Berita Terbaru:
Home » » Seperti Sunyi, Kenangan itu Dingin Adanya

Seperti Sunyi, Kenangan itu Dingin Adanya

Written By angkringanwarta.com on Monday, March 05, 2012 | 11:40

Oleh A. Zakky Zulhazmi*

Bus kota ini sepi dan dingin. Ada aroma kenangan di dalamnya.

Perjalananku dengan bus ini adalah perjalanan yang entah. Aku orang pertama dari terminal pertama. Duduk di kursi paling pojok, paling belakang. Menatap luar jendela. Bus ini berangkat dari ujung kota menuju ujung kota yang lain. Sopir bus terpaku pada jalanan di depannya. Di bibir pintu, kondektur melambai-lambaikan tangan, seolah memanggil siapa saja yang dijumpainya. Dan aku mulai menggumamkan lagu yang tak terlalu kuhafal liriknya. Titik-titik air melekat di jendela. Gerimis mulai luruh.

Bus kota ini terus melaju. Membelah kota yang tampak tua.

Aku mendengar suara. Seperti bisikan. Dari jauh. Serupa panggilan. Tapi lirih. Kutengok belakang. Kosong. Sampingku juga hampa belaka. Kuulang lagi lagu yang tak terlalu kuhafal liriknya. Lagu Coldplay. Paradise judulnya. Cuma kuingat bait awal lagu itu: when she was just a girl/ she expected the world/ but it flew away from her reach/ so she ran away in her sleep. Selebihnya, ingatanku samar-samar akan lagu itu. Terus saja aku menggumamkannya, meski tak jelas.

Bus kota ini seperti lemari es. Menggigil aku di dalamnya.

Kurapatkan jaket yang tak seberapa tebal ini ke tubuhku. Tengkuk kugosok dengan telapak tangan supaya agak hangat. Kembali kudengar suara panggilan. Aku mencoba tak menghiraukannya. Namun gagal. Buktinya aku masih merisaukan suara itu. Ingin kukenakan headset dan mendengarkan lagu. Ah, sial, lagu-lagu dalam playlist belum kuganti. Masih lagu-lagu lama yang hanya akan mengingatkanku padanya. Benar-benar brengsek.

Bus kota ini melambatkan laju. Merapat ke halte.

Tiga orang naik. Tak lagi aku sendiri. Udara makin dingin. Volume AC seperti dinaikkan. Anehnya, makin banyak yang naik, dingin makin menjadi. Bus hampir penuh. Kudengar gemetar di bibirku. Telapak kaki saling kuadu dan kugesekkan. Seorang pengamen masuk. Menyanyi lagu lawas. Panggilan tak berwujud-berupa kian dekat terasa di telinga. Berdengung layaknya sekawanan lebah. Oh, siapapun, maafkanlah aku! Benar jika aku pernah melakukan dosa padanya, tapi jangan hukum aku seperti ini.

Bus kota ini mendadak melesat amat kencang. Menuju pusaran cahaya.

Kontan aku terperangah. Sekitar jadi putih. Putih pekat yang melingkupi sekujur bus. Masih terasa ganjil, bus ini melayang di udara. Sopir, kondektur, dan penumpang lain membeku-membisu. Tak ubahnya patung. Ini seperti mimpi. Sebuah mimpi di awal pagi. Makin terasa dingin menyergap. Kini sampai terasa ngilu tulangku. Agak lebih baik karena panggilan itu tidak datang lagi. Panggilan gaib yang merisaukan. Kupejam mata sesaat. Secepat aku membuka mata, pemandangan di depanku telah berubah.

Bus berhenti di tepi telaga. Angin basah menerpa.

Dengan langkah ragu, aku keluar dari bus. Kecuali aku, yang lain masih membeku-membisu. Terperanjatlah aku saat melihatmu duduk di bangku taman tepi telaga. Aku menyapamu tapi kau diam saja. Hanya tersenyum. Ada yang membekap mulutku, tak terlihat. Membuatku kehilangan cara untuk berbicara. Dan memang aku telah kehilangan bahan pembicaraan. Kulihat kau menangis, kemudian berlari menuju telaga. Selanjutnya, telaga yang kelam menelanmu begitu saja.

Bus menderum. Perlahan mulai melaju.

Dalam kebingungan yang nyata, aku harus menetukan pilihan. Tidak mungkin aku mengejarmu, menyelam ke dalam telaga. Tak bisa kubeda mana nyata mana fana. Aku memilih masuk ke dalam bus. Untuk kesekian kalinya aku terkejut. Tak kudapati sesiapa dalam bus ini. Kecuali sopir. Oh, sepi datang lagi. Aku duduk di kursi paling pojok, paling belakang. Menggumamkan lagu yang tak terlalu kuhafal liriknya. Dingin tak lagi dapat ditunda. Panggilan itu tak lagi tertangkap telinga. Hanya sunyi menubuh-mengada.

Bus menyusuri setapak tepi sungai. Hujan berangin menggugurkan daun-daun.

Dari jendela bus yang beruap, aku melihat seseorang mengayuh sampan. Lantaran jaraknya terlalu jauh, aku tak bisa melihat dengan pasti. Sebentar kemudian, sampan menuju ke tepian. Wahai, ternyata kau yang mengayuh sampan itu! Seolah tahu aku sedang memandangimu, kau melambaikan tangan kepadaku. Kubalas lambaian tanganmu. Dan air mata tak terbendung. Selamat jalan, selamat tinggal, kataku dalam hati. Tiba-tiba saja angin kencang menyapu semuanya. Kau dan sampanmu hilang bersama sapuan angin.

Bus akhirnya berhenti di terminal terakhir. Terminal tak berpenghuni.

Sopir turun. Berlalu entah kemana. Mesin dimatikan dan tentu AC pun mati. Aku menatap kehampaan. Dingin kali ini datang lebih lugas. Bukan dari luar, tapi dari dalam diriku sendiri, dari dalam hati. Tersebab tak kuat menahan dingin, aku terjerembab dari kursi. Di lantai bus aku bergulingan sambil mendekap diriku sendiri. Jika ada cermin bisa kupastikan wajah, lidah dan mataku pucat. Pucat yang putih. Gigiku tak mau berhenti bersuara menahan gigil. Hampir beku tubuhku. Kulihat sekitar. Sepi, sepi sempurna. Kutahu, seperti sunyi, kenangan itu dingin adanya.

Ponorogo, Januari 2012

*Penulis adalah mahasiswa KPI UIN Jakarta. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Forum Studi Media Karpet Merah.

Share this post :

+ komentar + 3 komentar

March 5, 2012 at 1:45 PM

menarik sekali cerpen mas makky ini like this...http://ranita.or.id/

Anonymous
March 5, 2012 at 7:18 PM

kok mas makky sih? ini yg nulis zakky,bukan makky hehe

March 5, 2012 at 7:44 PM

sepertinya yang menulis komentar kurang memperhatikan nama di atas atau salah ketik, atau-atau yang lainya? hehehehehe

Post a Comment

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta