Berita Terbaru:
Home » » Budaya Gotong Royong Sebagai Landasan Membangun Koperasi Indonesia

Budaya Gotong Royong Sebagai Landasan Membangun Koperasi Indonesia

Written By IBNU CHALDUN on Wednesday, July 04, 2012 | 00:53

Oleh Sujatmiko*

Syarat keberhasilan pembangunan bangsa adalah tercapainya pemerataan kemakmuran bagi semua masyarakat. Namun sampai saat ini, kemerdekaan Indonesia yang telah berusia 67 tahun setengah abad lebih, belum sepenuhnya menyentuh kepentingan masyarakat pada umumnya, tetapi hanya beberapa gelintir sebagian masyarakat saja yang memiliki kesempatan dan koneksi.

Kondisi tersebut masih jauh dari harapan ideologi Pancasila pada sila ke V dan UUD 1945 Pasal 33, "Bahwa hasil bumi yang terkandung di dalamnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat". Mengapa hal bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
  1. Pasca Orde Lama tahun 1965-1998, pola pengelolaan negara berorientasi kepada semi kapitalis.
  2. Pasca Orde Baru tahun 1998 sampai sekarang, pengelolaan negara menuju era neoliberalisme.
Kedua sistem inilah yang menghilangkan kesempatan masyarakat memperoleh kesejahteraan sebagai bangsa yang makmur.

Norma yang berlaku sejak nenek moyang bangsa Indonesia adalah kebersamaan (gotong royong), hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di wilayah pedesaan. Meskipun saat ini mulai terkikis oleh kemajuan teknologi, pola kehidupan masyarakat saat ini telah mengutamakan individualisme dan selalu pamrih terhadap yang lain.

Terkait dengan pembangunan ekonomi bangsa atau Soko Gurunya ekonomi Indonesia adalah KOPERASI, yang memiliki nilai dan norma kehidupan bangsa Indonesia, salah satu contoh kehidupan gotong royong, seperti adanya Lumbung Desa, tempat mengumpulkan hasil pertanian masyarakat. Fungsinya adalah dari hasil kumpulan tadi akan diambil saat situasi paceklik, dibagi rata sesuai panenan yang dikumpulkan. Ada model budaya bangsa ini yang bisa dicontoh sebagai landasan membangun koperasi, yaitu Jimpitan, memungut beras sebanyak cangkir dikumpulkan sedikit demi sedikit dari warga untuk digunakan apabila ada warga yang membutuhkan.

Dari budaya bangsa Indonesia tersebut, Boedi Oetomo yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantoro mencetuskan ide koperasi sebagai bentuk perlawanan kepada penjajah Belanda. Kelompok Tiga Serangkai ini beranggapan bahwa pergerakan bisa melawan penjajah kalau masyarakat diberikan bekal kekuatan ekonomi yang kuat, maka dibentuklah Koperasi yang dideklarasikan di Purwokerto Jawa Tengah saat itu.

Yang menjadi persoalan kondisi saat ini, apakah budaya Indonesia yang bergotong royong tersebut bisa dikembalikan lagi untuk membangun Koperasi? Karena saat ini pergerakan koperasi Indonesia cenderung mengarah kepada kapitalisme, yaitu berpersepsi bahwa modal uang adalah satu-satunya faktor yang bisa membangun koperasi, memang hal tersebut dipungkiri, tetapi filosofi sebenarnya, koperasi yang memiliki watak sosial hampir terkikis.

Bagaimana cara mengembalikan jatidiri koperasi tersebut? Yaitu mengembalikan koperasi kepada fungsi semula, seperti mengutamakan modal sendiri dari iuran pokok sebagai kekuatan modal yang sesuai dengan UU Koperasi Nomor 79 Tahun 1958, yang berbunyi pada "II. PASAL DEMI PASAL BAB I KETENTUAN-KETENTUAN UMUM DAN AZAS KOPERASI Pasal 2." Dalam pasal ini ditegaskan definisi koperasi atau sifat-sifat koperasi yang berpokok pada:
  1. Koperasi adalah perkumpulan orang-orang dan bukan perkumpulan modal.
  2. Anggota-anggota perkumpulan adalah sama; satu anggota satu suara.
  3. Masuk perkumpulan adalah sukarela.
  4. Perkumpulan itu mempunyai tujuan dimana anggota-anggotanya mempunyai kepentingan bersama dan pelaksanaannya memerlukan bantuan dari masing-masing anggota.
Memfokuskan pada poin 1, definisi koperasi tersebut di atas adalah bahwa koperasi harus mengembalikan jatidiri sesuai UU Koperasi Nomor 78 Tahun 1958.

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa budaya kegotongroyongan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia perlu dihidupkan kembali sebagai landasan dasar membangun koperasi di masa mendatang. Cara mengembalikannya adalah mengejawantahkan definisi dan sifat-sifat koperasi pada UU Koperasi Nomor 78 Tahun 1958 tersebut. Yang menjadi pertanyaan, apakah UU Koperasi Indonesia saat ini tidak bisa menjawab kebutuhan dari sifat koperasi tersebut? Maka daripada itu perlu direview kembali dan memberikan pemahaman sifat-sifat koperasi tersebut kepada generasi muda sebagai penerus pembangunan Indonesia.

*Pengurus KOPINDO periode 1999-2004.


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta