Oleh: Suroto
Bagi kebutuhan dan perkembangan koperasi, seringkali lebih baik tidak ada Undang-Undangnya daripada Undang-Undang Perkoperasian buruk.
(Ibnoe Soedjono, 2003)
A. Pendahuluan.
Dalam kajian teoritik secara normatif, sebuah tujuan dari memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) koperasi adalah untuk memberikan status hukum kepada koperasi dan memfasilitasi kerja mereka untuk memastikan bahwa koperasi-koperasi bekerja sesuai dengan prinsip koperasi yang berlaku universal atau dalam istilah lain agar sesuai dengan jati dirinya. Kerangka hukum bagi koperasi terdiri dari Undang-Undang (UU), peraturan yang dibuat di bawahnya dan norma-norma yang diadopsi oleh para anggota koperasi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ini bersama-sama membuat prosedur dan aturan untuk organisasi dan kerja koperasi, melindungi, dan memelihara karakter koperasi. Hukum Koperasi dengan demikian harus bekerja dalam memfasilitasi koperasi dan menjamin otonomi kerja koperasi dan tidak mengubah karakter dasar mereka.
Situasi politik Indonesia yang berubah begitu cepat dan cenderung belum stabil pada akhirnya turut berpengaruh terhadap dunia perkoperasian kita. Salah satu pengaruh yang nyata adalah seringkali bergantinya UU yang ada hingga pada akhirnya mengakibatkan distabilitas di sektor perkoperasian. Ada empat UU dan empat Peraturan Pemerintah (Perpu) yang setara UU yang mengatur tentang perkoperasian di Indonesia sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Disadari bahwa, dari banyak kualitas UU yang ada dikarenakan tidak memenuhi syarat sebagai produk UU yang baik, maka seringkali UU tersebut diganti dengan alasan apakah itu karena tereduksinya jati diri koperasi dalam substansi UU yang ada? Ataukah sebab lain karena proses penyusunannya yang bersifat top-down mengikuti tradisi lama pemerintahan kolonial dengan sikap abai terhadap aspirasi masyarakat dan hanya menuruti kemauan “apa yang baik” sebagaimana jadi pertimbangan yang berkuasa, dan kepentingan politik yang kaku.
Dalam era reformasi saat ini, dimana sebuah UU akan diterbitkan, tidak bisa lagi begitu saja diterbitkan secara top-down. Sebuah UU yang memiliki citra positif dan berwibawa adalah harus disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat dan andaikan ada berbagai perkembangan perubahan substansi dalam proses penyusunannya harus diberikan landasan argumen yang rasional hingga masyarakat dapat menerimanya. UU tidak boleh lagi hanya menjadi modifikasi rompi pengaman bagi kepentingan kewenangan birokrat penguasa atau politisi.
Bagi gerakan koperasi, UU memang bukan hal yang paling menentukan dalam perkembangan koperasi karena dalam diri koperasi sudah ada regulasi dalam (self regulation) yaitu nilai-nilai dan prinsipnya atau jati dirinya. Bukti secara empirikal semisal, di Norwegia dan Denmark. Di dua negara ini tidak memiliki UU Koperasi, tapi koperasi di sana berkembang cukup baik dan bahkan menjadi penyuplai koperasi-koperasi kelas dunia.
Dengan demikian, selain aspek yuridis yang penting, sesungguhnya UU Perkoperasian yang baik dalam banyak pengalaman di lapangan adalah menjadikan UU sebagai bentuk pengakuan atas praktika, atau penerapan aturan terbaik koperasi dan bukan berfungsi “mengatur-atur”, tapi bagaimana menjamin lingkungan yang kondusif agar koperasi dapat tumbuh dan berkembang. Dan pada akhirnya dapat memberikan sumbangsih bagi pembangunan sosial ekonomi masyarakat.
Di negara kita, dimana pemahaman koperasinya itu masih lemah dan kerena prakarsa pengembangan koperasi yang ada selama ini pada umumnya bersifat top-down, maka dapat saja sebuah UU itu berpotensi melucuti koperasi dari jati dirinya dan pada akhirnya banyak koperasi yang berkembang menyimpang dari koridornya. Sehingga untuk kepentingan ini, seluruh komponen gerakan koperasi harus saling bergandengan untuk menegaskan jati diri koperasi dalam UU yang akan diterbitkan dengan sebuah alasan utama agar perubahan yang terjadi mengarah kepada koridor koperasi.
B. Jati Diri Koperasi dan Kritisasi Rancangan Undang-Undang (RUU).
Mencermati Rancangan Undang-Undang (RUU) Koperasi yang ada saat ini, ada sebuah perkembangan. Di satu sisi isunya adalah untuk melakukan pembaharuan, tapi bila kita cermati lebih jauh dari Pasal per Pasal yang ada, masih banyak pembiasan dan cenderung keluar dari koridor jati diri koperasi.
Dalam konteks ini, sebagaimana perlu diketahui bahwa pada awalnya, setidaknya ada beberapa alasan mendasar, kenapa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 perlu diganti?
- Definisi koperasi sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yang memberikan penekanan pada sifat koperasi sebagai badan usaha, perlu disesuaikan kembali dengan definisi yang telah disepakati secara universal (jati diri koperasi) sebagaimana tercantum dalam Pernyataan Identitas Koperasi Internasional (International Cooperative Identity Statement yang disingkat ICIS) yang ditetapkan dalam Kongres International Cooperative Alliance (ICA) tahun 1995 di Manchester, Inggris.
- Konferensi Manteri-Menteri Koperasi se Asia Pasifik di Chiangmai, Thailand tahun 1997 dan Baijing, RRC tahun 1999, dimana pemerintah Indonesia ikut hadir dan telah menerima perumusan tersebut dan memberikan komitmen untuk mencantumkan jati diri koperasi tersebut dalam peraturan perundang-undangan koperasi di negara-negara masing.
- Sidang Umum PBB tahun 1999 dan dalam resolusinya Nomor 54/123 dan tahun 2001 dalam resolusinya Nomor 56/114 telah menerima dan mengetahui perumusan jati diri tersebut. Demikian pula dengan konferensi ILO ke 90 tahun 2002 di Geneva, perumusan jati diri koperasi tersebut telah diterima secara resmi pula.
- Berdasarkan komitmen-komitmen Internasional tersebut, maka jati diri koperasi yang terdiri dari definisi, nilai-nilai dan prinsipnya perlu dijadikan sebagai satu-satunya kriteria koperasi sabagai satu kesatuan yang utuh.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah tidak efektif untuk membangun organisasi koperasi yang baik dan benar sesuai dengan harapan Pasal 33 ayat (1) beserta penjelasannya (sebelum amandemen) serta rakyat banyak yang memerlukan peran koperasi guna memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka sekurang-kurangnya dalam arti ekonomi dan sosial.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 memang pada waktu itu, disusun dalam semangat deregulasi yang timbul pada masa itu dan secara formal peran pemerintah tidak tampak menonjol, akan tetapi konsideran UU tersebut mencantumkan bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah meskipun dengan tambahan seluruh rakyat. Sehingga pada prakteknya, dengan kekuasaan politik yang kuat berpusat pada pemerintah, maka pemerintah memegang kendali kuat terhadap kehidupan perkoperasian dan menjadikan kondisi koperasi terjebak dalam sindrom ketergantungan pada fasilitas dan kehilangan otonominya.
Sebagai keseluruhan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak memiliki kapasitas untuk membangun koperasi yang benar dan kuat, sehingga citra koperasi di masyarakat semakin buruk oleh banyaknya kebijakan pemerintah dan pelanggaran oleh koperasi sendiri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Sehingga dalam era reformasi yang telah bergulir lebih dari satu dasawarsa ini menghendaki adanya pembaharuan mengenai UU perkoperasian yang baru.
Dalam perkembangannya, setelah kita lakukan pencermatan terhadap RUU Perkoperasian yang telah masuk dalam pembahasan di DPR, masih banyak Pasal-Pasal kontroversial dan bahkan dari banyak Pasal yang ada, bahkan tidak konsisten dengan terjemahan dari jati diri koperasi. Sebagai misal, masih lemahnya penerjemahan substansi filosofi dari jati diri Koperasi (Pasal 1-4), menyangkut proses pendirian koperasi (Pasal 9), tentang definisi anggota yang hanya sebagai pengguna jasa (Pasal 26), tentang kedudukan Pengawas yang dominan (Pasal 48-49), persyaratan pengurus (Pasal 54), penyebutan DEKOPIN sebagai wadah tunggal (Pasal 13), tidak adanya sanksi yang jelas, dan masih banyak Pasal-Pasal lainnya yang akan berdampak melemahkan posisi koperasi sebagai organisasi yang berbasiskan pada orang (people base association).
C. Sumbangan Pemikiran Penyempurnaan.
1. Pengertian Jati Diri Koperasi ICA = International Cooperative Alliance (ICIS).
- Jati diri masuk dalam konsiderans. Mengingat Jati Diri Koperasi (ICIS = International Cooperative Identity Statement) yang disepakati dalam Kongres atau General Assembly ICA (International Cooperative Alliance) pada September 1995 di Manchester, Inggris yang merupakan salah satu pendorong utama bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Koperasi untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka tentang Jati Diri Koperasi ini sudah selayaknya menjadi salah satu pertimbangan atau konsideran RUU Koperasi ini, baik yang dimuat dalam konsiderannya maupun dalam penjelasannya. Demikian pula rekomendasi Konferensi Manteri-Menteri Koperasi se Asia Pasifik, khususnya Konferensi di Chiangmai, Muangthai (1997), dimana Menteri atau pejabat Kementerian Koperasi dan UKM juga sebagai pesertanya, yang menganjurkan pemuatan Jati Diri Koperasi dalam Peraturan Perundangan Koperasi di negara pesertanya, juga perlu dipertimbangkan masuk dalam konsideran RUU Koperasi atau penjelasannya.
- Pengertian jati diri masuk dalam Pasal 1. Mengingat tentang Jati Diri Koperasi ini juga disebut dalam RUU Koperasi, antara lain dalam Penjelasan Bab Umum, maka kiranya tentang Jati Diri Koperasi ini juga perlu dimuat dalam Pasal: (Bab I, Ketentuan Umum). Disarankan tentang Jati Diri Koperasi ini diberi penjelasan sebagai berikut: “Jati Diri Koperasi merupakan ciri khas, watak, dan perilaku koperasi yang mencakup 3 unsur: Definisi, Nilai-Nilai, dan Prinsip-Prinsip Koperasi. Jati Diri Koperasi ini disahkan dalam Kongres atau Rapat Anggota ICA pada tahun 1995, untuk dijadikan pedoman dalam pengelolaan Koperasi”.
- Pada Pasal 2 RUU Koperasi, tertulis dalam ayat (1) huruf e: “bertanggung jawab” (seharusnya “bertanggungjawab sendiri” sebagai terjemahan dari self responsibility. Ayat (2) huruf c, “tanggungjawab” (seharusnya “tanggungjawab sosial”) sebagai terjemahan dari social responsibility.
- Pada Pasal 4, huruf (f) tentang Kerjasama antar Koperasi, dan huruf (g) tentang Kepedulian pada Mayarakat/Lingkungan, tidak diberi penjelasan, kecuali keterangan “Cukup Jelas”. Karena itu disarankan untuk diberikan penjelasan sebagai berikut: Untuk huruf (f): “Tujuan kerjasama antar Koperasi adalah untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas pengelolaan usahanya. Dalam pengembangannya, setiap Koperasi dapat menjalin kerjasama dengan Koperasi lain, baik pada tingkat lokal, daerah, nasional, regional, maupun internasional”. Untuk huruf (g): “Kepedulian pada masyarakat lingkungan mengandung arti, bahwa Koperasi, meskipun tugas utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya anggotanya, tetapi tidak boleh melupakan pada kesejahteraan lingkungan/masyarakat sekitarnya”.
2. Saran untuk Beberapa Pasal.
- Pasal 9. Agar koperasi yang didirikan dapat berfungsi dengan sehat, organisasi maupun usahanya, maka diperlukan persiapan yang matang yang ditujukan kepada baik para pendiri maupun para calon anggota. Ketentuan ini dapat digabung pada Pasal 9 ayat (1) atau (2), maupun pada Pasal sendiri ayat (3). Tambahan ketentuan tersebut disarankan sebagai berikut: “Pendirian Koperasi harus dipersiapkan dengan matang, antara lain meliputi kegiatan penyuluhan, penerangan, ataupun pelatihan bagi para pendirinya maupun calon anggotanya, agar diperoleh pengertian dan pemahaman tentang seluk beluk perkoperasian”.
- Pasal 12. Agar setelah mendapat pengakuan badan hukum, Koperasi dapat berkembang dengan sehat, maka setiap koperasi diharuskan mendapat penilaian tentang kelayakan usaha serta administrasinya dari Pemerintah Pusat maupun Daerah. Ketentuan ini dapat digabung pada Pasal 12 maupun dalam bentuk tersendiri (berikut pasal 12), dan disarankan berbunyi sebagai berikut: “Setiap Koperasi wajib mendapat penilaian mengenai kelayakan usaha dan administrasi dari Pemerintah Pusat/Daerah sebelum dibuatkan Akte Pendirian oleh Notaris/Pejabat yang berwenang”.
- Pasal 26. Pasal ini menyatakan: “Anggota Koperasi merupakan pengguna jasa Koperasi”, kiranya kurang lengkap tanpa menyebut anggota sebagai pemilik, sehingga untuk lengkapnya pasal tersebut disarankan menjadi: “Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus sebagai pengguna jasa Koperasi”. Hal ini sejalan dengan definisi Koperasi menurut Jatidiri Koperasi ICA, yang berbunyi: “Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya mereka yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis”. Anggota sebagai pemilik dan sebagai pengguna jasa Koperasi adalah keunikan Koperasi, yang membedakan Koperasi dengan perusahaan bukan Koperasi. Sebagai pemilik anggota ikut menentukan kebijakan organisasi dan usaha Koperasi, memberikan modal dan mengawasi/mengendalikan Koperasi, satu hal yang tidak mungkin dilakukan jika anggota hanya sebagai pengguna jasa saja.
