Berita Terbaru:
Home » , » Partai “ Catch All” dan Identitas Mahasiswa

Partai “ Catch All” dan Identitas Mahasiswa

Written By angkringanwarta on Friday, July 13, 2012 | 13:42

Oleh : Yudi Adiyatna



Merujuk literasi politik manapun sekiranya kita sepakat bahwa partai adalah salah satu infrastruktur utama yang mutlak diperlukan dalam Negara demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai adalah sarana suksesi kepentingan politik secara sah dan damai. 

Namun, Karena politik saat ini telah keruh—dimana aktor  politik yang duduk di jabatan publik dengan seenaknya—dan  tanpa ada dasar kemanusiaan membuat kebijakan yang tidak relevan, kini semua partai politik yang ada di Indonesia layak dikategorikan partai ‘catch all’ .

Istilah Partai catch all atau disebut juga umbrella party pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimes untuk memberikan tipologi pada kecendrungan perubahan karakteristik partai-partai di Eropa barat pada masa pasca perang dunia kedua. Catch all diartikan sebagai partai politik yang menampung kelompok social sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya dengan tujuan memenangkan pemilu.

Pasca orde baru partai politik di Indonesia mendeklarasikan diri menjadi partai terbuka dengan karakteristik catch all tersebut. Semua partai berupaya memperbanyak anggotanya dengan berbagai macam cara. Lepas dari sekat-sekat ideologis yang mereka usung. Lihat saja bagaimana PKS yang dahulu terkesan partai islam ekslusif  kini ikut-ikutan menggelar tahlilan, dan peringatan Maulid Nabi ala kaum Nahdiyin. Atau ada juga bagaimana PDS yang notabene partai Kristen berusaha menjaring pemilih mahasiswa dengan menggelar acara kepartaian di dalam kampus UIN Jakarta, dan masih banyak contoh yang lainnya.  

Partai sudah tidak malu lagi bergerak melewati basis isu dan ideologi demi suara. Sungguh  kontras memang, membandingkannya dengan kondisi partai era awal kemerdekaan. Dimana partai bergerak benar-benar berdasarkan garis ideologi dan platform partai masing-masing.

Kita dapat ambil contoh misalnya bagaimana PNI yang dimotori oleh Soekarno focus pada isu nasionalisme. Partai Masyumi kokoh dengan ideologi keislamannya, dan PKI yang konsisten bergerak dengan paham komunisnya. Semua memakai jualan basis isu/ideologi dalam menarik massa. Sehingga bergerak tidak serampangan. Mungkin yang menjadi perbedaan sekarang tak lebih dari sekadar logo dan warna an sich

Lalu jika demikian, dimanakah posisi sentral peran dari mahasiswa? apakah ikut aktif berpartai ria atau bertindak apatis dengan mengharamkan diri masuk dalam kepartaian?
Mahasiswa selalu memainkan peran atau menjadi pemain sentral di negara manapun, yaitu sebagai the universal opposition anti terhadap pemerintahan rezim apapun yang berkuasa di negara tersebut. Mewaspadai ancaman yang akan ditimbulkan oleh masyarakat intelektual kota ini, para pemimpin negara kerap kali akan melakukan gerakan–gerakan restruktuisasi politikn hingga jauh menjangkau ke dalam kampus.

Kehidupan kampus memang tak bisa lepas dari namanya organisasi mahasiswa. Sebagai upaya peningkatan kapasitas social dan intelektual mahasiswa wajib berorganisasi, mulai dari organisasi yang kekirian atau sampai kiri habis sampai organisasi ‘kekanan-kananan’ sampai pada ekstrimis.

Akan tetapi, di saat kita berhadapan dan ikut di dalam suatu organisasi tersebut kita sering bertanya-tanya, organisasi yang kita ikuti itu apakah semacam organisasi massa atau organisasi pergerakan?

Karena memang seiring pergantian waktu, watak dan karakter, mahasiswa tergerus oleh kebudayaan oprtunis. Di mana mereka hanya ikut sebuah arus besar dan hanya ketergantungan sikap dan sifat kepada senior mereka atau abang-abang mereka. Sehingga mereka mudah dikendalikan dan mudah juga terbawa arus. Sehingga mahasiswa itu sendiri mudah teragitasi. Mereka menelan proses atau ide-ide itu mentah-mentah, dan mereka beranggapan bahwa omongan senior mereka paling benar. 

Padahal di dalam proses itu sebenarnya ada proses lainnya. Mahasiswa terjebak dalam lingkaran setan manisnya pragmatisme. Mereka dijanjikan uang,jabatan, bahkan jaminan pendidikan tinggi, siapa yang tidak tergoda dengan itu semua.

Kalau kita mambandingkan dengan era sebelum kemerdekaan, orang-orang seperti Soekarno dan Moh.Hatta mereka sama-sama aktif mengasah kemampuan intelektual dan kapasitas social mereka dengan bergabung dalam organisasi-organisasi kepemudaan. Dimana mahasiswa berorganisasi membawa posisi mereka tanpa ikatan sosial politik tertentu, serta tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan.

Sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Belanda. Mengapa demikian?

Mereka terdidik dalam situasi kenyataan pahit dan keras, mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Mereka berpolitik kemudian benar-benar dengan tujuan kesejahtraan masyarakat dan bukan untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin masa depan memang mau tak-mau bersentuhan dengan politik. toh nanti pula generasi kita lah yang akan menjadi lakon politik berikutnya. Bangunlah terlebih dahulu kemampuan intelektual dan modal social yang kuat sebelum kita berpolitik, muliakanlah diri kita dengan berbagai macam ilmu dan perjuangan.

Sehingga apa yang dikhawatirkan kita akan menjadi alat politik semata akan hilang dengan kemampuan daya nalar kritis kita menilai.Dengan demikian, ideologi dan idealisme yang diusung oleh organisasi mahasiswa tetap bisa berkumandang membela kepentingan rakyat tanpa harus terbelenggu kuasa secara praktis.

Biarkanlah proses ini berjalan fair. Toh, kalau kita masih menganut dan percaya bahwa perjuangan hidup ini adalah kerja mewujudkan Good Life or Good for (all of ) mankind, sudah sebaiknya kita merelakan setiap orang memiliki posisi sama, hak dan kewajiban yang sama.

Kita sama-sama memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat, mengemukakan pemahaman, bahkan berargumen dengan adil. Kita sama punya hak untuk mendapat nuansa dan situasi yang terbuka dan jujur dalam setiap pergulatan pemikiran dan dialog. Pun Kita sama-sama memiliki kewajiban untuk menjaga objektifitas.  Percayalah!

Penulis adalah  Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Aktivis PMII Komisariat Ekonomi dan Bisnis (FEB). Berkediaman di @adiyatna09

Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta