Badai tak selamanya berlalu
Andri seakan hidup sebatang kara. Sanak saudara satu per satu meninggalkannya, begitupun orangtua Andri, sang Ibu telah meninggal dunia, sang Ayah raib entah ke mana. Andri sudah terbiasa hidup susah, apalagi sejak dua tahun belakangan ini.
Dua tahun sudah, Andri tinggal di sepetak rumah yang nyaris runtuh. Sepetak rumah tersebut merupakan sisa reruntuhan bangunan rumahnya yang ambruk terhempas badai angin dan hujan, itu dua tahun lalu.
Sekarang, sepetak rumah yang ia diami inipun perlahan lebur dengan tanah. Sepanjang malam Andri selalu waswas kalau-kalau rumah tersebut roboh menimpa dirinya. Ia sendiri tak mempunyai sumber daya mendandani rumah warisan sang Ibu itu.
Kehidupan pun ia jalani dengan seadanya, itupun berkat pertolongan orang sekitar. Kalau bisa dibilang, kehidupan Andri mirip dengan nasib rumahnya, sudah teramat koyak namun tetap berdiri bertahan.
Sepetak rumah itu berbentuk ruang kamar, berdiri di atas puing-puing bagian lain bangunan rumah, atap ditutup dengan asbes lapuk bolong-bolong, sedangkan salah satu dinding terpaksa ditambal dengan kain kusam. Tidak ada kamar mandi, bahkan fungsi daun pintu digantikan sehelai kain yang diikat pada kedua ujungnya.
Andri khawatir keadaan memprihatinkan dari rumahnya ini tak bisa berlangsung lama. Sebab, dinding-dinding batako yang tersisa kini mulai retak, semen pelapis sudah tak rekat, sedangkan asbes dan kayu penyangga atap kian keropos.
Andri merasa trauma dengan bencana yang menimpa rumahnya dahulu. Saat itu, ia yang tengah sibuk kerja serabutan, mendapati rumahnya rata dengan tanah, hanya tersisa ruang kamar yang ia tempati hingga sekarang ini.
Di dalam sepetak rumah tersebut, kehidupan Andri terlihat lebih memprihatinkan lagi. Ia hanya menyimpan beberapa potong pakaian di dalam lemari yang ringkih. Tidak ada perabot masak, hanya tersedia sebuah tempat tidur yang sebentar lagi ambrol.
Kondisi paling memusingkan buat Andri ketika datang kembali musim penghujan. Hampir tiap kali hujan mengguyur, seisi rumah bersimbah air. Walau begitu, Andri tetap bertahan, ia seperti tidak punya pilihan mengubah kenyataan.
Si Gepeng
Andri terlahir tidak seperti saudara-saudaranya. Ia lahir dengan punuk di depan dan belakang punggung. Hingga seusia sekarang, tubuh Andri tidak seperti pemuda pada umumnya, ia kecil, kurus kerempeng, dan bongkok.

Sampai saat ini, Andri masih menyimpan tanya, jalan kehidupan seolah tidak berpihak kepadanya. Ia tak mengerti hingga waktu sanak saudaranya meninggalkan rumah, dan menyisakan Andri seorang diri menghadapi kehidupan.
Cerita bermula ketika sang Ayah, Eko Purwanto, terpaksa berhenti bekerja. Saat itu, Eko merupakan karyawan dari PT. PAM, itu seingat Andri. Tapi entah mengapa, Eko memilih mengundurkan diri, di saat anak-anak masih kecil-kecil, Andri sendiri baru berusia 6 tahunan.
Sejak saat itulah, rumah tangga orangtua Andri goyah. Karena sang Ayang menganggur, Andri dan seorang kakaknya terpaksa turut bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Andri sendiri putus sekolah sejak kelas 5 SD.
Hingga Andri menginjak usia belasan, ia sudah mempunyai dua adik kandung dan dua adik tiri. Dengan kondisi fisik dan keterampilan seadanya, ia bersusah payah mencari tambahan nafkah buat menutupi kebutuhan keluarga.
Dahulu, Andri biasa mengerjakan kerja borongan perlengkapan sekolah di sebuah pabrik dekat rumahnya. Dari penghasilan tersebut, ia mampu menghasilkan Rp. 500 ribu per pekerjaan borongan, dengan catatan pesanan yang datang tak menentu.
Keadaan itupun cepat berubah. Sang Ibu, Sumiyatin, ternyata mengidap kanker payudara. Semakin lama penyakit Sumiyatin bertambah parah, sedangkan keluarga tak mempunyai biaya pengobatan dan perawatan.
Andri pun pontang-panting mencari rezeki guna menambal kebutuhan keluarga, termasuk biaya berobat sang Ibu. Ia bahu membahu dengan sang Kakak, bekerja serabutan, tapi sementara sang Ayah belum bisa bangkit dari kegagalan dalam pekerjaan. Ini membuat kehidupan Andri semakin sesak.
Setelah dua tahun mengidap kanker payudara, Sumiyatin tak kuat menyangga kehidupan Andri, sang Ibu menghembuskan nafas terakhir. Mulai saat itulah keluarga Andri kian tak keruan, semakin kehilangan arah, sang Ayah mulai jarang pulang hingga akhirnya tak pernah kembali, begitupun sang Kakak yang merantau entah ke mana.
Peristiwa sepuluh tahun merupakan pukulan berat buat Andri, seringkali ia terisak mengingat dan menceritakan kembali saat dirinya kehilangan sang Ibu. Baginya, Tuhan terlalu cepat memanggil sang Bunda, tapi Andri hanya bisa berpasrah dan berdoa.
Rasa kehilangan tersebut pun tak membuat Andri patah arang. Andri terus berjuang untuk menutupi kebutuhan adik-adiknya, terutama ongkos sekolah seorang adik perempuannya. Berbagai profesi ia lakoni, termasuk membantu pekerjaan serta kegiatan pengurus Mesjid At- Taqwa, dekat rumahnya.
Namun badai cobaan tampaknya belum bosan meninggalkan Andri. Persis dua tahun lalu, bersamaan turun hujan, angin puting beliung menghantam kediaman Andri, rumah itupun nyaris rata. Dengan sisa reruntuhan dan bantuan para tetangga, sepetak ruang kamar tersisa ia sulap menjadi pondokan, di sanalah ia hidup bersama dengan adik-adiknya.
Andri meratap, air mata berlelehan jatuh menetes, tetapi ia tetap tabah menjalani kehidupan. Ketabahan yang sama juga menguatkan Andri saat melepas adik perempuannya ke sebuah Panti Asuhan di bilangan Depok, Jawa Barat. Ia sudah tak sanggup membiayai sekolah sang adik.
Adik tiri yang berjumlah dua orang terpaksa mengikuti jejak yang lain, Andri menyerahkannya ke Panti Asuhan dan ke seseorang yang sudi menjadi orangtua asuh. Di tengah kebimbangan, Andri kembali harus rela melepaskan sang Adik tertuanya yang memilih untuk keluar dari rumah, bekerja tanpa memikirkan Andri lagi.
Cobaan datang bertubi-tubi, Andri harus menghadapi kenyataan pahit lagi. Saat hujan lebat turun pada beberapa waktu lalu, ia mendapati rumahnya sudah tak utuh lagi, batu batako sebagai dinding tergolek jatuh, atap asbes jebol di beberapa bagian, ia kembali hanya bisa pasrah dan berdoa.
Dalam kepasrahan dan lantunan doa, Andri selalu berharap bahwa suatu waktu keadaan dapat berubah. Ia mengharapkan agar rumah yang puluhan tahun telah menaungi keluarganya, bisa kembali layak ditempati, dengan demikian ia bermimpi suatu saat sanak saudara bisa kembali berkumpul bersama. Semoga!
Catatan: Saat ini warga dan Pengurus RT 03/01, Kel. Cipayung Jaya, Kec. Cipayung, Kodya Depok, Jawa Barat, sudah mengadakan bantuan swadaya. Para warga dan Pengurus RT sangat terbuka bila ada bantuan atau rekomendasi bantuan bagi Andri.
Berhubung belum ada mekanisme bantuan yang lebih praktis, bagi Anda yang hendak menyalurkan bantuan atau rekomendasi bantuan bisa berkunjung atau menghubungi langsung Ketua RT 03/01, Bpk. Hendra (085693604852)
(Kahfi)