Berita Terbaru:
Home » , » Falsafah yang Hilang

Falsafah yang Hilang

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, April 16, 2014 | 18:01

kerisOleh Eko Marwanto*

Aku duduk dihadapanya , sambil memperhatikan ia menggulung kertas papir yang berisikan tembakau kemudian disulut ujungnya dan “buuh..” Asap keluar dari mulutnya dengan bau Kemenyan yang cukup  menyengat.

Waktu itu masih belum jelas berapa umurku, namun yang teringat aku masih duduk di bangku SD dan kakekku sudah hampir 80 tahun. Sambil menikmati rokok lintingan, dia bercerita  tentang penciptaan dunia ini, tentang takdir yang dapat di hitung dari sela jari, tak lama kemudian dia menunjukan benda-benda pusakanya yang mungkin berjumlah puluhan. Dari sekian banyak benda pusaka hanya ada adalah sebilah keris dan sebuah tombak yang masih terekam dalam ingatanku.

Kakeku menceritakan tentang keris kesayangannya yang bernama Saka bumi. Keris itu didapat dari gurunya yang bernama Eyang Rama Dikrama, seorang tokoh ahli kanoragan di tanah Cilacap, bahkan beliau telah mengalah kan semua perguruan di tanah Cilacap ini dan mempersatukannya dengan mendirikan perguruan bernama Cempaka Warna.

Dari cerita yang didapat, Eyang Rama Dikrama kebal dari berbagai macam senjata, namun sayang beliau meninggal oleh kerisnya sendiri yaitu Keris Saka Bumi, seperti kisah empu Gandring yang mati karena kerisnya sendiri, “ Sebenarnya Kekuatan dan kelemahan itu ada pada dirimu sendiri maka dari itu kalau kau ingin memenangkan perang kau harus dapat mengalahkan musuh yang ada dalam dirimu sendiri,“ begitulah petuah kakekku setelah bercerita panjang tentang kerisnya, meski saat itu aku belum paham apa maksud perkataan itu, yang jelas mulai saat itulah aku sangat mengagumi kakekku.

Pada suatu hari aku di ajak kakeku pergi hamparan sawah yang letaknya tepat di bawah bukit Cempaka Warna. Suasananya begitu sejuk, pohon-pohon besar berderet menyimpan sejuta misteri , kicauan burung-burung terdengar dari setiap dahannya, yang seolah-olah ingin menceritakan mengenai hikayat panjang perjalanan dunia menua dan rapuh. Sesekali terdengar seperti nyanyian Biyung menimang Sibuyung hingga terlelap dan tidur, begitu damai, namun terkadang seperti tangisan memilukan, seakan mengundang malaikat maut sehingga bulu kuduk berdiri. Langkah kami berhenti di pematang sawah yang letaknya paling tinggi.

“ Kemari Ndo…” aku duduk di sampingnya
Kemudian dia berkata,“ Pejamkan matamu, kemudian rasakan angin perbukitan menerpa wajahmu, dengarkan suara alam dengan hatimu, dengar setiap bahasanya lalu terjemahkanlah, tariklah nafasmu sedalam-dalamnya dan rasakanlah bau tanah ini kemudian peluklah seolah kau memeluk ibumu dan kau akan merasakan kedamaian,” pintanya.  

Aku tak mengerti apa yang dikatakan kakekku aku hanya bisa mencuri-curi pandang apa yang dilakukan kakek sambil sesekali tersenyum melihat tingkah kakek, kemudian kakek mengajakku pergi mendekati sebuah pohon

“ pohon apa ini kek ?”
“ Ini pohon Kiara, usia pohon ini sudah ratusan tahun, sudah banyak kisah  yang dia catat dalam perjalanan generasi kita, yang jelas generasi mulah yang akan menutup catatannya,” katanya.

“Maksudnya Kek..?”
“Kelak ketika kau sudah dewasa kau akan mengerti “
Sampai di sebuah lereng yang curam kakek berhenti, Aku lihat kakek mengeluarkan kerisnya ‘ Saka Bumi’ kemudian menancapkanya begitu dalam.

“ Kenapa kerisnya kakek tancapkan di sini bukanlah itu keris kesayangan kakek ?” tanyaku
“Nanti di akhir generasiku, tak ada lagi orang yang mampu mendengar bahasa alam dan pohon kiara itu akan mengakhiri catatannya “ tandas kakek

“ jadi apa hubungannya dengan keris ini ?“

“Semua falsafah kami tidak akan ada lagi yang percaya, semua akan berganti dengan falsafah barat yang menakjubkan dan penuh logika, jadi kakek sengaja menguburkan keris ini agar kelak kau mengerti, apa yang kau tidak mengerti sekarang”. Semakin aku tidak mengerti, semakin aku mengaguminya aku lihat semua yang di lakukan kakek dan kucatat dalam pikiranku.

Usia telah membuat begitu lemah saat itu hingga ia hanya bisa terbaring lemah di atas kasur, aku ingat saat itu aku pergi ketempat kakek biasa mengajarkanku bahasa alam, aku coba  pejamkan mataku dan aku merasakan aliran udara bukit yang menerpa wajahku, kemudain aku merasakan tubuhku sangat ringan, saat itu sungguh aku sangat takut membuka mataku karena aku merasa angin telah membawaku terbang, seketika  ku dengar  bisikan “ Bukalah matamu , kemari dan peluklah ibu”, aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya hanya bau harum yang menggambarkan sosok ibu yang begitu mencintai anaknya dan aku larut dalam kedamaian.

Kemudian dia memperlihatkan sekelompok anak-anak yang bermain di bawah pohon kiara, menari, berputar, dan tertawa begitu riangnya, lalu aku melihat seorang gadis kecil yang bernyanyi di atas dahan pohon kiara yang menjulang tinggi, terdengar begitu  indah nyanyian itu meski bahasanya tak sedikitpun aku mengerti, aku berjalan mendekati mereka, mereka tersenyum menyambutku kemudian menggandeng tanganku membentuk lingkaran dan berputar bunga-bunga ilalang bertaburan layaknya salju, kuliahat ke atas, pelangi begitu berwarna-warni, betapa indahnya bumi ini, kemudian terdengar suara yang begitu mengagetkanku, sontak semuanya sirna, ternyata itu adalah suara pamanku belau mengabarkan bahwa kakek mungkin sudah sekarat, aku pun segera pulang bersama paman, kulihat kakek sudah tersengal menarik nafasnya akupun mendekatinya, kemudian kulihat dia tersenyum padaku, dan berbisik. “ kau sudah melihatnya?, “ aku mengangguk sambil menitikan air mata, ia kemudian perlahan menggerakan tangannya dan menunjuk kearah dadaku sambil tersenyum, akhirnya kakek menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sejak saat itu aku pergi bersama Ayah ku ke kota meski sebenarya akau tidak pernah mau tinggal bersama ibu tiriku, makanya aku memilih tinggal dengan kakek namun keadaan memaksaku untuk tinggal bersama mereka. Aku berniat kembali ke desa itu untuk melihat Sakabumi dan mempelajari falsafahnya. Dengan perasaan pahit yang aku pendam selama ini bersama keluarga baruku, kini aku kembali ke desa yang banyak sekali menyimpan kenangan-kenangan indah masa kecilku 

Kulihat pintu itu masih sama seperti dahulu tampak jelas goresan paku yang bertuliskan namaku, Ruang depan masih sama seperti dulu, tampak jelas kursi rotan, dan meja kayu jati terlihat  kokoh, ranjang besi berwarna hijau tempat kakek tidur pulas setelah seharian berkutat dengan sawah masih tersimpan rapih dalam kamarnya.

Saat itu juga ku bersihkan Rumah kakek dari debu dan jaring  laba-laba , entah kenapa perasaanku selalu tertuju pada desa ini, meski tawaran-tawaran pekerjaan yang cukup menggiurkan silih berganti menghampiriku  memang predikat cumeload dari universitas ternama di sandangku begitu memikat perusahaan asing, namun tak sedikitpun aku tergoda.

Bayangan kakeku dan Saka bumi selalu menghampiriku sehingga aku putuskan untuk kembali ke desa ini. Hari itu juga aku pergi menuju sawah kakek, yang terletak tepat di bawah bukit Cempaka Warna tempat dulu aku bermain bersama kakek.

Namun apa yang kulihat saat itu sungguh jauh berbeda dengan keadaan saat aku kecil dahulu, tanah terlihat gersang, sungai-sungai kecil yang dulu selalu ramai dengan gemericiknya kini seperti mati, hanya batu–batu besar yang mulai rapuh dan nampak bosan, perbukitan ini terasa sepi tak adalagi pohon-pohon besar atau kicauan burung anak  “prenjak” dari balik dahan menunggu induknya pulang membawa makanan.

Kulihat pohon Kiara sudah tak lagi ditempatnya, ternyata benar kata kakekku generasikulah yang akan menutup catatannya, aku berjalan menuju tempat di mana Saka bumi dikuburkan bersama falsafah kakeku , sedikit demi sedikit kugali tanah semakin lama semakin dalam namun tak kutemukan Saka Bumi . aku pun beranjak  pergi, sesekali air mata menetes, benarkah falsafah-falsafah itu telah hilang.

Aku berniat menemui pamanku dengan berjuta pertanyaan yang ingin aku tanyakan , kulihat paman sedang duduk di serambi rumahnya
“ Kapan datang ,“ tanya pamanku
“ Kemarin paman, ada yang ingin aku tanyakan paman, apa yang terjadi dengan desa ini  kenapa sawah-sawah mengering, apa tidak ada lagi yang mau menanam padi, kemana pohon-pohon di perbukitan siapa yang menebangnya ?” Tanyaku

“Sekarang lihat baik-baik desa ini, tak ada satupun, seorang pemuda di Desa ini, Semuanya pergi ke Negeri tetangga, sedangkan paman pegang sendok saja sudah gemetar, apalagi harus mencengkram cangkul”  tegas paman .

Aku paham maksud pamanku, terang sudah semua yang diceritakan kakekku dulu ,
“ Suatu hari tanah ini akan menjadi kotoran, hingga generasimu jijik melihat tanah ini apa lagi bermain dengannya “. Ternyata benar kini  para petani sudah mulai menua tanpa ada generasi pengganti.
“Menjadi babu di negeri orang  lebih membanggakan dari pada berkubang  lumpur di tanah leluhur “
“ Begitu banyak bahasa yang akan kau  pelajari, hingga lupa bahasa  ibu sendiri”,
“ Dahulu banyak orang yang mati di jalan dan mereka adalah Pahlawan, namun kelak  akan  lebih banyak orang yang mati dijalan dan mereka adalah pecundang “.

Seketika apa yang kakek ceritakan dahulu terasa begitu nyata , seperti sebuah scenario yang mulai dipentaskan oleh para lakon generasi kami, atau bagaikan  jumlah angka dalam sebuah garis  kehidupan yang awal dan akhirnya sudah pasti di ketahui.

Sekarang aku menegerti apa yang selalu kakek ceritakan padaku, sungguh benar-benar terjadi, generasikulah yang akan mengakhiri catatan-catatan mereka.  Benar atau tidak yang jelas kini falsafah-falsafah itu telah hilang.  


*Penulis bermukim di Cimanggu, Cilacap











Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta