Oleh Syauqi Nawawi*
Pink! Kenapa kamu mematikan pembicaraan kita? Tengah malam lalu kamu berhenti bicara, kamu tekan off pada ponselmu, kemudian aku ditinggal pergi dalam kesunyian malam bertalu-talu dengan kesendirian tanpa ditemani sesuatu apapun kecuali kopi hitamku.
Memang, malam itu kita bicara sampai larut, tengah malam kita lewati. Hal-hal terkait masalah tindakan sosial di kehidupan kita, sementara kita tunda sejenak tanpa mengurangi sedikitpun jiwa kepedulian akan sekeliling kita, dan tidak sampai dalam kesimpulan Anti-Sosial.
Malam itu aku tetap terjaga, lama kita bicara tapi di saat kamu menguap, setelahnya kamu melayang jauh hingga terkulai meniduri sofa kasurmu yang lembut itu tanpa memikirkan kalau diriku yang berharap ini ada denganmu malam itu. Meski raga kita jauh, buaian kata-kata dan bulatan suara-suaranya terhempas dari mulut, kita kemudian menyeruak ke alam yang tak hidup dan hanya berisi di dalamnya manusia-manusia lelap tertidur sementara waktu sampai munculnya mentari beberapa jam kemudian. Tersisa berdua, aku dan kamu.
Di sekeliling kita tak seorangpun bergerak-gerak, beraktivitas layaknya episode siang hari. Kita berdua dihubungkan alat canggih-Bell, for you, thank you more- dengan praktis kita bisa bicara luwes, pribadi, tanpa diketahui oleh orang yang ingin mengetahui tindak-tanduk kita akhir-akhir ini.
Alat canggih tiba-tiba tidak berfungsi, aku lihat di ponselku masih menyala On, tapi tak bisa dibayangkan suara Pink sekelebat hilang tidak meraung-raung keras lagi. Aku terus berucap” ’Halo-halo’ dan ‘Pink-pink’ masih beradakah kamu disana?” Aku lakukan terus-menerus, mencoba menyapanya dengan sebutan tadi, kudapatkan hening dan suara tanpa bising, redup.
“Ahh”, kataku sejenak dalam hati. Aku mengeluh dengan sebab.
Lepas itu aku kesal, terhenyak disayat-sayat pisau tajam. Sedikit aku teriak dalam ponsel; “Woy!!!”. Aksennya agak keras, bukan menghentak tanpa toleransi dan menggebu-gebu, bukan itu. Tapi menggugah, menyapa, mengingatkan kalau aku masih ada, dan memperingatkan bahwa kita sedang berbicara mengobrol mesra.
Tapi tetap tak berubah, di ujung sana masih hening yang kudapati, tidak ada sepatahkatapun terdengar olehku suara manusia, kata-kata dari Pink. Radio menyala dengan volume kecil terdengar sedikit di ujung ponsel sana. Sempat terlintas dalam bayanganku, jangan-jangan yang hilang itu akibat kesalahan jaringan, gangguan komunikasi seperti akhir-akhir ini terjadi atau kamu-Pink- memperbaiki headseat ditelinganya agar bisa santai ketika berbicara dengan ku. Bisa jadi juga hilangnya suara Pink karena ia bangun berdiri dan mengambil air barang beberapa tegukan hanya untuk mengasihi tenggorokannya yang tipis dan mengembalikan suara seksinya akibat terlalu lama berbicara denganku sampai tengah larut malam.
Disaat orang lain tertidur lelap, kita masih bicara. Seketika manusia lain ber-Ronda ria layaknya prajurit jaga malam, kita masih asyik berbicara mesra tanpa memperdulikan yang lain, bahkan nyamuk yang sekalipun selalu hadir di malam tiba mengiringi tubuh kita, kita abaikan.
Pikiran positif awalnya datang padaku bahwa mungkin hilangnya suara Pink bukan murni darinya, bisa saja gangguan komunikasi. Tapi sesaat setelah kulantunkan kata-kata; “Halo-halo”, “Pink!!!” dan “Woy” secara terus-menerus dan berulang, perasaanku berubah. Tidak seperti anggapanku yang pertama. Pink diam membisu, hening bersama larutnya malam. Usaha membangunkannya telah kulakukan, naas nihil yang datang.
Kalau sudah begini, dulu yang ku kenal kamu sebagai Ratu Hellen dari Troya dan aku sebagai Pangerannya, gugur sudah dan berubah tak terulang kembali julukan itu disematkan kepada kita berdua. Sekarang lain cerita, Layla dalam kisah cinta Timur Tengah, itu adalah kamu saat ini. Dan teranglah aku sebagai Majnun.
Ingat Pink! Majnun artinya bodoh, goblok bahasa kasarnya. Itu yang ku alami sekarang sesaat setelah suaramu hilang ditengah pembicaraan mesra kita tadi. Aku goblok dan seperti dibodohi begitu saja.
“Lho kok bisa begitu”, pasti dalam hatimu berkata seperti itu.
Jawabku; iyalah, tentu saja aku dibodohi. Masak, aku yang tadi berbicara dengan “Ratu Hellen” tiba-tiba ia pergi tanpa pamit. Aku di-cuekin dan tidak ditanggapi. Dia ada tapi tidak terjaga, tak sensitif membalas aksi manusia yang menyahutnya secara syahdu. Hukum Newton –Aksi dibalas Reaksi- tidak berlaku dalam masalah ini, itu yang sedang kualami. Maaf Newton, aksi yang Anda jadikan sebagai hukum ketigamu tidak berfungsi. Adakah Anda salah saji? Keliru meneliti? Jangan-jangan Anda menelurkan secara cepat kesimpulan sebelum analisis terlebih dahulu? Tapi aku tidak mengkritisi atau me-revaluasi hukummu itu. Tidak untuk sekarang. Saat ini aku katakan; hukum Anda tidak berlaku padaku. Itu tercermin dari fakta yang ku alami sekarang. Aksiku terhadap Pink tidak berbanding lurus menjadi reaksi atas aksiku sebelumnya terhadapanya. Pink tidak be-reaksi. Aku masih mafhum, jika kesalahan hukummu hanya sekali, tapi ini berulang ketiga kalinya aku dibeginikan. Ketigakalinya merupakan batas-batas kesabaran keilmuan atau sikap menahan amarah yang tidak bisa ditolerir lagi dengan kata maaf.
Aku menggugat dan menuntut!
Menuntutmu sebagai ilmuwan pencetus hukum ketiga-Aksi-Reaksi, dan menggugat Pink sebagai aksi-ku yang tak terbalaskan!
Aku hanya berucap: “How pity I am.”
Ohh God, make me happy now
*Penulis adalah penulis lepas, matan ketua kopma
Sepi Sunyi Senyap
Written By angkringanwarta.com on Thursday, December 01, 2011 | 22:51
Label:
Cerpen
+ komentar + 3 komentar
Mau kenalan dong sama yg nulis ini...
Mau dong jadi kopi hitamm-muu..
entar saya sampaikan pada penulisnya.
Terimakasih sudah mampir, salam
Sudah kenalan belum sama penulisnya, kami juga ingin mengucapkan terimakasih buat penulisnya telah merelakan waktunya untuk menulis dan turut berpartisipasi ditongkrongan ini. salam kreatif