Berita Terbaru:
Home » » "Media Lebay"

"Media Lebay"

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, November 16, 2011 | 10:31

Ungkapan itu, diungkapan oleh Dimas saat melihat berita yang ditanyangkan oleh salah satu stasiun Tv swasta. Dalam siaranya, diungkapkan kurang lebih "Pelajar SMA ketahuan sedang pesta miras.


kata "Pesta" seakan menunjukan sebuah acara yang sedang dilakukan secara besar-besaran sebagaimana yang kita dapati pada acara-acara pesta yang lainya. Dimas yang terdaftar sebagai di Teater Syahid, UIN Jakarta, menambahkan, "Bisa jadi acara yang sebenarnya hanya beberapa orang yang sedang nongkrong dengan teman-temanya, yang paling banyak lima orang atau lebih dan mungkin juga kurang, lalu mereka minum-minuman keras ala kadarnya. Dan media menulisnya terlalu lebay dengan mengukapkan "Pesta."

Jika melihat kata "Pesta" bayangan kita secara kita tidak langsung akan tertuju pada sebuah acara yang diadakan secara besar-besaran, lantas seberapa besar acara remaja yang sedang minum-minum keras?

Hal tersebut disebabkan, tapi sebelum membahasnya, jika diijinkan mengutip apa yang diungkapkan oleh salah satu tokoh Filsafat bahasa Wittgenstein "Bahasa menunjukan pada realiatasnya, dan ia juga menyinggung persoalan kerancuan dalam berlogika para filosof".
Dan dapat dicontohkan semisal, tanpa kita melihat padi, kita menyebutkan kata "padi", dan banyangkan kita akan menunjuk pada padi, sebab padi benar-benar ada.

Maka jika melihat apa yang diungkapkan oleh Wittgenstein, dan sejenak kita kembali atas apa yang diungkapkan oleh berita tentang "Pesta", maka setidaknya akan memunculkan bagaimana realitas yang sesungguhnya.

Pada kasus ini, saya teringat akan ungkapan, bahwa dalam penulisan media mengajurkan kepada para pewarta untuk tidak mengukapkan bahasa berkabut, hal ini dimaksudkan agar para pembaca tak menangkap realitasnya tersebut secara samar, atau membuat pembaca mengalami kerancuan dalam menangkap realitas itu sendiri, atau bisa membuang pembaca merasa kebingungan dengan realitas yang terjadi.

Atas anjuran tersebut, maka sudah sewajarnya, jika apapun baik ungkapan atau secara tulisan yang diungkpakan oleh para pewarta tak menggunakan bahasa berkabut. Namun, ternyata bahasa berkabut masih seringkali digunakan oleh para perwarta. Atau memang bahasa tersebut sengaja diciptakan bahkan secara metafor yang berlebih-lebihan untuk tujuan menaikan beritanya, ataukah mungkin mereka para pewarta mengalami keracuan logika, hal ini dapat terlihat dengan conto-contohnya pada kata-kata "pasar."

Dan belum lama ini, saya dapati berita yang bertulisankan tentang "Amoral". Dalam tulisan tersebut ia alamatkan kepada seseorang yang menulis diakun Twitternya, adapun tulisanya berupa ungkapan kekesalannya terhadap pelayanan, memang orang tersebut mengukapan dengan menggunakan anologi “hewan”.

Lalu apa yang diungkapkannya pantas mendapatkan sebutan "Amoral". Dan apa yang ditulis oleh pewarta dengan menuliskan "Amoral," perwarta telah merubah fungsinya bukan hanya bertugas untuk perlapor, tapi berperan sebagai hakim (Pengadil) yang mempunyai hak mengadili seseorang dengan sebutan "Amoral", apalagi kata-kata itu, bukan berdasarkan dari sebuah kutipan seseorang.

Dan menjadikan media tersebut terkesan lebay, dengan melibih-lebihkan sesuatu, entah apakah ini dipahami oleh penulis atau penulis tanpa sadar menulisnya. (Dede)



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta