“Pertanian adalah hidup mati sebuah bangsa, jika petani mati maka bangsa pun akan mati”
Ujar Satrio Anggoro, ia mengutip sepenggal kalimat yang pernah diungkapankan oleh presiden pertama Indonesia, ungkapan yang dilontarkan saat peresmian Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB). Dan tak hanya sekadar ucapan guna mensejahteraankan bangsa, yakni sebuah latar bekalang berupa gerakan pembebasan lahan-lahan yang masih banyak dikuasai oleh pihak asing, maupun swasta. Atas perihal tersebut akhirnya terbentuk sebuah Undang-Undang No.5 Tahun 1960, tambah Satrio, saat ditemui di Kantin Fakultas Dakwah, UIN Jakarta (5/10).
Satrio yang merupakan mahasiswa yang ikut tergabung di dalam Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia, menambahkan mengenai UU tersebut, dalam UU berisikan tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang dikenal dengan UUPA 1960) yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.
Atas kelahiran UU tersebut, maka ditetapkan sebagai hari tani Indonesia. Sebuah perayaan yang beberapa hari yang lalu bangsa Indonesia telah merayakannya, tepatnya pada tanggal 24 September. Sayang, hari Tani yang seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk memicukan semangat dalam mensejahterakan petani. Sebab, jika petani sejahtera maka bangsa ini pasti akan sejahtera, dan memang kurang terlalu dibahas, lanjutnya.
Sebagian dari kita dan pemerintah lebih banyak dan terpusat untuk berbicara masalah bom yang terjadi di Surakarta (Solo), sebuah bom yang meledak dua hari sebelum hari tani. Apakah itu secara sengaja atau kebetulan saja meledak menjelang hari tani.
Ditempat berbeda, yakni taman Fakultas Tarbiah, UIN Jakarta, Sifak Muhamad Yus, aktivis KM Jakarta (6/10), mengukapan Atas peristiwa ledakan bom yang terjadi membuat persoalan petani banyak yang tertutup, hal tersebut merupakan bagian dari pengalihan isu. Ia kembali menegaskan, bahwa persolan bom digunakan untuk pengalihan isu-isu pertanian. Coba tengok saja, masihkah persoalan bom dibahas?
Dan seharusnya pada hari tani kita lebih melihat nasib petani, nasib petani dengan segala macam persolanya, tentunya selain persolan belum terwujud UU tersebut, masih banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh para petani, dan yang sekarang benar-benar dirasakan, yakni kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah.
Atas kebijakan impor membuat para petani, salah satunya petani kentang Indonesia merugi. Hal itu, disebakan para petani kentang harus merelakan harga yang terus menurun hingga mencapai Rp 4000,00/kilo. Penuruan harga yang mereka lakukang agar dapat bersaing dengan harga kentang dari China, yang hanya Rp 2000,00/kilo.
Dan tak menutup kemungkinan para petani yang lain akan mengalami hal serupa dengan petani kentang, hal tersebut nampak jelas, jika melihat apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan kebijakan, yakni sebuah kebijakan berupa pemerintah Indonesia telah yang menandatangani perjanjian perdagangan bebas, baik dalam kerangka ASEAN maupun Bebas Asean-China (ACFTA) pada tanggal 1 Januari 2010.
Maka dengan adanya perdagangan bebas tersebut, maka mereka (Negara-negara pengimpor) begitu bebasnya masuk ke Indonesia bahkan tanpa dikenakan biaya masuk sama sekali. Maka bisa dibanyangkan bagaimana nasib petani untuk dapat bersaing dengan mereka, apalagi dalam memproduksi tanaman terlampau banyak anggaran yang dikeluarkan tanpa adanya subsidi dari pemerintah, berbeda halnya dengan Negara maju yang mesubsidi petanian, tambah Satrio.
Satrio menambahkan, Selain itu, jika benar nantinya akan dibangun sebuah food estate yang didalam terdapat macam-macam pangan, dan rencana pembangunan akan dibangun di Papua dengan lahan menghabiskan beberapa hektar tanah dan untuk pemiliknya adalah mereka pihak asing. Maka bisa dibanyangkan jika pada akhirnya petani hanya akan menjadi buruh, lalu bagaimana bangsa kita akan sejahtera. (Dede Supriyatna)