JAKARTA- Rabu siang (25/1), hujan yang mengguyur Jakarta tak kunjung reda. Dan seusai hujan, ketua RT setempat datang ke warung tegal milik Martuti. Dengan tergesa-gesa ia berkata, “Ada yang nelpon dari Polsek, Pak Warno katanya meninggal bu. Ketimpa pohon di Dharmawangsa,” kata Sutiri, 37 tahun, pemilik dari kontrakan warung menceritakan kembali kepada angkringanwarta.com (26/1).
Sekitaka Martuti menangis histeris dan langsung ke RS Fatmawati Jakarta Selatan. Ia pergi bersama anak-anaknya dan warga setempat. Dijumpainya jasad suaminya sudah tak dikenali. Wajahnya hancur, tak sama seperti sedia kala.
“Ini bukan bapak,” kata Fajar putra keempatnya. Martuti juga tak mengenali wajah suaminya. Tapi, setelah diberikan tanda bukti yaitu sapu tangan yang selalu dibawa Warno serta tahi lalat di lehernya, mereka baru memercayainya. Suasana rumah sakit kembali haru biru.
Warno bersama keluarganya sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1980an. Mereka mengontrak dan menyewa warung tegal di lahan milik suami Sutiri. Dari awal di Jakarta, dahulunya ia bekerja sebagai tukang becak, dan beralih profesi menjadi sopir bajaj hingga menewaskannya.
Menurut, Warsa 55 tahun, saudaranya di Tegal ia mengakui sangat mengenal Warno. “Sehari-harinya dia rajin shalat, nggak neko-neko juga. Selalu tepat waktu shalat lima waktunya. Pas jam makan siang dia balik ke warungnya buat makan trus lanjut narik lagi sampai malam,” ujarnya ketika ditemui di pangakalan ojek di Komplek MPR III Jakarta Selatan.
Sutiri yang berada di samping Warsa kembali menimpali, “Yang paling sedih, pas pagi-pagi dia mau berangkat. Anaknya yang paling kecil, yang umur 4 tahun itu, jam 6 pagi udah mandi trus diajak pergi keliling komplek sama bapaknya. Tapi pas bapaknya mau narik, dia langsung nangis-nangis, bilang ‘bapak jangan pergi…jangan pergi,” tiru Sutiri.
Padahal biasanya, putri terakhirnya itu bersikap biasa saja ketika Warno pergi kerja. “Nggak tahu, si Nazla (putri terakhir Warno) udah firasat atau gimana yah,” ujarnya sedih.
Warno dikenal warga setempat seseorang yang pekerja keras. Berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 9 malam setiap harinya. Sebelum berangkat narik dan sesudahnya, ia selalu mengajak kedua putrinya keliling komplek. “Apalagi sama yang bontot dia sayang banget.”
Warno, adalah korban tewas akibat hujan besar Rabu kemarin (25/1). Selain dirinya, ada empat buah mobil lainnya yang ringsek tertimpa pohon tumbang di Jalan Dharmawangsa IV Jakarta Selatan.
Kemarin, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Catharina Soeryowati mengatakan tidak memberikan biaya ganti rugi kepada korban yang meninggal dunia. Karena pohon yang tumbang bukan di lahan milik Pemprov.
Namun, menurut Kepala Suku Dinas (Kasudin) Jakarta Selatan Heru Bambang, keluarga korban telah mendapatkan santunan sebesar Rp 7,5 juta. “Iya kami berikan segitu, untuk semua biaya administrasi di rumah sakit, sampai ke Tegal dan bagi keluarga yang ditinggalkan juga diberikan. Totalnya segitu” ujarnya.
Bambang menuturkan meski bukan berada di lahan Pemprov tapi sebagai bentuk moral dan tanggung jawab dari Kasudin Jakarta Selatan. “Jadinya kami
nggak bisa lepas begitu saja. Kami juga sudah menegur kepada pemilik lahan.”
Hari ini, kabarnya Warno akan dimakamkan di Tegal. Ia meninggalkan enam orang anak yaitu Khoeron, Nurman Sarwoto, Alifatul Rohman, Ayu Noviana, Fajar, dan Nazla. (M.Faiz)
Sopir Bajaj yang Tragis
Written By angkringanwarta.com on Tuesday, January 31, 2012 | 01:22
Label:
Warta
+ komentar + 3 komentar
Yang namanya pohon yang ada di bumi pertiwi ini seharusnya jangan melihat dari kepemilikan, tapi seenggak-enggaknya rasa peduli kek terhadap masyarakat yang sedang kena musibah... Namanya juga pemerintah, giliran dah kenal duit za, pd ngejer2 mpe k ujung berung, giliran da yg sakit atau meninggal d tinggalin gitu. Klo dh brengsek, brengsek za tuch yg namanya pemerintah Indonesia yg korup....
Mana omongan yang selalu didamba2kan oleh Fauzi Bowo mengenai kemanusiaan ???
dh gini za, kita bikin kesepakatan kalau da PEMILU PILKADA atau Presiden gx usah yg pada milih... PERCUMA SAJA...>>>>