagi hari untuk terbang dan kembali ke sarang pada senja hari. Karena tubuhmu bukan milikku lagi. Aku meleburkan sukma kita, dalam sinar yang singgah dan mendekam di hatiku, di diriku.Cakra yang senantiasa berputar dan menjadi cahaya untukku, dalam detakan yang sama, malaikat berkata, tak ada yang abadi pada dirimu, kecuali aku.
 Jogja 2011


MENGINGATMU

Mengingatmu, aku seperti mendengar suara pilu yang lirih dan jauh. Seakan rintihan yang menyayat udara hingga angin membawaku pada gesekan biola di sebuah luka. Nyaris tanpa desir, darah mengalir begitu lambat dan debar di dada adalah gumaman cinta yang patah dan rebah.

Aku memang mengingatmu, di dalam kesakitan yang merubuhkan rindu. Sambil kudekap mimpiku, aku memandangmu pergi dan hilang dari malam. Engkau menjelma lagu yang sayup dan perlahan tak terdengar. Sementara sambil menunggumu, aku memandikan sukma dengan menderas doa. Menderas doa. Tapi kapan engkau tiba, jika ini adalah awal kepergian, sesungguhnya bagiku tak ada akhir kepulangan.

Maka lagu itu menderu dan menyerbuku. Ia merancak dan mendecak. Memakan dan melahapku. Cinta membuatku rapuh dan mengigil. Aku memanggil-manggil saat Rumi berkelebat, ia menyeretku berputar. Aku berputar. Aku berputar dan terbang.

Di mana luka harus di bawa dan dikuburkan? Di mana rindu yang jatuh dan berserakan akan ditebarkan? Bukan di tubuhmu, bukan di hatimu tetapi di dalam jiwakulah lautan yang membasuh agar rindu ditenggelamkan.

“Ruh yang berdiam di dalam kesunyian, marilah menarikan luka bersamaku. Bukankah kepedihan adalah teman sejati puisi. Maka bergembiralah saat lagu  itu diperdengarkan. Menari. Menarilah bersamaku. Kita berputar. Kita berputar!”
Mengingatmu seperti menghidangkan rindu yang tak terjamah dan  pecah.

Jogja 2012


ENGKAU, KEMATIAN PUISI DAN DADA YANG DIPENUHI AIRMATA

Sebagaimana engkau menuliskan dalam kematian puisi, saat pekat dan  gelap menaungi, kau mempersembahan cinta untuk seseorang yang kau inginkan tertidur di hatimu selamanya, engkau pasti tahu,  ia telah binasa. Bukan aku yang membunuhnya tetapi tangis dan hujaman nyeri dari sebuah perjalanan membangun kubahlah yang membakarnya hingga tak bersisa. Begitupun dirimu, tanpaku, hanya menunggu waktu, hanya menunggu debu.

Kepurnaanmu bukanlah karena doa-doaku yang terhujam dan menancap dalam belikat waktu. Takdir yang menyetubuhi masa hanya membawa sebuah kembaran dalam peristiwa. Engkau, kematian puisimu, dan dada yang dipenuhi airmata.

Bukankah, bumi, matahari dan lautan tertikam? Seperti engkau membunuh langit yang tinggal di rahimku dan mencambuknya berkali-kali hingga ia gugur di pangkuanku bersama tangis dan doaku? Berapa gelas engkau mengguyurku dengan hitungan yang sama engkau akan meneguk darahmu sendiri yang kau congkel dari kucuran matamu. Maka, Jika engkau ingin mati, biarkan aku melihatmu sambil sesekali kuseka dada yang dipenuhi airmata. Bukankah sudah tersedia darah dalam tubuhmu, yang akan menyertai kematian dan kebinasaanya?

Itulah mengapa meski tubuhku dipenuhi luka, di depan pintu, aku akan berdiri menyaksikanmu, akan kutaburi tubuhmu dengan tasbih dan doa karena bagiku, luka sama artinya dengan cinta.

Engkau bergembira di dalam waktu dengan melecut tubuhku. Aku terlukai dan memilih berdiam di dalam kubah, memahatkan luka, memahatkan keabadian, di dalam langit, di dalam tawajuh yang teguh dan kukuh pada subuh.



Jogja 2012


Penulis dapat ditemui di akun Twitter @eviidawati

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta