Wacana pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) yang tengah
digencarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih menjadi
kontroversi dalam dunia pendidikan nasional. Khususnya institusi Perguruan
Tinggi. Pasalnya, pendidikan kewirausahaan yang dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan Perguruan Tinggi (PT) seakan dipaksakan kehadirannya.
Terbukti, beberapa PT telah membuat program kewirausahaan yang juga
didukung oleh pemerintah. Salah satunya, Program Mahasiswa Wirausaha (Student
Entrepreneur Program) yang mendapatkan dana kewirausahaan puluhan juta rupiah.
Sehingga peserta didik bisa membuka peluang usaha dari modal yang diberikan
tersebut.
Meski demikian, Ratna Megawangi, Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF)
menjelaskan, jika pendidikan kewirausahaan memang perlu diberikan kepada
peserta didik sejak di Sekolah Dasar. Pasalnya, ini merupakan tuntutan
globalisasi atau pasar bebas yang akan dihadapi bangsa Indonesia kedepan. Sehingga
peserta didik harus diarahkan untuk menjadi pengusaha seperti Ciputra.
“Makanya, pola pikir capitalism creative harus segera ada di
peserta didik, sehingga kemandirian dalam berusaha bisa tercipta,” ujarnya
ketika menjadi pembicara dalam acara bedah buku “Pengembangan
kreatifitas dan entrepreneur” karya HAR Tilaar di perpustakaan UNJ, selasa
(13/11/2012).
Jelas, apa yang diungkapkan istri Sofyan A. Djalil (Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dalam
kabinet Indonesia bersatu jilid pertama) bertentangan dengan konsep entrepreneur
yang telah ditulis HAR Tilaar dalam bukunya. Menurut HAR Tilaar,
entrepreneur tak hanya dilihat dari sisi nilai ekonomi yang terus
berkembang atau “menjadi pengusaha”. Sebab, entrepreneur hakikatnya
adalah jiwa manusia yang memiliki daya pikir kritis, kreatif, dan inovatif.
Artinya, manusia yang dituntut memiliki intuisi untuk menyelesaikan masalah
kehidupan pribadi dan orang lain.
Masalahnya, kata Tilaar, kurikulum Kemendikbud hari ini belum
berhasil menyelesaikan masalah untuk mengasah intuisi terhadap peserta didik.
Sehingga pendidikan entrepreneur yang digaungkan dalam dunia pendidikan
justru akan melahirkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Yaitu melahirkan
pola pikir peserta didik yang terhegemoni kekuatan industri kapitalisme.
“Ya, akhirnya, pola pikir peserta didik hari ini yang terbentuk
kalau entrepreneur adalah seorang pengusaha layaknya Ciputra, Abu Rizal
Bakrie (Ical),” ungkap HAR Tilaar, suami dari Martha Tilaar.
Tak hanya Tilaar, praktisi pendidikan seperti Winarno Surachmad
juga menjelaskan, bahwa pendidikan kewirausahaan yang didorong pemerintah hanya
sebatas retorika ekonomi politik penguasa untuk mempersiapkan peserta didik
untuk lebih menjadi “robot industri” di masa yang akan datang. Hal ini bisa
dilihat, ketika Kemendikbud malah banyak membangun Sekolah menengah Kejuruan
(SMK).
“Saya nggak melihat jika
pendidikan kewirausahaan yang diusung pemerintah berupaya untuk menciptakan
masyarakat yang berkeadilan dan membuat sejahtera masyarakat Indonesia pada
masa yang akan datang,” tegas Winarno Surachmad yang hadir pula dalam bedah
buku karya HAR Tilaar.
(Hendro)