Oleh Sauqi Nawawi*
Aku mengutuk! Mengumpat suatu hal yang baru, dan ke-baru-an itu berlangsung sedemikian cepat hingga bentuk suatu jiwa manusia berlomba-lomba mendapatkannya. Jikalau pupus, nasib sayu diterimanya, bisa saja cemoohan, dan sindiran yang menjurus sesak di hati. Baru berarti yang lama dianggap usang dan, parahnya, tidak berguna lagi kemudian beralih fungsi menjadi fosil. Yang lalu biarlah berlalu, adagium itu menunjukkan melupakan sesuatu yang dianggap membebani alam pikiran dan menatap yang di depan dengan penuh optimis. Tapi, yang lalu biarlah berlalu, bagiku, tidak pas disematkan dalam tulisan ini, cerita tentang buah ter-baru-kan terus-menerus di bidang teknologi.
Mutakhir dalam teknologi sungguh membingungkan, mencemaskan bagi yang punya lalu. Aduhai sialnya hal baru itu. Kita terjebak dalam kubangan setan teknologi. Kita dirangsang dan dirayu untuk memumikan yang lalu dan membuangnya, entah ke tong sampah, atau dibakar sampai tak berbekas lagi. Sampai suatu ketika kita dituntut untuk menemukan dan memiliki yang baru, bersamaan dengan spesifikasi, modifikasi, atau kemutakhiran yang baru itu.
Awalnya baru sangat menyenangkan, takjub dan kita memberinya applause sumringah dengan ditemukannya yang baru. Tapi bagaimana dengan lalu. Yang lalu itu menangis, ia tidak bisa bermetamorfosis menjadi baru, bisa berubah tapi hanya dalam tahap pengembangan, itupun dipaksakan secara terbatas. Tidak semirip dan percis sama dengannya. Itu baru yang lalu, kita belum menyinggung sang pemilik lalu. Itu dia, pemiliknya seorang manusia ynag didalamnya mempunyai sifat-sifat tak merasa puas, keinginan yang lebih, bahkan jauhnya-dikatakan secara ekstrim-yang datang adalah keserakahan.
Manusia, merasa dibodohkan, dikelabui dan ia secara lembut merasa harus memiliki baru dengan berbagai cara. Ia, dulunya mempunyai yang lalu tiba-tiba tak begitu lama berselang datang baru dengan layanan yang lebih manja daripada lalu. Kita punya lalu dengan satu merek dagang tertentu, tak lama berselang, datang baru dengan merek dagang berbeda. Alhasil, mau tidak mau kita dituntut untuk memulai yang baru, menjual yang lalu dan membeli yang baru atau langsung memiliki yang baru dan yang lalu masih kita miliki, dengan pertimbangan rasa kepemilikan yang lalu berkurang, dan berlebih hanya untuk yang baru.
Yang aku kutuk bukan hanya yang baru, tapi langkah untuk memiliki yang baru itu benar-benar diluar dugaan kita. Ada yang bilang, jika tidak memiliki yang baru kita dianggap ketinggalan, tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Aku berpikir, zaman yang menuntut kita untuk berubah atau kita coba membuat zaman sendiri? Dikatakan paling baik dan benar-benar memaksimalkan sosok manusia utuh ialah kita membuat zaman, bukan dituntut dan kita berada dalam arus tuntutan zaman. Tidak, kita jangan sampai seperti itu. Kita coba bikin zaman. Kita paksakan dalam diri kita, keunggulan yang kita miliki dan terjunkanlah dalam sebuah karya hingga disuatu ketika, pastilah!, manusia yang berkeinginan memiliki yang baru tanpa batas toleransi tertentu sedikit berkurang. Karena apa, manusia pencipta baru itu buah hasil karya dirinya sendiri, tentunya ia merasa puas dengan cipta karyanya sendiri dan tidak iri hati dengan sesuatu yang baru yang datang dari orang lain. Itu menandakan kita tidak dikendalikan zaman, dan tidak tunduk serta membuang jauh-jauh sifat konsumtif.
Kita bukan alergi dengan hal baru, yang tidak bisa diterima ialah, sifat dikendalikan dan dikonsumtifkan hingga kita selalu dimanjakan tanpa bekerja keras dan dicemooh jika tidak memilikinya. Sampai suatu ketika kita lupa akan diri kita, bahwa kita juga bisa sepertinya, bisa membuatnya dengan tangan kita sendiri, racikan karya baru yang bersumber dalam diri kita. Jika asas-asas itu diterapkan, niscaya sifat trengginas dan keinginan lebih memiliki hal yang baru dengan melakukan tindakan spekulatif diluar kuasa kita-sebelumnya-sedikit tidak ada, syukur-syukur hilang.
Jika tidak, atau, jika sifat trengginas dan keinginan berlebih tidak menjauh. Aku yakin, obsesi berlebihan akan muncul dan bertindak dengan cara apa saja untuk mendapatkan yang baru itu. Apapun dilakukan, sampai berdiri secara berjejer berjam-jam sambil berdesak-desakan ataupun terjepit dalam amukan massa yang tidak peduli dengan samping kiri-kanan dan sekitarnya hingga ditemukan manusia terinjak-injak dan nafasnya terdesak-desak akibat terjepit disana sini hanya untuk mendapatkan yang baru itu. Yang mutakhir. Seperti peristiwa kemarin. Tiga pingsan ditengah jual beli dan terinjak-injak hanya untuk membeli BlackBerry produk baru.
Lalu, mengapa semua ini terjadi Tuhan!
*Penulis adalah Penulis lepas dan aktiv di blogger, dan ini merupakan salah satu karnya di blognya, silahkan lihat alamat blognya di http://syauqinawawi.blogspot.com
Ada Setan dalam Teknologi
Written By angkringanwarta.com on Saturday, December 03, 2011 | 08:55
Label:
Celoteh
+ komentar + 1 komentar
Terimakasih atas kiriman tulisanya, salam kreatifitas. oh, iya disini ada secangkir kopi, jika mau join kopi kami tunggu.