PERNYATAAN TUNTUTAN HENTIKAN KERJA SAMA KPU DENGAN LEMBAGA
ASING
Kita bukan generasi yang pendek ingatan. Pemilu 2009 lalu,
ada kejadian heboh dalam pelaksanaan pemilu. Khususnya, berkaitan dengan
penggunaan tekhnologi penghitungan suara. Gagal dalam pelaksanaan, begitu
tepatnya. Saat itu, IFES memfasilitasi
penyelenggaraan tabulasi nasional berbasis SMS pada pemilihan presiden-wakil
presiden. Sayang, program ini bukan saja gagal tapi sekaligus menimbulkan
kontroversi yang menimbulkan kecurigaan bahwa keterlibatan lembaga asing itu
sedikit banyak melakukan intervensi terhadap hasil pemilu nasional.
Ujung dari polemik itu berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya No.108-109 PHPU.18/2009 tentang
Pemilu Presiden (Pilpres) yang mengamanatkan Pemilu agar bisa terbebas dari
keterlibatan pihak asing Seolah tak jera, pihak IFES kembali menuai
kontroversi. Kali ini terkait dengan bantuan mereka terhadap pelaksanaan Sistem
Informasi Politik (sipol) KPU Tahun 2012. Satu alat yang langsung dapat mendata
dan memverfikasi secara on line data-data adminstrasi partai politik calon
peserta pemilu. Ketentuan, yang awalnya seolah menjadi kewajiban bagi parpol,
lalu berubah menjadi sukarela setelah banyak protes parpol calon peserta
pemilu. Beberapa argumentasi disebutkan. Antara lain bahwa sipol ini tak
memiliki dasar hukum, terlalu terburu-buru dan tanpa sosialisasi yang memadai,
dan kenyataannya penggunaan sipol tak serapi yang dibayangkan. Satu keputusan tepat, tetapi sekaligus
menyisakan masalah. Yakni terkait dengan kerja sama KPU dengan IFES. Dalam
rangak itulah, LIMA Indonesia meminta dan mendesak KPU agar :
1.
Menghentikan kerja sama apapun dengan pihak
IFES. Keterlibatan mereka dalam pelaksanaan pemilu Indonesia seringkali
melahirkan kontroversi ketimbang menuai hasil seperti yang diharapkan. Lebih
dari itu, pihak IFES, tak terdengar pernah mempertangguungjawabkan kontroversi
kinerja mereka pada pemilu 2009 yang lalu. Alih-alih berkenan meminta maaf pada
rakyat Indonesia, kini malah mereka mulai menimbulkan kontroversi baru terkait
dengan penggunaan Sipol KPU.
2.
Penghentian kerja sama ini didasarkan atas:
1.
Putusan MK No.108-109 PHPU.18/2009 tentang
Pemilu Presiden (Pilpres) yang mengamanatkan Pemilu agar bisa terbebas dari
keterlibatan pihak asing. Perlu diingatkan bahwa putusan MK ini lahir terkait
dengan keterlibatan IFES dalam tabulasi suara nasional pada pemilu 2009. Sangat
disayangkan KPU masih bekerja sama dengan sebuah lembaga asing yang karena
kinerja mereka yang sangat buruk, MK telah membuat putusan untuk menghindarkan
KPU dari pengaruh lembaga asing. Baik KPU maupun IFES seolah tidak menghormati
putusan MK tersebut dengan tetap saja melanjutkan kerja sama yang kini juga
mulai mengundang kontroversi. KPU dan IFES mestinya memperlihatkan kepatuhan
dan penghormatan atas putusan itu.
2.
Kerja
sama ini dilakukan oleh KPU dengan lembaga asing yang sudah memperlihatkan
kinerja buruknya pada pemilu 2009. Sangat tidak masuk akal sebuah lembaga yang
menimbulkan kontroversi pelaksanaan pemilu, masih diajak kerja sama.
3.
Asas kemandirian dalam pelaksanaan pemilu. KPU
mestinya tidak hanya memaknai kemandirian sekedar hubungannya dengan netralitas
terhadap peserta pemilu. Kemandirian juga harus dilihat sebagai upaya sengaja
untuk mengoptimalkan seluruh kemampuan dalam negeri untuk bersama-sama
membangun pemilu yang demokratis. Kemandirian, seperti ditegaskan dalam putusan
MK, berarti juga sebisa mungkin tidak perlu melibatkan pihak asing dalam
pengelolaan pelaksanaan pemilu. Pihak asing cukup jadi pemantau atau bekerja
sama dengan elemen masyarakat.
4.
Lagi pula kerja sama yang dilakukan KPU dengan
IFES berkesan diam-diam, dan jauh dari prinsip transparansi. Kalau bukan karena kontroversi sipol, masyarakat
banyak yang kurang mendapat informasi bahwa hingga sampai sekarang KPU dan IFES
tetap melanjutkan kerja sama. Tertutupnya kerja sama tersebut masih terasa
hingga sampai sekarang. KPU seperti hanya mencicil informasi tentang kerja sama
tersebut sebatas yang ditanyakan masyarakat. Tak ada upaya keterusterangan
tentang misalnya kapan kerja sama itu dilakukan, pada program apa saja, dalam
bentuk apa, sampai kapan, apa yang boleh dan tidak boleh, dan sebagainya. Tentu
menjadi pertanyaan mengapa KPU seolah pelit untuk memberi penjelasan detil
tentang kerja sama ini.
3.
Sekalipun dalam beberapa hal, KPU telah memberi
info tentang kerja sama ini, tetapi info tersebut , sebenarnya, melahirkan
pertanyaan lanjutan. Sebut saja jaminan KPU bahwa data sipol tak akan dapat
dipakai IFES. Pertanyaannya sehebat apa pertahanan KPU menjaga data tersebut mengingat
bahwa operator ahli sipol ini adalah orang–orang IFES. KPU juga menyebut bahwa ini adalah
program mandiri. Kalau mandiri mengapa KPU tak berusahan melakukan rekrutmen
terbuka agar sipol ditangani secara baik oleh tenaga-tenaga yang langsung
dikontrol oleh KPU. KPU juga tak langsung menyebut sumber dana operasional
sipol. Jika misalnya dana operasionalnya dari APBN maka sudah semestinya
program ini harus dijauhkan dari pihak asing. Menggunakan tenaga dan jasa ahli
dalam negeri adalah keniscayaan. Tapi jika dananya merupakan dana IFES jelas
hal ini akan dapat menciderai netralitas KPU.
4.
Menjadi pertanyaan mengapa seolah KPU dengan
ngototnya mempertahankan kerja sama KPU dengan IFES ini. Apa yang tengah
dipertaruhkan KPU, dan apa pula keuntungan besarnya bagi pelaksanaan pemilu
yang lebih mandiri. KPU bisa berkilah menyebut bahwa kerja sama ini
menguntungkan Indonesia. Tapi bila kerja sama itu justru menimbulkan rasa tak
nyaman, rasa terganggu dan was-was dari banyak pihak, khususnya dari calon peserta
pemilu sendiri, maka sudah sepatutnya KPU mencermati hubungan kerja sama
tersebut. Perasaan tersebut tak dapat dipersalahkan. Sebab ia memiliki basis
faktual dan pengalaman tak menyenangkan. Juga menjadi pertanyaan apa yang
membuat IFES seolah begitu ngotot dan doyan ikut berpartispasi dalam pemilu
Indonesia. Apakah mereka tidak pernah mendengar gelisah masyarakat atas wara
wiri mereka dalam pemilu Indonesia. Lebih-lebih keterlibatan mereka telah
menimbulkan kontroversi nasional pada pemilu 2009. Tak ada permintaan maaf, tak
ada penjelasan memadai, tak ada sopan santun, IFES seolah tak jera untuk wara
wiri dalam pemilu Indonesia.
5.
Dengan semua pertimbangan ini, dan sedikit
lampiran tentang riwayat keterlibatan IFES dalam pemilu di Indonesia, LIMA
Indonesi meminta KPU agar segera memutuskan kontrak kerja sama apapun dengan
pihak IFES. KPU harus menjadi salah satu motor lahirnya pemilu Indonesia yang
lebih mandiri. KPU hendaknya tidak berlindung di belakang tidak adanya aturan
yang melarang, pengalaman panjang kerja sama, dan sebagainya. Alasan-alasan itu
tak elok. KPU baiknya perlu perlu melihat dan malu tentang banyaknya elemen
masyarakt sipil yang mulai menyatakan tidak lagi menerima dana asing dalam
kepemiluan untuk mengurangi ketergantungan dan untuk terus menerus belajar
teguh pada prinsip kemandirian. KPU baiknya mendengarkan bahwa kerja sama
dengan pihak asing itu seperti membuka luka lama dalam pemilu 2009 bahkan pada
pemilu 2004. Demikian pernyataan ini kami buat. Atas perhatiannya, kami ucapkan
terima kasih.
Jakarta, 18 Oktober 2012
Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA)
Riwayat keterlibatan IFES dalam pemilu Indonesia’ 2004
:
1.
Terlibat aktif melakukan jajak pendapat. Antara
lain persepsi pemilih terhadap pemilu 2004 (dirilis 25 Pebruari 2005), tentang
Golput dan partisipasi pemilih (dirilis September 2003) dan elektabilitas
pasangan capres (dirilis Agustus 2004). Survey mereka yang dirilis pada 4
Agustus 2004 mendapat reaksi keras dari PDI P. PDI P menganggap bahwa hasil
jajak pendapat tersebut tidak netral dan cenderung berpihak.
2.
Bekerja sama dengan KPU dalam acara peluncuran
Pusdok Pemilu 2004 KPU
3.
Bekerjasama dengan KPU dalam penentuan logo
Pemilu 2004. Programnya antara lain melakukan Focus Group Discussion (FGD)
4.
Kerjasama dengan KPU untuk program Pelatihan
Manajemen Pemilu untuk KPU Daerah (Juni-Juli 2003)
5.
Membantu KPU mendirikan Joint Operations and
Media Center (JOMC) yang salah satu programnya adalah pengembangan IT KPU Pemilu 2004. 2009 :
1.
Pengadaan Tabulasi Elektronik berbasis SMS
secara nasional. Program ini bekerjasama dengan KPU. Umumnya ditangani secara
langsung oleh IFES. Hasilnya sangat mengecewakan. Dari 450 ribu TPS di seluruh
Indonesia, cuma sekitar 107 ribu TPS yang mendaftarkan nomornya di jaringan SMS
pemilu. Dan dari jumlah itu, sampai Rabu 8 Juli 2009 pukul 24.00, cuma sekitar
60 ribu TPS yang mengirimkan perolehan suara di TPS-nya, melalui SMS. Alhasil,
total suara yang terkumpul adalah 18.908.132 suara, atau sekitar 10,72 persen
dari 176.367.056 pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap pemilu pilpres.
Hasil tabulasi ini sempat menjadi bahan pertimbangan gugatan ke MK. Akhirnya MK
memberi catatan agar pada pemilu-pemilu berikutnya, KPU menghindari
keterlibatan pihak asing dalam pemilu Indonesia. 2012.
2.
Mengadakan pelatihan kepada KPUD-KPUD tentang
sistem pendataan dan pandaftaran pemilih.
3.
Penggunaan Sistem Informasi Politik (sipol)
dalam verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu. Sistem ini
banyak digugat parpol. Terbukti, dari 33 parpol yang mendaftar hanya 9 parpol
yang mampu secara tepat memenuhi tekhnis penggunaan sipol ini.