- Pasal 39. Pasal ini menyebutkan, bahwa pemeriksaan (audit) oleh Akuntan Publik hanya apabila (a) Diminta oleh Menteri, dan/atau (b) Rapat Anggota menghendakinya. Dengan demikian tidak ada keharusan (kecuali untuk Dana Pembangunan Koperasi, yang harus diaudit oleh Akuntan Publik). Hal ini bisa berakibat banyak Koperasi yang memilih untuk tidak diaudit oleh Akuntan Publik, padahal audit (eksternal) sangat diperlukan bagi kesehatan Koperasi. Karena ini disarankan, persyaratan “apabila (a) Diminta oleh Menteri, dan/atau (b) Rapat Anggota menghendakinya” ditiadakan.
- Pasal 48. Pasal 48 ayat (4) menyebutkan, “Pengawas diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali”. Pasal ini sebaiknya diberikan batasan yang jelas tentang periode waktu dan juga batas pengangkatannya kembali. Tanpa batasan yang jelas akan menjadikan kekuasaan pengawas yang terpilih menjadi “tak terbatas” dan akan mengancam kepentingan demokrasi koperasi yang menganut paham persamaan hak bagi semua anggota. Usulan pasal 48 ayat (4), “Pengawas diangkat oleh Rapat Anggota untuk jangka waktu maksimal lima (5) tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi”.
- Pasal 49. Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “Pengawas bertugas (poin a) mengusulkan calon anggota Pengurus”. Pasal ini sebaiknya dihapuskan saja, karena pada prinsipnya setiap anggota memiliki hak untuk dipilih maupun memilih. Pasal ini secara prinsip justeru mereduksi hak-hak anggota sebagaimana salah satunya adalah dapat memilih dan dipilih sebagai anggota Pengawas maupun Pengurus. Pasal 49 ayat (2) menguraikan tentang wewenang Pengawas, yang sedemikian luas, antara lain dapat “Menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar, memberhentikan Pengurus untuk sementara waktu dengan menyebutkan alasannya, melakukan tindakan pengelolaan koperasi dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Anggaran Dasar atau Keputusan Rapat Anggota”, dan sebagainya. Pasal 49 ini secara keseluruhan memberikan kewenangan Pengawas yang penuh terhadap fungsi pengurus (eksekutif), sedangkan fungsi dan kedudukan Pengawas ini dalam koperasi itu bermakna sebagai fungsi penyeimbang (check and balance) terhadap kemungkinan timbulkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Pengurus dalam menjalankan tugas-tugas kepengurusannya. Uuntuk itu, usulannya adalah untuk Pasal 49 ayat (2) poin a, poin c, poin f, dan Pasal 49 ayat (3) untuk dihapuskan.
- Pasal 54. Pasal 54 ayat (1) berbunyi: “Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik anggota maupun bukan anggota”. Untuk pengurus yang berasal dari bukan anggota, perlu ditambah dengan persyaratan dan batasan jumlahnya. Sehubungan dengan hal ini, dalam penjelasan (yang dinyatakan “cukup jelas”) perlu ditambahkan kalimat sebagai berikut: “Dalam hal Pengurus dari bukan anggota, maka (a) Yang bersangkutan juga harus dikenai persyaratan yang berlaku bagi Pengurus yang berasal dari anggota (memahami jatidiri, tujuan, dan manajemen Koperasi). (b) Jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah seluruh Pengurus”.
- Pasal 55. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi ...atas usul Pengawas dengan demikian perlu dihapus sebagai koreksi atas Pasal 49 ayat (1) tentang tugas Pengawas.
- Pasal 56. Pada Pasal 56 ayat (2), dinyatakan bahwa “Gaji dan tunjangan setiap anggota Pengurus ditetapkan oleh Rapat Anggota atas usul Pengawas”. Pada hakekatnya, status Pengurus bukanlah personil purna waktu, sehingga tidak perlu diberi gaji tetap, kecuali Pengurus yang diberi tugas sebagai eksekutif. Kepada Pengurus lebih tepat hanya diberikan honorarium sesuai dengan kegiatan yang dilakukan, seperti untuk rapat-rapat, atau kegiatan yang bersifat ad hoc.
- Pasal 65. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: “Modal Koperasi terdiri dari Iuran Masuk dan Saham Koperasi sebagai modal awal”. Istilah “saham” dalam konteks perkoperasian kita masih asing, bahkan seringkali dikaitkan dengan perusahaan swasta (PT, dan sebagainya). Karena dalam bab Penjelasan, ketentuan ini hanya disebutkan “cukup jelas”, maka diperlukan penjelasan yang lebih rinci dari sekedar definisi, seperti termuat pada angka 9, Pasal 1, Bab I tentang Ketentuan Umum, mengapa istilah saham dimuat dalam RUU Koperasi ini.